DA

1014 Words
Setelah lima hari mengambil cuti, Adel kembali dengan rutinitasnya sehari-hari. Usai mengisi perutnya dengan sarapan pagi, Adel beranjak untuk bersiap mandi dan pergi ke butik. Namun, belum sempat ia masuk kamar mandi matanya tak sengaja menangkap topi abu-abu yang menyembul dari kotak kayu miliknya. Niat awalnya hanya ingin merapikan, tetapi ia justru tertarik untuk menarik keluar topi itu. “D.A, Dion Ardiansyah?” celetuk Adel asal. Kemudian ia tersentak sendiri dan menepuk pelan kedua pipinya. “Nggak nggak! Ish, nama D.A banyak lagi ge’er banget aku!” kata Adel sambil mengetuk dahinya. Saat tersadar waktu terus berjalan Adel buru-buru memasukkan topi itu ke dalam kotak kayu dan meletakkan kotak itu dengan rapi. “Gawat kalo kesiangan lagi.” Entah kenapa belakangan ini pikiran Adel selalu melayang ke nama laki-laki itu. *** “Hasil pertemuan sama klien kemarin sudah aku berikan ke kamu via email,” kata Tere saat Adel baru masuk ke ruangannya. “Oke, thanks!” sahut Adel. Meja dia dan Tere letaknya berhadapan. Ruang kerjanya cukup besar untuk ditempati berdua. Di sinilah Adel menggunakan kreatifitasnya untuk merancang sebuah design baju. Kali ini kliennya adalah seorang anak perempuan berumur enam belas tahun yang akan merayakan ulang tahun ke tujuh belasnya. Konsepnya terbilang simpel, tetapi elegan. Adel takjub untuk selera anak umur tujuh belas tahun itu. Warna yang diinginkan anak itu terbilang unik, ia tidak meminta warna pink seperti kebanyakan anak perempuan. Warna yang anak itu pilih burgundy. Pun tidak menginginkan banyak manik-manik. Adel mulai mengambil pensil dan selembar kertas kosong. Ditemani segelas teh hangat di sampingnya. Dengan kacamata yang bertengger di hidung, Adel mulai fokus membuat line art. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Belum ada tanda-tanda perempuan itu akan mengakhiri pekerjaannya. Tere di depannya mengetuk-ngetuk meja. “Sudah waktunya makan siang!” Adel tak berkutik. Fokusnya sama sekali tidak berganti. Helaan napas keluar dari mulut Tere. “Adelina!” Adel tersentak. “Ya?” “Ck!” Tere melipat kedua tangannya di depan d**a. “Ayo, makan siang. Aku sudah lapar.” “Kamu duluan aja. Ini tinggal dikit lagi.” “Adel! Aku tidak mau mendengar keluhan mag-mu.” Adel meringis, “Sedikit lagi?” tawarnya. “Aku hitung sampai sepuluh kalau belum keluar dari ruangan ini, lihat saja.” Adel menghela napasnya. Memang tidak akan menang jika melawan Tere. Dengan gesit Adel merapikan peralatannya dan cepat menyusul Tere sebelum temannya itu mengomelinya lagi. Namun, saat Adel membuka pintu ruang kerjanya. “Hai!” Dion di sana mengangkat tangannya dan melempar senyum manis ke arah Adel. Untuk sepersekian detik Adel tertegun. Dion dengan style andalannya, setelan kaus hitam dibalut jaket jeans dan celana levis panjang. “Kamu nggak kerja?” Adel bersuara. “Kerja.” “Terus kok ke sini?” Dion menarik lengan jaketnya ke atas, untuk melirik jam tangannya. “Waktunya makan siang.” Ia mendongak. “Yuk, makan siang bareng.” Belum sempat Adel menjawab, Dion sudah meraih pergelangan tangannya. “Eh, tapi, anu, tadi aku udah janjian sama Tere.” “Gue tadi ketemu dia. Udah bilang juga.” Adel mengangguk. Kemudian, ia membiarkan dirinya dituntun oleh lelaki yang sudah ia kenal dari SMA itu. Entah, kenapa Adel merasa jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Karena hangat telapak tangan Dion yang melingkari pergelangan tangannya atau karena tarikan mendadak dari cowok itu, Adel tidak tau pasti. *** "Di bioskop ada film bagus, mau nonton?" Adel membalas pertanyaan Dion setelah meneguk minumannya. "Genre apa? Kalau horor nggak mau." "Thriller. Lo pasti suka." Dion menyendok makanannya ke mulut. "Nggak bakal-lah gue ajak nonton kalau horor. Dah nyesel!" Adel jadi teringat beberapa minggu yang lalu Dion pernah mengajaknya nonton ke bioskop. Tanpa tahu kalau Adel tidak bisa menonton horor, Dion memesankan tiket film horor. Alhasil saat ditengah penayangan, Adel merengek minta keluar. Bahkan saat sampai luar gedung Adel malah menangis. Ia bilang bahwa tidak akan bisa tidur malam ini sendirian di apartemen. Akhirnya Dion harus mengantar Adel ke rumah Tere yang terletak lumayan jauh dari pusat kota. Adel tertawa saat mengingat itu. "Lagian nggak nanya-nanya dulu waktu itu." "Ya gue mana tau lo kayak Ardan nggak bisa nonton horor," kata Dion sambil mengingat pengalamannya menonton film horor bersama kakak dari perempuan di depannya. "Ardan malah lebih parah dulu. Dia ampe kencing di celana saking nahan nggak mau ke kamar mandi sendirian." Dion tergelak. "Penakut dasar!" Adel mengetuk jidat Dion dengan garpu di tangannya. "Nyebelin!" "Aduh!" Dion meringis. Melihat tampang cemberut Adel membuatnya tak henti tertawa. "Oke-oke maaf, ampunn woy elah!" Dion menggeser badannya ke kanan dan ke kiri untuk menghindari serangan dari Adel. Melihat Dion yang sudah kelelahan tertawa membuat Adel menyudahi aksi menggetok dan mencubit. "Besok gue jemput lo." "Nggak usah kita ketemuan aja di bioskop," tolak Adel. Dion berdecak. "Lo nggak inget? Kemaren kita juga ketemuan di bioskop, tapi setengah jam nggak ketemu-temu. Besok mending gue jemput aja." Adel menampilkan cengir kuda. Saat itu Adel sempat nyasar dan memasuki gedung lain. Akibatnya, mereka tak kunjung bertemu. Namun, Adel tidak mengakui bahwa ia nyasar. "Ya udah, iya. Itu kan pertama kalinya aku ke sana." Adel membela diri. Dion diam-diam memperhatikan Adel yang tengah menyendok makanannya. Ia tahu itu, Adel tidak pernah nonton, makan atau sekedar berbelanja dengan cowok lain selain dirinya selama di negara ini. Apa Dion harus senang dengan fakta itu atau meringis, karena dengan hal itu tandanya Adel tidak akan pernah tahu makna dari semua yang ia lakukan ini jika tidak diberi tahu. "Lo harus ngelakuin ini selain sama gue, Del." Adel mendongak. "Maksudnya?" Dion bergeleng. "Nggakk, nggak jadi." Apa yang dipikirannya saat ini jelas-jelas ide konyol. Untuk membuat Adel mengetahui perasaannya caranya hanya satu. Dion harus berani mengungkapkannya. Adel mendumel. "Kebiasaan!" Melihat Dion yang tiba-tiba bersikap aneh membuat Adel dengan keras menahan dirinya untuk berpikir yang aneh-aneh. Sudah cukup dengan pemikiran bahwa cowok yang menolongnya saat SMA adalah Dion. Ia menepis pemikiran kalau lelaki di depannya ini menyukainya. Apa yang Dion lakukan sekarang hanyalah sikap biasa kepada seorang teman, kepada seorang sahabat, atau mungkin kepada adik dari sahabatnya sendiri. Iya! Hanya itu, tidak lebih! Setidaknya seperti itu yang dapat Adel lakukan untuk menjaga hatinya saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD