Sepeda Rusak

1237 Words
Penghuni kantin memusatkan pandangan mereka kepada dua orang yang sedang duduk bersama. Mereka tampak akrab dengan duduk satu meja. Bagaimana tidak heran, jika mereka melihat si korban bully duduk dengan si tukang tawuran. “Mereka lagi liatin kita?” tanya Adel sambil melihat ke sekelilingnya. “Mungkin,” ucap Ardan sembari menyeruput es jeruk pesanannya. “Kenapa?” “Karena lu jelek mungkin?” Ardan menjawab asal sambil mengedikkan bahunya “Apa?” Kini pandangan Adel mengarah ke orang yang ada di depannya ini. “Kenapa? Benerkan?” Ardan menampilkan wajah tak bersalahnya. “Ya, aku tau kok." Adel menundukan kepala. Sudah banyak yang mengatakan itu, dan dia tidak heran. Ardan mengerjap. "Gue bercanda elah." "Lo cantik kok," kata Ardan lagi. Adel baru hendak tersenyum, tetapi Ardan kembali berkata hal yang membuat hatinya kesal. "Tapi kalo diliat dalam keadaan mabok." Adel mendengkus kesal mendengarnya sedangkan Ardan hanya mesem-mesem tidak jelas melihat sikap Adel. “Hai, Ardan!” sapa Bella yang diikuti dua antek-anteknya. Ia menghampiri tempat yang di duduki Ardan dan Adel. Ardan hanya membalas dengan gumaman. Bella melihat Adel dengan sinis. “Eh, bisa minggir gak?" Bella berbicara dengan nada rendah, tetapi menusuk kepada Adel. Ardan mengernyitkan dahinya tak suka. “Apa-apaan lo dateng-dateng malah ngusir orang!" “Ardan,” panggilnya manja. Ardan berdecak kesal. “Ayo, Del. Kita pergi,” ucapnya dingin lalu beranjak dari tempat duduknya dan menarik lengan Adel, Ardan mulai terganggu dengan sikap Bella. Sudah berapa kali Ardan menjauh tapi tetap saja sikapnya masih seperti itu. Dimana harga dirinya? “Mau ke mana?” Adel bertanya di sela-sela langkahnya. “Atap,” jawabnya singkat dengan pandangan lurus ke depan. *** “Kayaknya Bella suka banget ya, sama kamu." Sekarang mereka berada di rooftop sekolahnya dan duduk di meja yang sudah tidak terpakai. “Oh." Pandangan cowo itu lurus ke depan. Adel menatap Ardan dari samping. "Dia cantik." “Terus?” Ardan akhirnya mengarahkan pandangannya juga ke Adel, sehingga pandangan mereka bertemu. “Nggak.” Adel membuang mukanya ke depan, entahlah yang jelas rasanya begitu aneh jika melihat langsung mata itu. “Gue gak terlalu suka berurusan dengan cewe." “Tapi, aku 'kan cewe." “Dan lo tau nggak, sih? Kalo cowo itu suka jijik sama cewe lenjeh." Adel kembali melihat Ardan. "Lo nggak lenjeh, 'kan? Makanya gue mau deket sama lo." *** Bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi. Adel lantas menghampiri lokernya untuk menyimpan beberapa buku yang ia pakai tadi. "Sejak kapan lo bisa deket sama tuh orang?" Ucapan tiba-tiba Dion tepat saat Adel menutup pintu lokernya membuat cewe itu berjengkit kaget. "Dion! Ngagetin aja," ucap Adel sambil mengusap dadanya. Dion meminta maaf sambil menggaruk tengkuknya. "Emang kenapa? Kamu khawatir, ya?" "Ap-apa? Nggak kok, gue cuma nanya. Yaudahlah, nggak penting juga." Setelah itu Dion melengos begitu saja, meninggalkan Adel yang sedang menatapnya bingung. *** Kamar yang sangat luas nan megah, bernuansa maskulin dengan dinding bercat biru itu tampak memberikan kenyamanan tersendiri untuk sang penghuni. Rumahnya yang megah nan mewah bergaya klasik dengan furniture yang tak kalah mewahnya membuat rumah ini terlihat bak istana. Namun, sayang bukan ini yang ia inginkan, ia menginginkan rumah yang memiliki kehangatan dan kenyamanan bersama keluarga. Keluarga yang utuh di mana ada seorang ayah, ibu, dan saudara. Bukan suasana yang seperti ini, sepi. Ayahnya sudah dipastikan sedang bekerja, lalu ibunya? Saudaranya?... Entah dimana, yang dia tau mereka pergi saat dia berumur tiga tahun. Kembarannya yang saat itu sakit keras dan memerlukan biaya yang sangat besar sedangkan sang ayah belum memiliki apa-apa, harus dibawa ibunya pergi. Dia tidak mengingat wajah ibu dan saudaranya bahkan untuk mengingatnya kembali dengan foto pun dia tidak mau. Semua foto yang berkaitan dengan ibu dan saudara kembarnya itu ia musnahkan semua, ia merasa ibunya lebih sayang dengan saudaranya dibanding dirinya. Dia tidak ingin mengenalnya, dan mengingatnya! Perasaan tidak diperhatikan inilah yang membuat remaja berusia 17 tahun ini sangat membenci ibu dan saudaranya. Tak hanya menimbulkan perasaan benci bahkan salah satu penyebab kenakalanya di masa remaja. Ceklek Bunyi pintu kamar yang terbuka. Menampilkan lima sosok sahabatnya. Kebiasaan jika memasuki rumah Ardan, tanpa pamit lagi mereka akan nyelonong masuk. “Hei, Bro!!” Kevin berteriak heboh. Ardan menampilkan wajah tidak minatnya. “Kenapa? Ada masalah lagi sama bokap lo?” tanya Galang sambil mengunyah kacang bawaanya. Ia duduk pada sofa kecil di kamar Ardan. “Gimana mau punya masalah? Ketemu aja kaga." “Bokap lo keluar negeri lagi?” Ryan bertanya sembari menyiapkan peralatan bermain PSP milik Ardan. “Mm,” Ardan hanya menjawab dengan gumaman. Ardan mengembuskan napas lelah. “Gue suntuk nih, enaknya ke mana ya?” Ardan memang merasa sangat bosan di rumah. “Wah! Lu mau nraktir kita-kita nih!” Anton tampak kegirangan. Ardan berdecih kesal tidak terima dengan asumsi Anto barusan. Namun, detik kemudian ia terdiam seperti memikirkan sesuatu. “Si Adel...," Ardan memotong perkataannya membuat teman-temannya penasaran. “Kenapa?” Kevin yang sudah sangat penasaran akhirnya bertanya. “Lucu." “Hah?” jawab teman-temannya serentak. “Jangan bilang kalo...," Aldi curiga. “Apaan sih lo pada! Maksud gue tuh lucu aneh." “Tapi kadang gue suka kasian sih ama tuh orang gara-gara kita kerjain mulu.” Galang berbicara sambil mengunyah kacangnya. “Yaelah ngerjainnya gak parah-parah amat kok,” Kevin berkilah. “Gayanya itu loh, apalagi ekspresinya kalo kita suruh-suruh sumpah ngakak abis,” ucap Aldi sambil tertawa terbahak-bahak. “Yap, bisa jadi hiburan tersendiri tuh,” Ryan menoleh sebentar ke arah teman-temannya lalu melanjutkan permainannya lagi bersama Aldi. “Tapi ada hal yang mau gue tanyain ke elo?” Anton menghadapkan tubuhnya ke arah Ardan. “Apaan?” Satu alis Ardan terangkat. Perasaannya mendadak tidak enak melihat ekspresi serius Anton. “Lu beneran jadiin dia temen?” nadanya berubah serius. “Iyalah emang mo dijadiin apaan? Emak gue?” jawabnya santai. “Kenapa?” “Maksudnya?” Ardan mengernyitkan dahinya bingung. “Lo serius nganggep dia temen?” “Iya Antonio, kenapa sih?” Ardan mulai merasa tidak enak. “Alasannya?” "..." *** Adel sedang berjalan mengindik-ngindik, nengok ke kanan dan kiri sepertinya mereka--maksudnya Ardan dkk--tidak ada. Pasalnya tadi sewaktu istirahat mereka dipanggil lagi ke ruang BK entah apa lagi yang mereka lakukan. Yang sekarang Adel takuti adalah dia disuruh mengerjakan hukuman mereka lagi. “Adel!” panggil seseorang dari arah belakang. Tanpa menengok ke belakang dia mempercepat langkahnya, terdengar suara derap langkah itu sama cepatnya dan akhirnya ia berlari. Kalian ingat Adel pelari yang handal bukan? Dia berlari sangat kencang melewati anak-anak lain yang berlawanan arah bahkan ada yang sampai terjatuh. Dia melihat tembok besar diujung lorong. Adel memutuskan bersembunyi di situ. “Lagi ngapain?” “Ya ... ngumpet lah ... masa ... ngupil!” Napasnya masih tersengal-sengal. “Capek ya?” “Iya, udah tau nanya! Gak liat orang engos-engosan." “Makanya jangan lari-lari." “Kalo gak lari ya bakal ketangkep lah gimana sih!” “Emang kalo ketangkep kenapa?” “Kamu ini kebanyakan nanya!” Adel menoleh kebelakang karena kesalnya dengan orang itu. Awalnya dia tidak menyadari, tapi setelahnya.. Akhirnya dia menolehkan kepalanya lagi dengan pelan-pelan... Matanya sukses membulat, baru saja ia ingin berlari. “Ha, mo kemana lo?” memegang kerah baju bagian belakang Adel. Sepertinya ketakutannnya ini menjadi kenyataan. “Hehe, mau pulang.” “Sepertinya lo belum bisa pulang.” “Ke-kenapa?” “Soalnya lo harus bantuin gue lagi, ayo ikut gue,” lalu menyeretnya dengan memegang kerah baju bagian belakang layaknya kucing. Sedangkan yang ditarik hanya mengikuti pasrah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD