Luka dalam diam

1082 Words
“Sebelah sana masih kotor, sana juga,” Ardan mengintrupsi. Telunjuknya menunjuk sisi lapangan yang terdapat plastik makanan. “Adel, ada kecoa!” seru Aldi, sambil menunjuk kearah Adel. “Haah, mana? mana?” Adel panik, dia berputar-putar sambil berloncat-loncat. “Hahaha!” semua tertawa kecuali Adel. “Del, lu mau aja ditipu Aldi,” kata Galang, sambil menimpukan kulit kacang ke arah Aldi. “Jadi kecoanya nggak ada?” “Nggak ada Adel,” kali ini Anton. “Eh, udah-udah jangan ganggu Adel. Nanti gak selesai selesai,” Ardan menyudahkan. Adel sedang membersihkan lapangan indoor basket. Seperti biasa, ini hukuman Ardan dkk, tetapi malah Adel yang mengerjakannya. Sedangkan mereka hanya duduk, minum, dan tertawa. Sungguh menyebalkan pikirnya. “Adel, kok bengong sih. Cepetan kerjain!" “I-iya," jawab Adel yang sedang mengepel lantai itu. “Ini hukuman mereka tapi malah aku yang ngerjain,” gumamnya. “Gue denger loh, Del!” Ardan berteriak dari tempat duduknya. Adel menoleh cepat ke arah Ardan. “Hah? Serius?” “Kerjain cepet!" Adel mengembuskan napas pasrah lalu kembali membersihkan area lapangan basket itu. Setengah jam sudah terlewati, Adel menghela napas lega melihat kerjaannya yang telah selesai. “Huh, akhirnya,” ucap Adel seraya menyeka keringatnya. Dari tempat Ardan duduk ia dapat melihat pekerjaan Adel yang sudah selesai. Perempuan itu sedang menyeka keringatnya yang bercucuran. “Del, sini duduk!" Ardan menepuk bangku di sebelahnya. Adel menghampiri cowo itu lalu duduk di tribun penonton tepatnya di samping Ardan. “Nih." Ardan memberikan minuman dingin isotonik. Cewe itu tidak langsung menerima. “Buat aku?” Ardan berdecak kesal seraya memutar bola matanya jengah. “Enggak, buat Pak Bejo, ya buat lo-lah." “Makasih." Adel meminumnya. Ardan menatap cewe itu dari samping. Keringatnya terus berkucuran, jika dilihat dari jarak sedekat ini, melihat cewe itu lelah akibatnya tidak tau kenapa ia merasa sedikit bersalah. “Capek ya?” Adel menganggukan kepala. "Iya." “Pulangnya bareng gue aja,” tawar Ardan. Kali ini Bu Wati memberikan hukumannya tepat pada jam pulang sekolah. Maka dari itu seharusnya Adel pulang sejam yang lalu. “Nggak usah aku naik sepedah. Ya udah aku pulang dulu ya." “Ok, hati-hati." “Sip." Adel berjalan menyelusuri lorong menuju parkiran. Saat tiba di parkiran betapa terkejutnya ia melihat keadaan sepedanya. Penuh dengan lumpur, ban kempis, dan penuh coretan pilok. “Sepedah lo kenapa?” tanya Ardan yang entah dari kapan berada di sampingnya. Adel menggelengkan kepala, dia sungguh tidak tau apa yang sedang terjadi ini. Sepedanya dihancurkan seperti itu, oleh siapa? “Ya udah lu pulang bareng gue aja, sepeda lu nanti gue suruh anak-anak bawa ke bengkel. Nanti kalo udah bagus gue kirim ke rumah lo, gimana?” Adel masih memandang nanar sepedanya. Sepeda kesayangannya itu selalu dirawat dengan baik. Namun kini, lihatlah keadaan sepeda itu. Tes ... Setetes air mata jatuh. “Hei, jangan nangis. Kan udah gue bilang, nanti gue benerin ke bengkel. Oke?” Adel beralih memandang laki-laki disampingnya itu. Dia mengucapkannya dengan nada yang sangat lembut. Entah cowo itu menyadari perubahan suaranya atau tidak. “Ayo, keburu kesorean.” Ardan langsung saja menarik lembut tangan Adel membuat cewe itu tersentak. *** “Yaudah, kalian berangkat sekarang sana, ntar terlambat.” “Ya ampun, Bun, masih jam enam lewat 25 menit,” ucap Adel yang biasanya saja naik sepeda dari jam setengah tujuh tidak terlambat, apalagi ini naik motor. “Yaudah, Tan, kita berangkat sekarang. Assalamualaikum!” pamit Ardan sopan. “Assalamualaikum, Bun,” ucap Adel juga. “Waalaikumsalam, titip Adel, ya, Ardan,” ujar Bunda lalu mendapat tatapan tidak suka dari anaknya tersebut. Sembari mengangkat jari jempolnya, Ardan berkata, “Baik, Tan.” “Emangnya aku barang, pake dititip segala,” gerutu Adel, terlihat lucu di mata Ardan membuat ia terkikik. “Ayo naik,” ucap Ardan menghentikan gerutuan Adel. Mulai hari ini sampai sepedanya selesai diperbaiki, Adel berangkat dan pulang sekolah bersama Ardan. Bukan Adel atau Bunda yang meminta tapi Ardan yang menawarkan. Kemarin saat Ardan mengantarnya pulang karena keadaan sepedanya yang menyedihkan. Ardan sudah menceritakan keadaan sepeda Adel tadi, sedangkan Adel hanya diam saat ditanya Bunda. Mungkin dia masih shock. “Makasih, Ardan,” ucap Bunda dengan senyum ramah. “Oh, iya. Selama sepedanya Adel belum bener. Adel berangkat dan pulang sekolah sama saya aja,” tawar Ardan. Bunda mendengar tawaran itu sebenarnya sangat tidak enak, setelah Ardan mau bersusah-susah membawa sepeda anaknya itu ke bengkel dan sekarang ingin menawarkan tumpangan, “Apa enggak ngerepotin?” “Enggak kok, Tante,” jawabnya yang jelas-jelas tidak merasa direpotkan sama sekali. Mendengar jawaban yang penuh keyakinan itu, Bunda pun mengizinkan. *** Banyak sekali pasang mata yang mengarahkan berbagai macam pandangan mereka kepada dua anak SMA yang baru saja turun dari motor ninja hitam itu. Ada yang melihat dengan tatapan tak percaya, tatapan sinis, tatapan bingung, tatapan mereka-reka. Bahkan ada yang sampai berbisik. Ya, ampun, apakah mereka ingin di posisi Adel saat ini? Dasar orang iri! Ah, Adel mulai tak tahan dengan tatapan-tatapan itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk berjalan terlebih dahulu menuju kelas. “Del, lo mau ke mana?” tanyanya sembari menarik rambut pendek itu. “Aaa, aduh! Aku mau ke kelas lah, emangnya ke mana?” Adel meringis karena jenggutan ringan dari Ardan. “Kenapa buru-buru? Lo gak mau bareng gue?” tanyanya dengan menaikkan satu alis. “...” “Oh, gue tau,” Ardan melihat suasana sekelilingnya yang sedang menatapnya. “Udahlah gak usah ditanggepin. Oke?” “Mm, ok.” Adel menganggukkan kepala. “Ayo.” Lalu Ardan merangkul Adel. Membuat irama jantungnya berpacu lebih cepat. *** Suasana kantin sangat ramai. Suara dentingan sendok yang bersentuhan dengan piring, siswa-siswa yang berebut menyebutkan pesanannya, dan penjual yang berseru menyebutkan harga barang yang dijual. Ditambah lagi dengan keberadaan keenam anggota gengstar ini. Membicarakan tentang hal konyol, tentang bagaimana ekspresi orang-orang di sekitarnya pada saat mereka tawuran, tentang adek kelas yang pernah mereka palak. "Ngakak sumpah!" seru Anton setelah mendengar cerita Galang mengenai banci yang wig merahnya terlepas lantaran ketakutan dengan anak SMA yang sedang tawuran. "Kalo dipikir-pikir dosa kita banyak juga, ya. Kita harus taubat teman-teman, agar menjadi insan yang lebih baik," ucap Kevin dengan raut muka serius yang dibuat-buat. Galang bertepuk tangan bangga sedangkan yang lainnya hanya berdecih. "Perlu bikin hastag ganti ketos nggak nih?" "Anjir, dah, Kevin ketosnya seluruh warga sekolah bakalan madesu sumpah!" ucap Aldi dengan dua jari tangan membentuk huruf V. Lagi-lagi celetukan itu membuat kondisi kantin makin ramai karena gelak tawa dari keenam siswa yang di antaranya terdapat satu cewe yang tampak acuh dengan sekitar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD