Rasa Bahagia

1031 Words
Rata-rata dari sekian baju yang terpajang adalah kemeja pria dan wanita yang memiliki corak yang sama. "Lo nggak cocok kalo make kemeja, Del, sumpah." Adel yang sedang melihat kemeja-kemeja itu dengan tatapan berbinar lantas raut mukanya menjadi berubah kala mendengar perkataan Ardan itu. "Tapi yang ini lucu, kayaknya cocok kok." Ardan melihat sekilas lalu beralih ke petugas yang mendampingi mereka. "Cuma kemeja aja yang dress buat cewe nggak ada apa?" "Nggak, Mas, kalo mau juga pesen dulu." Ardan berdecak. "Berapa hari lagi acaranya." Lalu ia kembali melihat deretan kemeja itu. Di antara banyaknya kemeja Adel memilih kemeja couple berwarna cokelat muda dengan corak berwarna cokelat tua. Kemeja pria memiliki corak hanya dibagian bahu sampai d**a selebihnya hanya polos. Sedangkan yang wanita sebaliknya. Lalu untuk celana ia memilihkan levis panjang berwarna putih untuknya dan cowo itu. "Coba pake dulu terus nanti liat ke kaca." Adel mendorong tubuh Ardan yang terlihat enggan memakai kemeja itu. Adel tersenyum ketika berhasil membuat Ardan masuk ke ruang ganti. Lalu ia juga bergegas mencoba kemeja pilihannya itu. Tak beberapa lama Ardan keluar terlebih dahulu menunggu Adel keluar dari kamar ganti. "Gimana?" tanya Adel ketika ia membuka pintu kamar ganti itu. Adel menarik Ardan menghadap cermin besar yang berada di salah satu pilar outlet. Ardan melihat dirinya dan Adel yang berpakain casual seperti itu. Padahal ia sudah membayangkan betapa manisnya Adel dibalik gaun selutut. Namun, melihat penampilannya kini ia sudah memastikan bahwa mau bagaimanapun juga Adel akan terlihat tetap manis di matanya. "Oke, kita pake yang ini." Mendengar kata 'kita' dari mulut Ardan barusan membuat jantung Adel berdesir tak karuan. Senyum itu terbit tanpa bisa dihalau. Harinya bersama Ardan masih panjang, ia akan mencoba menikmati ini semua. Sebelum suatu saat nanti ia tak lagi dapat merasakannya. *** Begitu banyak yang dilakukan Adel dan Ardan hari ini. Setelah berbelanja pakaian, dilanjut dengan sepatu setelah itu mereka memasuki timezone. Tempat yang tak hanya dikunjungi oleh anak-anak kecil bahkan banyak juga pasangan-pasangan seperti mereka. Ardan dan Adel berlomba mengumpulkan kupon timezone terbanyak. Melakukan permainan secara bergantian, berusaha menjadi pemenang hanya karena tidak mau menerima hukuman dari yang menang. Sampai pada akhirnya Adel harus mengalami kekalahan dan hukumannya harus membawa barang-barang belanjaan itu. "Sini gue bawain, hukuman lo gue yang tanggung." Adel melongo ketika Ardan merebut barang belanjaan itu lagi. "Gue bakal jadi orang yang mau membawa beban lo, Del. Apapun itu, seperti halnya gue nggak bakal biarin lo ngangkat masalah lo sendirian. Karena gue ... sayang sama lo." Adel mengerjap dengan ucapan Ardan barusan. Ardan memutar matanya malas. "Ck, lo nggak ngerti maksud gue? Yaudahlah bodo yang penting gue sayang lo. Dan sekarang gue mau makan laper." Adel berjalan di belakang Ardan melihat punggung itu yang tengah menenteng belanjaan mereka dengan siulan ringan keluar dari mulutnya. Ia memegang letak jantungnya yang berdetak kencang seperti habis lari maraton. Adel merasakan pipinya memerah, ia memajukan rambutnya menutupi kedua pipinya takut-takut ada yang memperhatikan. Merasa tak ada Adel di sampingnya, Ardan menoleh ke belakang. "Lama dah, gue dibiar jalan sendiri." Ardan menunggu Adel. Melihat rambut Adel yang menutupi bagian sisi wajah cewe itu, ia menyejajarkan wajahnya. "Lo kenapa?" Adel menghindar dari tatapan Ardan sambil terus berjalan. "Nggak pa-pa, jalannya liat ke depan dong, Dan." Ardan mengangkat alisnya lalu mengendikkan bahu. "Abis ini kita pulang ya, Del." Adel melirik lalu bercebik. "Daritadi siapa yang nggak mau pulang coba." Lalu cewe itu mengambil kantong yang kecil dari tangan Ardan. "Yang ini biar aku yang bawa." Ardan mengangguk lalu tangannya yang bebas ia gunakan untuk merangkul bahu cewe itu. Tangan yang merangkul itu tak henti sampai di situ saja, ia arahkan ke pipi Adel yang dekat dengan telapak tangannya kemudian dicubit. "Ardann! Sakiittt!" Adel membalas mencubit pipi Ardan. "Deh, lebih kenceng nyubitnya." Ardan mencubit pipi Adel kembali sambil menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri. Lalu setelah itu ia berlari menghindar dari Adel yang hendak membalasnya. "Sakit beneran Ardan!" Ardan yang berada di depannya beberapa meter tertawa. "Berarti yang pertama boongan dong." "Bodo!" *** Sampai pada malam hari Adel pulang. Ia membawa belanjaannya yang diketahui Bunda. "Itu apa?" "Baju, Bun, buat malam keakraban kelas 12 nanti." Bunda ber'oh' ria, ia kini menatap intens wajah anaknya. "Kamu sama Ardan...." Adel menelan salivanya. "Adel masuk kamar dulu, ya, Bun." Adel berlari menghindar dari introgasi bundanya. "Wah! Kapan kalian pacaran, Del?" Bunda berseru ketika melihat Adel berlari ke arah kamarnya. "Bunda kepo," ucapnya sebelum menutup rapat pintu kamarnya. Bunda hanya terkekeh sambil bergeleng maklum. Belum sempat ia mendaratkan bokongnya ke sofa, ketukan pintu kembali terdengar. Ketika dibuka ternyata benar dugaannya. "Mas Ramdan? Ayo masuk, Mas. Saya panggil dulu Adelnya, ya." Bunda mempersilakan mantan suaminya itu duduk lalu ia memanggil anak gadisnya. Adel kembali keluar menemui papanya. Tak seperti sebelumnya kali ini Papa hanya memberikan kotak beludru. Lalu hendak pergi lagi, ia berkata tak bisa berlama-lama karena ada urusan lain. Kebetulan, Adel pun berencana ingin segera tidur karena lelahnya hari ini. Adel kembali ke kamarnya dengan membawa kotak beludru itu. Ia duduk di pinggir kasur lalu membuka isinya. Sebuah kalung dengan inisial E terukir indahnya. E adalah Elramdan. Nama dari ayahnya sekaligus nama belakangnya yang enggan ia sebutkan. Adelia Putri Elramdan. Ia tersinyum simpul lalu menutup kotak beludru itu dan disimpannya di atas meja belajar. *** Ardan tak henti-hentinya tersenyum. Ia turun dari lantai dua hendak ke dapur untuk mengambil minum. Namun, saat ia melewati ruang kerja sang ayah yang pintunya terbuka sedikit ia mendengar percakapan singkat papanya di telepon. Langkahnya terhenti karena percakapan singkat yang ia dengar. Itu bukan telepon urusan kerja. Jelas bukan, karena yang ia dengar adalah hal yang tidak pernah ia inginkan selama ini. Ia masuk tanpa mengetuk. "Papa abis nelpon siapa?" "Kamu kok masuk nggak ngetuk dulu." "Itu.telpon.dari.siapa?" ucapnya menekankan dari setiap kata. Papanya beranjak dari tempat duduknya menghampiri sang anak yang sedang menatapnya tajam. "Papa nggak yakin kalo kamu bakal bisa nerima--" "Nggak! Nggak akan pernah bisa. Itu Papa tau. Kalo aku nggak akan bisa terima siapa pun jadi ibu tiri Ardan." Setelah mengatakan itu Ardan berjalan mundur dan pergi dari tempat itu. Ia tutup pintu dengan kencang menimbulkan suara deguman keras. "Iya, sayang, selamat malam." Kalimat itu kembali terngiang di telinganya. Ardan mengusap kasar rambutnya. Ia tak akan pernah bisa terima itu, tak akan pernah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD