Dekat tapi Jauh

1015 Words
Pintu toko yang sudah tidak terkunci dan motor hitam yang ada di parkiran membuat Dinda bisa langsung menebak bahwa pemilik toko sudah berada di sini. Dinda mengambil rompi yang diletakkan di dalam laci kasir dan memakainya. Ia menoleh ke arah pintu ruangan Ardan. Sikap Ardan kemarin secara terang-terangan menjelaskan jarak yang nyata. Lelaki itu tidak ingin mendekatinya bahkan untuk sekedar memberi tumpangan sekali pun. Padahal perjalanan rumah mereka searah. “Selamat berbelanja,” salam Dinda kepada pembeli yang datang. "Saya mau beli barang-barang ini." Pembeli itu menyodorkan secarik kertas panjang yang berisi list barang yang mau dibeli. "Bisa tolong dibantu carikan barangnya?" "Bisa, Mba!" jawab Dinda tanpa dipikir lagi. Ia hanya melihat kondisi sepi toko itu saat pelanggan ini datang, tanpa berpikir bahwa dia akan kesulitan jika ada pembeli yang datang lagi. Dengan sigap Dinda membantu menunjukan letak barang yang ada di daftar itu. Terdapat sekitar enam rak yang berjejer, belum terhitung rak-rak yang berada di setiap sisi dinding. Dari rak satu ke rak yang lain Dinda terus bergerak mengumpulkan satu persatu barang yang akan dibeli. Saat-saat seperti ini, Dinda berharap Ardan akan keluar dan menolongnya. Suara lonceng bel terdengar. Membuat Dinda yang masih harus mengumpulkan enam barang lagi kelabakan. "Ini kasirnya mana, ya?!" seru pelanggang yang baru datang itu. "Mba, bisa dipercepat nggak? Soalnya saya mau pergi," tutur si pemilik daftar belanjaan. "Saya tinggal bentar ya, Mba. Bentar aja. Ada yang tinggal bayar soalnya," izin Dinda sebelum bergegas ke meja kasir. Setelah menyelesaikan tugas transaksinya, Dinda kembali mendatangi pelanggan yang masih berkutat di satu rak. Entah ibu itu tidak ada keinginan untuk mencari di rak lain atau memang sengaja ingin menyuruh Dinda melakukannya. Cewek itu kembali berlari dari satu rak ke yang lain. Pembeli baru, datang. Dinda kembali bergegas ke meja kasir. Sumpah, saat ini juga Dinda minta diberikan kesabaran untuk tidak menggedor pintu ruangan Ardan. Meminta cowok itu untuk menolongnya. "Bilang ke bosnya minta ditambah partner," kritik pelanggan yang memiliki belanjaan banyak. "Baik, Mba. Terima kasih usulannya." "Iya, biar nggak lelet gini." Dinda tersenyum ramah membalas ekspresi kesal pembeli itu. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih dan salam sebelum si pembeli pergi. Cewek itu meregangkan tangan dan melakukan peregangan untuk bagian tubuhnya yang sudah merasa lelah. Baru Dinda mau duduk, pembeli baru datang. Hari itu tidak ada kesempatan banyak Dinda bisa menikmati istirahat. Bahkan saat jam makan siang, Dinda tidak sempat makan. Untuk makan saja cewek itu jadi kelupaan. Sedangkan si pemilik toko entah sedang apa sama sekali tidak berniat untuk keluar. Jika, tidak menolong setidaknya keluar untuk memberikan semangat. Namun, nyatanya pintu itu masih setia menutup. Ardan, setidaknya keluar sebentar bantu gue kek! batin Dinda berteriak. *** Waktu menunjukan pukul setengah sepuluh. Perut Dinda terasa melilit. Tubuhnya pun menjadi pegal-pegal. Dinda baru ingat bahwa hari ini ia belum sempat makan siang dan malam. "Dan!" Dinda mengetuk pintu ruangan Ardan. Dalam ketukan ke tiga pintu itu sudah terbuka. "Gue balik dulu, ya," pamit Dinda. Ardan melirik jam di ruangannya. Ia mengangguk singkat lalu menutupnya. Segitu aja? Dinda jelas tak menyangka. Tidak ada kata basa-basi yang keluar dari mulut Ardan. Cewek itu keluar dari toko dengan perasaan kesal. Menjauhinya boleh, tetapi bukan berarti benar-benar mengacuhkannya dalam pekerjaan. Saat sampai rumah, Dinda langsung bergegas membersihkan diri. Kemudian ia mengambil mie instan yang ditaruh lemari yang tergantung di dinding. Dalam kulkas, Dinda sudah menyiapkan beberapa kaleng minuman beralkohol. Selesai masak mie instan, Dinda melahapnya rakus. Seharian tidak makan karena pekerjaan adalah rekor baru bagi Dinda. Usai makan, Dinda mengambil beberapa kaleng bir dan membawanya ke ruang tengah. Ia menyalakan televisi sambil ditemani alkohol. Kejadian hari ini membuatnya ingin mabuk dan tertidur. Gluk! "Setidaknya kalo emang masih nggak suka, masih dendam ya ngomong!" Glek! "Nggak profesional!" Glek! "Dia nggak liat kalo pembelinya hari ini banyak, hah? Gue sampe lupa makan saking ngelayanin pembeli." Glek! "Ya, kalo nggak mau nolongin cariin satu kasir lagi kek!" Glek! "Hahaha, sampe ngechat Kevin minta anter gue. Kenapa nggak lo aja?! Cupu!" Dua kaleng sudah tergeletak tanpa isi di lantai. Dinda kembali mengambil satu kaleng. Matanya memang menancap pada televisi di depannya. Namun, pikirannya tengah berjalan ke arah lain. Glek! "Gue menyedihkan banget, kan? Masih belum move on." Glek! "Sedangkan tu cowo. Seenaknya nyuekin gue kayak gini, hah!" Glek! Ponsel cewek itu bergetar. Pandangan Dinda jadi beralih pada benda pipih itu. Dinda menjadi geram kala nama cowok itu terpampang. Dengan setengah sadarnya, Dinda menekan kontak Ardan dan meneleponnya. "Halo? Kita bicarain besok pagi aja, soalnya malam ini—" "APA?! Malam ini apa, hei?" potong Dinda. Selanjutnya, cewek itu meracau hal yang nantinya bisa memalukan.dirinya sendiri. "Maksud lo apa hari ini nyuekin gue parah, hah?!" Glek! "Gue belom makan siang sama sore tau nggak lo. Kalau lo mau nyuekin gue setidaknya kasih gue satu partner lagi!" serunya dengan nada tinggi. "Lo minum, Din?" tanya Ardan di seberang sana. Glek! "Lo masih benci gue, Dan?" Dinda menelan salivanya. Warna suaranya menjadi berubah sendu. "Gue kan udah minta maaf saat itu, Dan." Setetes air keluar dari pelupuk Dinda. "Lo di mana sekarang?" Ardan sudah hampir mengambil kunci mobilnya. "Rumah," jawab Dinda. "Lo benci gue segitunya-kah?" racau Dinda lagi dan mulai menangis. "Din, lo lagi mabok. Kita bahas besok." "Gue nggak kuat lo cuekin gitu sumpah!" tangis Dinda pecah. "Ardan jahat banget sih lo! Kenapa lo nggak pecat gue aja kalo benci!" Glek! Dinda meneguk tetesan terakhir isi kalengnya. "Dan, lo mau minum juga nggak? Di kulkas gue masih banyak, hehe." Kemudian tangis cewek itu berubah menjadi kekehan geli. "Din, udah dulu. Kita bahas besok," tukas Ardan lalu menutup sambungan telepon itu. Tahu sambungannya diputus, Dinda hanya menatap lekat layar ponselnya. Padahal dulu yang selalu menutup panggilan itu terlebih dahulu adalah Dinda. "Hehe, dibalesnya sekarang, ya, Dan?" Dinda mengerjap lambat, air mata terus luruh di pipinya. Kemudian ia merebahkan tubuhnya di sofa. Matanya semakin terasa berat hingga ia benar-benar tertidur. Di waktu yang sama dalam tempat yang berbeda, pikiran seseorang menjadi kacau. Setiap perkataan yang ia terima terasa menyakitkan. Hati yang sedang berusaha ia tata menjadi tak beraturan saat ia mendengar kalimat yang keluar dari orang yang tidak sadar. Entah bagaimana ia harus bersikap besok.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD