Tigo (Tiga)

1616 Words
Kalau memang dia jodoh saya, meski ke ujung dunia sekalipun, dia pasti akan menemukan keberadaan saya. -Meidina- Satu bulan sudah berlalu sejak Alvin pulang ke Padang. Sampai detik ini Alvin belum menemukan sosok perempuan yang dijodohkan dengannya itu. Lebih tepatnya, dia memang belum pernah mencari keberadaan perempuan itu. Bagaimana mau ketemu, mencarinya saja belum. Bagaimana mau mencarinya, memulainya dari mana saja dia tidak tahu. Alvin terlalu dihantui pikiran-pikiran buruk tentang sebuah pernikahan, terlebih lagi perempuan yang dijodohkan dengannya adalah janda. Pagi ini seperti biasa, diawali dengan Alvin mulai memanaskan motor CBR-nya sebelum digunakan meluncur di aspal menuju kantornya, sambil menunggu Silvia, adik perempuannya, selesai bersiap. Alvin memang ke mana-mana lebih suka naik motor. Sebenarnya dia juga memiliki mobil, tapi jarang ia gunakan ke kantor, hanya digunakan di saat-saat membutuhkan saja. Menurut Alvin, mobil adalah kendaraan paling tidak efektif dan tidak efisien, makan banyak tempat, ribet pokoknya. Setelah mengantar Silvia ke kantor stasiun televisi tempat adiknya itu bekerja, Alvin melajukan kembali motor menuju kantornya sendiri di daerah Kuningan. Saat jam istirahat, salah satu sahabat Alvin mengungkapkan niatnya yang hendak melamar kekasihnya. Namun tanggapan Alvin biasa saja. Membuat Dastan bingung dengan keanehan sahabatnya. "Lo kenapa, Al?" tanya Dastan saat menyadari keanehan pada diri Alvin. Alvin terkesiap. "Nggak kenapa-kenapa. Eh, lo yakin mau melamar Kiara?" Alvin justru balik bertanya soal pernyataan yang disampaikan Dastan beberapa saat yang lalu dan mencoba mengalihkan pertanyaan Dastan juga pastinya. "Iya, gue yakin Kiara jodoh gue." Alvin terbelalak. "Dari mana lo bisa seyakin itu? Lo ketemu aja karena kebetulan kan?" Dastan mengangguk. "Gue yakin Tuhan nggak pernah menciptakan kebetulan yang sia-sia, gue ketemu dia itu suatu pertanda," jawab Dastan mantap "Pertanda apa? Pertanda lo makin nggak waras?" celetuk Fandi menanggapi opini yang disampaikan oleh Dastan. "Eh diem lo, Mukidi!" Dastan memaki Fandi yang selalu tidak bisa serius dalam menanggapi setiap hal. Dalam hati Alvin bergumam, bahwa apa yang disampaikan oleh sahabatnya itu ada benarnya juga. Tuhan nggak pernah menciptakan kebetulan yang sia-sia, gue ketemu dia itu suatu pertanda. Alvin mengulang penggalan kalimat yang diucapkan oleh Dastan beberapa saat yang lalu dalam hatinya. Namun ia tidak bisa menempatkan teori Dastan itu pada kasus yang tengah ia alami. Siapa 'dia' dalam kasus Alvin? Amerasa tidak pernah bertemu orang secara kebetulan, bahkan hingga berkali-kali dalam suatu kebetulan yang dialami seperti sahabatnya. Halah, kalau jodoh gue, ya kita bakal ketemu. Kalau nggak jodoh, ya bagus deh, nggak perlu ada perjodohan apa pun. Ucap Alvin dalam hatinya sekali lagi. Alvin sendiri memang enggan menceritakan perihal perjodohan yang membuat pikirannya seperti penuh saat ini, serta kesulitan yang sedang ia alami kepada sahabat-sahabatnya. Seharusnya masalah pencarian itu akan lebih mudah jika dibantu oleh Dastan maupun Fandi, yang notabene memiliki banyak kenalan se-antero Jakarta, tapi Alvin enggan merepotkan sahabat-sahabatnya. Kali ini dia yang akan memikirkan sendiri jalan keluar untuk masalahnya ini. *** Akhir-akhir ini Meidina sering murung, karena masalah apa lagi kalau bukan memikirkan perjodohan yang tak bisa lagi ia tentang itu. Entah kenapa, orang tuanya kelihatan sudah terlanjur menyukai sosok laki-laki yang hendak dijodohkan padanya, terutama abak-nya. Sebenarnya ada hal lain lagi yang lebih menghantui benak Meidina. Laki-laki itu tidak mengatakan setuju terhadap perjodohan ini, tapi juga tidak menolak. Dia malah mengajukan syarat yang aneh menurut Meidina. Di saat laki-laki di Padang rata-rata menyebutkan nominal angka pada saat ada pihak perempuan yang datang melamar tapi laki-laki yang satu ini malah sama sekali tidak menyebutkan nominal berapa pun. Kata abak-nya, Meidina hanya disuruh bersiap, jika suatu hari nanti ada laki-laki asal Muara Panas yang datang mengaku sebagai calon suami untuk melamarnya, maka dia harus bersedia menikah dengan lelaki itu apa pun yang terjadi. Abak-nya juga bilang, laki-laki itu hanya meminta nama lengkap Meidina dan akan mencari sendiri keberadaan Meidina di kota Jakarta yang sangat luas ini. Laki-laki itu bahkan tidak tahu apa pekerjaan Meidina, di mana tempat tinggal Meidina, juga ciri-ciri fisik Meidina pun tak laki-laki itu tanyakan pada abak-nya. Belagu banget sih tuh orang, emang dia bisa menemukan orang hanya dengan melihat keberadaannya dari telapak tangan? Gerutu Meidina dalam hatinya, saat ia berada dalam ruang kerja di butiknya. "Kenapa, Ni? Masih kepikiran soal perjodohan itu ya?" tanya Mitha seraya mendekati meja Meidina dengan membawa secangkir teh hangat untuk bos-nya. "Tidak memikirkan perjodohannya sih, hanya memikirkan cara menolaknya laki-laki itu. Ribet banget caranya itu. Kalau memang dia tidak mau sama saya ya sudah, tidak perlu mengajukan syarat segala." "Ya berarti laki-laki itu punya niat baik sebenarnya sama Uni. Kalau dia bukan laki-laki berhati, dia pasti akan menolak dan pergi begitu saja. Dan itu malah akan mempermalukan uni sekeluarga, bukan?" Yang dikatakan oleh Mitha memang ada benarnya juga. Karena itu lah memang yang sempat terpikirkan oleh Meidina. Kalau memang dia jodoh saya, meski ke ujung dunia sekalipun, dia pasti akan menemukan keberadaan saya. Hati Meidina bisa menghangat begitu saja hanya dengan menggumamkan kalimat itu. Seseorang akan berjuang untuk mencarinya, sebagai calon pendamping hidup orang tersebut. "Ni, uni ... yeee, malah ngelamun. Ada langganan kita tuh. Mau ditemuin nggak?" tanya Mitha membuyarkan lamunan indah Meidina. "I, iya. Saya turun sebentar lagi," jawab Meidina tergagap dan Mitha malah mengulum senyum menanggapi sikap bos-nya yang terlihat lucu jika sedang salah tingkah ini. Tepat pukul tujuh malam, Mitha mulai terlihat sibuk memantau para karyawan menutup butik Az Zahra pusat. Sedangkan Meidina sudah menunggunya di dalam mobil. "Langsung pulang ya, saya capek," ujar Meidina kepada Mitha, saat gadis mungil itu telah siap di bangku kemudinya. "Okay," jawab Mitha lalu melajukan Jazz putih milik Meidina meninggalkan halaman parkir pertokoan. Meidina sepertinya sangat kelelahan hari ini. Mobil yang dikendarai oleh Mitha berhenti, saat traffic light menyala merah. Mitha menggoyangkan kepalanya mengikuti irama lagu milik Sia feat Sean Paul berjudul Cheap Thrills yang berputar dari audio mobil. Tanpa sengaja Mitha menoleh ke sisi kiri mobil, awalnya dia ingin melihat kondisi bos-nya yang terlihat sudah terlelap. Pandangan Mitha berhenti pada sosok pengendara motor CBR, yang berhenti tepat di sisi kiri mobil Meidina. Seorang laki-laki yang Mitha ingat betul wajahnya. Tentu Mitha bisa melihat wajah laki-laki itu, karena laki-laki itu saat ini sudah melepas helm full face-nya untuk menerima panggilan telepon dari seseorang di seberang sana. "Ni Mei, itu kan laki-laki yang pernah uni tubruk," tukas Mitha seraya mengguncang bahu bos-nya beberapa kali. "Astagfirullah, apa sih, Mit? Bikin kaget aja kamu!" Meidina mendengkus kesal karena dikejutkan oleh Mitha, saat dia baru saja terlelap dalam tidurnya. "Itu Ni, mubazir kalau dilewatkan!" Mitha mengedikkan dagunya ke arah samping mobil Meidina. Sontak Meidina terkejut melihat apa yang ditunjuk oleh Mitha. Meidina melihat laki-laki itu lagi. Dia sedang tertawa dengan seseorang entah siapa yang sedang meneleponnya, menampakkan deretan giginya yang putih. Jari-jari panjang tangannya yang bebas dari genggaman ponsel, berputar membentuk sebuah bentuk abstrak di atas helm berwarna hitam dove. Petunjuk apa ini? Jakarta itu luas, kenapa dia harus bertemu lagi dengan laki-laki yang sama dan di kesempatan yang berbeda-beda. *** Alvin tidak tahu bahwa motornya berhenti tepat di samping mobil Meidina. Tiba-tiba ponselnya berdering, menuntut untuk segera diterima panggilannya. Delisha ... gumam Alvin setelah melihat layar ponsel. Karena angka di atas traffic light masih cukup lama untuk berubah dari lampu merah ke lampu hijau, ditambah lagi deretan mobil di depannya juga cukup panjang, Alvin memutuskan membuka helm yang ia kenakan dan menerima panggilan telepon Delisha. "Ya Del?" sapa Alvin dengan lembut pada Delisha. "Kakak di mana? Udah makan belom?" "Masih berhenti di lampu merah nih. Ini mau makan, ditraktir sama kakak kamu." Alvin memajukan sepeda motornya perlahan karena mobil di hadapannya merayap maju, setelahnya lampu lalu lintas kembali menyalakan warna merah. Tadi Alvin salah mengambil jalur, makanya sekarang ia harus terjebak dalam kemacetan dan diapit oleh mobil-mobil yang sedang berjuang keras untuk keluar dari kemacetan juga. "Paling tar ujungnya dugem. Mabok, main cewek." "Suudzon kamunya. Dastan udah insyaf kali. Kak Al mana pernah mabuk, 'minum' doang sih iya." Lalu Alvin tertawa, tanpa ia sadari ada dua pasang mata yang sedang memerhatikannya dari jarak sekitar kurang lebih dua meter saja dari posisinya saat ini. Kaca mobil Meidina memang dilapisi kaca film yang cukup tebal dan berwarna gelap, jadi orang dari luar tidak bisa melihat apa yang ada di dalam mobil kecuali sengaja melihat dengan cara menempelkan dahi ke kaca mobil. "Udah ya, dah mau hijau nih. Kak Al jalan lagi." "Iya, tiati di jalan, Kak." Alvin meletakkan kembali ponselnya di saku jaket kulit warna hitam yang tengah ia kenakan. Saat hendak mengenakan helmnya kembali, seseorang menyapanya dari dalam mobil yang berada di samping kanan Alvin. "Duluan ya, Mas," ujar Mitha dengan ramah kepada Alvin, saat kaca mobil di samping Meidina telah dibuka paksa oleh Mitha. Dalam hatinya, Meidina menyumpah serapahi Mitha detik ini juga. Demi Tuhan, Meidina sungguh sangat malu saat ini. Namun dia sendiri tidak tahu malu untuk alasan apa. Pandangan Alvin berserobok dengan Meidina. Meidina terlihat tersenyum canggung pada Alvin. Alvin membalas hanya dengan anggukan kepala, seraya mengenakan helmnya dan tersenyum dari balik helm full face yang telah ia kenakan. Meidina tahu Alvin juga membalas tersenyum, dia bisa lihat dari kedua mata Alvin sedikit menyipit di balik celah helmnya. Mobil Meidina melaju terlebih dahulu. Motor Alvin melaju menyusul mobil dan membunyikan klakson motornya sekali saat mendahului mobil Meidina. "Bisa-bisanya ya kamu flirting sama cowok tidak jelas di lampu merah, Mit," tukas Meidina dengan kesal. Dia masih sebal pada gadis muda di sampingnya, yang mencoba untuk mengerjainya malam begini. "Bukan flirting, Uni. Aku tuh cuma nyapa doang, kok. Dia tadi senyum loh, itu tandanya dia ingat sama kita." "Teori dari mana itu? Ngarang aja kamu!" "Dibilangin juga nggak percaya. Lihat aja, kalau sampai dia jadi jodoh Ni Mei, baru deh Uni bisa percaya sama teoriku." "Apaan sih? Bikin ngantuk aja teori kamu." Mitha mendengkus kesal karena Meidina telah mematahkan teori yang dibuatnya. Mitha kemudian tersenyum kecil melihat sikap Meidina yang begitu mudah dipancing emosinya. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD