Ampek (Empat)

1730 Words
Meidina menyangka ada yang ganjal dari perjodohan ini. Harga dirinya tersentil dengan syarat yang diajukan oleh pemuda yang telah dijodohkan dengannya. Meidina seolah digantung, diberikan harapan, yang pada akhirnya akan jatuh dan membuatnya tak bisa berdiri lagi. Sudah tiga bulan berlalu sejak perjodohan itu dan sampai sekarang pria yang katanya akan mencari keberadaan dirinya belum muncul juga di hadapannya. Meidina tidak mengerti konspirasi apa yang sedang menimpa dirinya saat ini. Di sisi lain, Alvin tidak pernah sedikit pun terpikir untuk berusaha mencari perempuan yang dijodohkan dengannya sesuai dengan syarat yang ia ajukan saat perjodohan berlangsung di Padang tiga bulan yang lalu. Alvin justru nampak tidak peduli sama sekali. Dia menjalani aktivitasnya seperti biasa. Saat ada waktu luang, Alvin justru menghabiskan waktunya dengan Delisha, gadis cantik yang cukup dekat dengan dia selama beberapa tahun terakhir ini. Delisha adalah adik perempuan Dastan, sahabat Alvin. "Abang perlu bantuan Via nggak untuk cari perempuan yang dijodohkan sama abang itu?" tanya Silvia saat keduanya sedang menikmati makan malam di rumah. "Bantu gimana, kayak mau cari bola dragon ball aja, bisa dicari pakek radar?" canda Alvin sambil tertawa lirih. "Ya kasih aja namanya, nanti Via bantu cari." Silvia memang tidak ikut dalam pertemuan keluarga, saat keluarga Tun Razak datang melamar Alvin pada keluarganya, makanya dia tidak tahu menahu nama perempuan yang dijodohkan dengan abang-nya. Ingin bertanya pada mamak-nya, dia sungkan. Rasanya kurang etis, takut dikira mau ikut campur urusan orang tua. "Abang aja lupa siapa namanya, boro-boro mau nyari." Alvin menjawab dengan wajah datarnya. Silvia berdecak sebal dengan tanggapan abangnya yang tidak mau tahu itu. Alvin mengakhiri makan malamnya, kemudian membawa piring beserta gelas kotornya ke bak cuci piring, lalu mencuci piring bekas makannya sendiri. "Bang Vino tuh niat nggak sih, sama perjodohan itu? Kalau nggak mau, kan tinggal bilang nggak mau. Nggak perlu ngulur-ngulur waktu kayak gini." Silvia mulai jengah dengan Alvin yang tidak bisa menunjukkan sikap jantannya sebagai seorang laki-laki. Silvia menganggap saat ini abangnya itu sedang menyembunyikan ketakutan tak beralasannya, di balik topeng wajah datar dan dingin yang senantiasa tercetak jelas di wajah seorang Alvino. "Nah, memang itu kok tujuan abang mengajukan syarat apalah itu, intinya adalah untuk mengulur waktu, sampai pihak keluarga Sutan nan terhormat itu yang membatalkan sendiri perjodohan nggak jelas itu. Nggak enak aja Via, mereka yang datang melamar, trus ditolak sama abang, malunya jadi dua kali lipat keluarga sutan itu, kan mending mereka yang membatalkan sendiri perjodohan itu," jelas Alvin dengan tenang. Silvia kembali mendengkus mendengar jawaban Alvin kali ini. "Itu sifat pengecut, Ayah nggak pernah mengajarkan kita untuk punya sifat seperti itu, hadapi, bukannya sembunyi apalagi lari seperti ini, Bang!" jawab Silvia dengan nada sedikit tinggi. "Ck, kamu nggak usah ikut campur urusan abang. Biar abang selesein sendiri masalah ini," tandas Alvin seraya masuk ke kamarnya. Silvia menghela napas panjang dan tidak habis pikir terhadap sikap abangnya yang tidak biasanya ini. Sepengetahuan Silvia, abangnya adalah laki-laki yang selalu menyelesaikan masalah dengan bijak dan penuh tanggung jawab. Alvin selalu menghadapi setiap masalahnya dengan dagu terangkat. Namun kali ini, Alvin seperti lari dari tanggung jawab dan terkesan seperti pengecut yang takut menghadapi masalah yang dibikin sendiri oleh dirinya. *** Setiap pagi Meidina selalu memulai harinya dengan sarapan ringan. Kali ini Mitha menyiapkan sandwich dan segelas s**u hangat untuk sarapan mereka berdua. Setelah keduanya sarapan bersama, Mitha ke butik sendiri, sedangkan Meidina ada janji ketemu dengan klien, yang menggunakan jasanya sebagai perancang busana, untuk menyiapkan konsep busana yang hendak digunakan kliennya, dalam acara pentas budaya di Yogyakarta. Siangnya Meidina kedatangan tamu. Laki-laki dengan perawakan sama persis dengan mendiang suaminya. Egi, adik kembar dari Fero, mendiang suami Meidina. Mereka terlibat obrolan sebentar. Meski Fero sudah tak ada, tapi hubungan Meidina dan keluarga mendiang suaminya masih terjalin dengan baik, termasuk dengan Egi, yang notabene adalah adik ipar Meidina. "Aku pergi dulu ya, Teh," tukas Egi tiba-tiba, seraya memasukkan ponsel ke dalam saku celana jeansnya. "Loh, baru sampai kok sudah mau pergi sih? Nggak makan dulu?" tanya Meidina dengan sedikit terkejut. "Kapan-kapan deh, Teh." Egi lalu menyalami Meidina dan melenggang keluar ruangan Meidina. Meidina mengantarkan hingga ke depan, dan Egi dilihatnya masuk ke dalam mobil. "Kalau ke sini ajak pacar kamu juga lah, Teteh pengin kenal." "Iya, insya allah, Teh." Sesaat kemudian, Mobilio hitam milik Egi berbaur bersama kendaraan lain, di depan pertokoan yang tiga unit rukonya telah di beli oleh Meidina untuk membuka butik dengan nama dagang Az Zahra Boutique. Butik di sini dijadikan butik utama dari outlet butik Az Zahra yang tersebar di Jakarta. Meidina kembali ke ruangannya, setelah mengantar Egi ke pintu depan butik. Pikirannya kembali menari indah berputar ke masa lalu, masa indahnya bersama mendiang suaminya. Empat tahun berpacaran dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Bukan hal yang mudah bukan untuk dilupakan begitu saja kenangan-kenangan yang telah terekam di memory selama kurun waktu selama itu. Apalagi kenangan yang ditinggalkan adalah kenangan indah bahkan akan menjadi kenangan yang terindah. Mei kangen banget sama Aa. A Fero kangen nggak sama Mei? Meidina menggumam sendiri. Hingga tanpa terasa butiran bening jatuh mengenai punggung tangannya. Meidina segera mengusap kedua matanya yang ternyata telah basah, entah sejak kapan. *** Meski hari ini adalah hari Sabtu, kantor tempat Alvin kerja biasanya masuk. Ditambah akhir-akhir ini banyak masalah yang sedang menimpa perusahaan terkait dengan masalah keuangan perusahaan dan bahan baku. Terutama untuk pabrik yang berada di Jawa Timur. Sampai-sampai GM kantor pusat harus turun tangan untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang ada. Alvin memilih makan siang di kafetaria kantor. Siang ini, dia malas keluar kantor. Meski Fandi mengiming-iming akan mentraktir, tapi Alvin bersikukuh untuk makam siang di kafetaria. Kaki panjangnya melangkah keluar dari lift menuju kafetaria, lalu masuk ke dalam ruangan khusus merokok. Siang itu Alvin terlihat kurang antusias dengan topik pembicaraan mereka kali ini. Semenjak tadi Delisha tidak bisa dihubungi dan itu benar-benar membuatnya kesal setengah mati. Setelah bosan menatap ponselnya yang masih juga tidak menampakkan notifikasi balasan chat yang dia kirim pada Delisha sejak pagi tadi, Alvin meletakkan ponselnya dengan setengah membanting ke meja. Membuat Fandi sedikit terkejut, tapi tak bertanya apa-apa terlebih melihat aura wajah Alvin yang jelas sangat kusut. Suara ponsel Alvin berdering kencang, ia berharap Delisha yang menghubunginya, tapi ternyata mak angah yang menelepon, memintanya untuk segera ke rumah beliau malam ini juga. Alvin tahu apa yang akan dibicarakan oleh mak angah-nya. Apalagi kalau bukan soal perjodohan. Setelah menyerahkan laporan hasil lemburnya, Alvin bergegas menuju basement, lalu meluncur ke rumah mak angah dengan mengendarai motor CBR-nya. Sebenarnya rumah mamaknya itu tidak terlalu jauh dari kantor Alvin, tetapi karena macetnya lalu lintas menjelang malam minggu seperti sekarang ini, menambah lama perjalanan Alvin untuk sampai ke rumah mak angah. Sekitar setengah jam lebih, Alvin berhenti di depan pagar rumah mamak-nya. Seorang wanita paruh baya yang merupakan PRT rumah ini membukakan pintu gerbang rumah untuk Alvin. Ternyata, mak angah sudah menunggunya di ruang tamu. Setelah berbasa-basi sebentar, menanyakan perihal pekerjaan Alvin, keadaan adiknya, barulah Nurahman masuk pada pembicaraan inti, tujuan ia memanggil Alvin ke rumahnya. "Bagaimana Vino, sudah ada perkembangan pencarian kamu terhadap anak perempuan Sutan Tun Razak?" tanya Nurahman dengan suara penuh wibawa. "Belum mak angah. Vino masih sibuk sama pekerjaan kantor." Alvin mulai merasa tersudut sekarang. Ia tahu dan sadar betul bahwa saat ini Nurahman tengah menyidangnya. "Sibuk benaran, atau memang kamu yang tidak mencarinya?" "Vino bilang sibuk, ya sibuk, Ngah," jawab Alvin dengan wajah datar. "Begini saja, besok kan hari Ahad, kamu pasti libur kerja. Biar besok mak angah antar kamu ke rumah wanita itu, untuk bersilaturahmi sekalian berkenalan dengannya." Alvin mengangkat kepalanya yang tertunduk sejak beberapa menit yang lalu. Tak percaya Nurahman mempunyai gagasan terburuk yang pernah Alvin dengar. Akhirnya dia tidak punya pilihan lain selain mengangguk pasrah. Tapi dalam otaknya tengah berpikir keras memikirkan bagaimana cara menghindari pertemuannya esok hari. Mak angah justru tersenyum puas dan menepuk pundak Alvin beberapa kali. "Pilihan Mak Angah tidak akan mengecewakan, kamu tenang saja. Cukup persiapkan diri kamu saja, Vino," ujar Nurahman kemudian. Alvin hanya bisa menjawab dengan anggukan patuh beberapa kali. Setelah Alvin berpikir lagi, tak ada salahnya dia mencoba bertemu. Bukan karena penasaran pada wanita itu, tapi Alvin sudah mulai gerah dengan teror perjodohan yang merongrong kehidupannya beberapa bulan terakhir ini. Ditambah lagi sikap Delisha yang akhir-akhir ini aneh dan sedikit menjauh darinya. Alvin sedang malas menanggapi jika Delisha tengah merajuk untuk kesalahan yang Alvin sendiri tak tahu letaknya di mana. Karena kalau ditanggapi, ujung-ujungnya pasti bertengkar dan Delisha akan mengatakan bahwa Alvin tidak peka padanya, begitu pikir Alvin. *** Meidina yang baru sampai rumah tercengang menatap deretan pesan singkat yang dikirim oleh abak, yang mengatakan bahwa besok, laki-laki yang akan dijodohkan dengannya akan datang untuk menemuinya. Jantungnya berdebar tiba-tiba. Meidina tidak tahu harus berbuat apa. Memikirkan saja sudah membuat jantungnya berdetak tidak normal seperti ini. Apalagi bertemu langsung dengan laki-laki itu. Meidina lupa harus bersikap bagaimana untuk membuang perasaan aneh ini. Dia bahkan sudah lupa kapan terakhir merasakan debaran seperti ini. Mungkin saat Fero melamarnya dulu, empat tahun yang lalu. Kini Meidina hanya berdoa, semoga besok dia bisa menghadapi kegugupan yang sebenarnya tak perlu terjadi, jika dia tidak mengharapkan apa-apa dari perjodohan itu. Saat masuk kamar, Meidina melihat Mitha sibuk menata pakaian bos-nya ke dalam koper. "Untuk apa kamu siapin koper itu, Mit?" tanya Meidina seraya menanggalkan satu persatu helaian kain yang melekat di atas kepalanya. Rambut hitam dan panjangnya kini mampu bernapas setelah seharian ini terbungkus rapi oleh pashmina. "Kita besok harus ikut penerbangan pertama ke Bali, Ni. Nggak lupa kan, uni ada pertemuan penting dengan para desainer muda di sana?" jelas Mitha menyelesaikan acara packing-nya. "Astagfirullah, saya kenapa bisa lupa ya Mitha? Lalu bagaimana ini, besok pemuda yang hendak dijodohkan dengan saya rencananya akan datang berkunjung kemari ..." Meidina mulai gelisah. Mitha menghela napas lalu menggelengkan kepalanya. Mitha menjelaskan bahwa acara ke Bali ini tidak mungkin dibatalkan begitu saja. Karena acara ini sudah di atur sedemikian rupa sejak dua bulan yang lalu. Memang Meidina sanggup mengganti segala kerugian panitia penyelenggara, tapi nama baiknya akan sedikit tercoreng setelah itu dan Meidina akan mempertaruhkan nama baik yang senantiasa ia jaga selama ini. Dengan berat hati, Meidina menyampaikan masalah ini kepada Tun Razak. Jelas saja Tun Razak murka terhadap Meidina. Orang tua itu malu dan bingung harus menjelaskan apa pada pihak keluarga laki-laki. Tetapi setelah Meidina menjelaskan secara sabar, Tun Razak menerima alasan Meidina membatalkan acaranya besok. Meidina bisa bernapas lega. Meski dalam hatinya tetap terlintas rasa tak enak. Meidina khawatir pemuda itu akan mengecap Meidina sebagai perempuan yang tidak punya pendirian. --- ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD