Beberapa minggu kemudian...
"Hahaa.., hahaa.., kok bisa, sih?!" Setelah kembali bekerja. Sachi malah menjadi bahan guyonan teman-teman kerjanya tak terkecuali Savana yang sejak tadi bertanya, "Kok bisa?" Disepanjang Sachi bercerita.
"Ketawa terus.Yah, ketawa saja," sarkas Sachi dengan mata mendelik sebal.
"Pokoknya ini sekali-kalinya aku ke rumah tahanan itu. Aku gak akan pernah menginjakkan kakiku di sana. Catet gak akan pernah!" Dia menujuk udara begitu marah. Kebetulan di depannya ada Astri, tim paling muda di kantornya.
"Aku catetnya sekarang, Kak?" tanya Astri polos.
Savana semakin tertawa.
"Tahun depan saja, As," saran Savana.
"Oke tahun depan!" putusnya. Ketika Sachi ingin membalas candaan teman-temannya, teleponnya berbunyi.
"Ada panggilan. Kalian semua jangan berisik,ya!" titah Sachi.
"Sachi. Kamu ditugaskan ke rumah tahanan A lagi," pinta atasannya. Sachi menelan ludahnya kasar. Kenapa baru saja dibicarakan tiba-tiba saja terjadi. Dia sampai melirik ke pintu. Apa tadi suaranya terdengar oleh atasannya.
"Kenapa?" selidik Savana seraya menyeritkan alis.
"Aku diminta ketempat itu lagi," jawab Sachi berat.
Tak ada pilihan lain selain setuju. Dia sudah disumpah untuk tidak memilih pekerjaan yang datang.
"Eh, Kak Sachi mau kemana?!"
"Dia diminta ke penjara lagi, As," ucap Savana sembari mengulum senyum.
"Loh, bukannya Kak Sachi gak mau,ya?!" Astri memandangi wajah Sachi dan Savana secara bergantian.
"Pakai diperjelas lagi," gerutu Sachi pelan.
"Berarti aku catetnya kalau Kak Sachi gak mau lagi ke penjara pas Kakak sudah balik dari sana. Oke!" Sachi tetap pergi. Tak mau meladeni ucapan Astri. Yah, hitung-hitung menjaga kesehatan hatinya.
***
"Anda diminta kesini karena tahanan bernama Akira terus meminta anda datang!" beber seorang sipir. Di sini, setiap para pesakitan bisa mendapat fasilitas pendampingan dari seorang psikolog terlebih kalau mereka merasa depresi luar biasa. Dan Akira sengaja berteriak sepanjang hari dan meminta Sachi yang datang memberikannya konseling. Bukan tanpa sebab, dia masih penasaran kepada Sachi setelah kejadian pemukulannya itu.
Akira tersenyum lewat matanya. Dia sudah berhasil mengundang Sachi kembali ke rumah tahanan itu. Rasa kesalnya sebentar lagi akan terbayarkan.
"Baik, kalau begitu saya tinggalkan kalian," ucap sipir yang mengantarkan.
Sachi meletakkan tas jinjingnya ke meja. "Cepat apa yang mau kamu katakan!" sahutnya tanpa basa-basi.
"Wow, gak sangka ternyata dokter adalah wanita yang tidak sabaran," ejek Akira seraya menyinggulkan senyum don juan. Wajahnya yang tampan namun sangat menyebalkan itu adalah dua hal yang tidak bisa di pisahkan darinya.
"Hahh.., saya gak punya waktu untuk basa-basi," sarkas Sachi. Kalau bukan karena tugas, tak akan pernah Sachi mau bertemu pria tersebut lagi. Iris matanya terus memindai tampilan Akira. Untuk kategori narapidana, Akira memang cukup tampan dengan iris mata warna amber, ditambah dengan pahatan wajahnya yang tegas, membuat Akira terlihat begitu maskulin. Tapi pastinya Sachi tak akan pernah mau mengakuinya.
"Anda fikir saya punya banyak waktu meladenin keangkuhan anda. Anda tahu, demi bertemu anda. Saya sampai rela di cap gila " Dia berdesis sambil mengetukkan meja dengan ujung kukunya. Hal itu membuat Sachi merasa ditantang.
"Kalau begitu cepat katakan kenapa harus meminta saya kemari lagi?!"
"Karena anda harus bertanggung jawab. Anda tahu, perkataan terakhir anda sudah menghancurkan mental pria itu." Akira menunjuk ke belakang, seolah menunjukkan Sachi bagaimana hancurnya Hideo karena Sachi mengacaukan niatannya. Bukan cuma ditambah masa hukuman karena berbuat onar. Hideo juga dimasukkan ke penjara isolasi. Hatinya yang tandus semakin kering, tertutup tanpa satu pun cahaya.
Dia memang tidak terbukti gangguan mental. Tapi bukan berarti kesedihan dalam dirinya cukup diabaikan saja. Memangnya ada, alat yang betul-betul menguji seberapa dalam rasa sedih seseorang kecuali Tuhan yang menciptakan serta mampu membolak-balikkan hati manusia.
Tetapi Sachi saat itu masih seorang wanita yang angkuh. Dia tidak bergeming, bahkan hatinya tak sedikitpun tergerak dengan tatapan marah Akira. Dia tidak mengerti dengan jalan pikiran Akira tepatnya tak mau peduli. Bukannya wajar.., seorang wanita meminta perpisahan saat tidak ada kejelasan?
Siapa yang akan tahan menunggu seorang tahanan dengan tuntutan hukum puluhan tahun lamanya. Dan jika Hideo suami yang baik. Semestinya dia merelakan saja.
Sembari memainkan kuku-kukunya Sachi berdiri.
"Jadi cuma karena itu anda memanggil saya, anda tahu. Anda sudah membuang waktu saya!" Dia pergi dengan hentakkan sepatu heels disetiap langkahnya.
"Aku bersumpah suatu hari nanti kau akan kembali ke sini, untuk meminta maaf," lirih Akira sambil mengepal tangan erat.
***
Sachi meletakkan tas jinjing di meja kerjanya, dia juga menumpuhkan lutut tangan di sana, sembari memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Kenapa akhir-akhir ini masalah pasiennya semakin pelik. Sampai-sampai diaa merasa lelah batin dan hampir saja menyerah. Namun Sachi sadar, hidup tak akan pernah menjadi lebih mudah. Bukan karena dia seorang psikolog klinis yang membuat Sachi lebih tegar dari yang lainnya. Tapi karena pengalaman hidup yang selama ini dia rasakan. Memaksanya untuk berdiri tegak walau badai seakan berusaha menyapunya. Bersama luka dan kecewa. Sachi merasa hidup bisa dilalui asal jadi lebih tegar.
Seseorang membuatnya tersentak dari lamunan karena mengetuk pintu ruangan. Kesadarannya langsung kembali. Sachi menatap sekitar, tidak ada Savana dan Astri rekan kerjanya. Suaranya menjadi ragu.
"Ma..s-suk!" Dia bahkan menjawabnya begitu lemah.
"Maaf Dok, kami ingin konsultasi. Kami tahu, ini sudah bukan jam praktek. Tapi, kami sangat butuh bantuan Dokter," ujar seorang lelaki ragu-ragu. Di sampingnya ada sosok wanita yang juga terlihat bimbang. Dilihat dari guratan wajahnya ada kecemasaan. Gak mungkin Sachi tega meminta mereka untuk pergi dari ruangannya.
"Silahkan!" Tangannya menunjukkan dua bangku di depan untuk diduduki mereka. Sachi berusaha profesional meski rasa pusing terus menekan otaknya. Senyum profesi coba Sachi singgulkan.
"Katakan apa masalah kalian?!" Dia memulai pembicaraan. Baik Luke dan Delia belum mau menjawab. Mereka malah saling pandang.
"Hei, cepat katakan apa masalah kalian?!" tekan Sachi sekali lagi.
"Pertama-tama perkenalkan saya Luke dan ini istri saya Delia, kami kesini karena kami punya rencana untuk bercerai." Luke terlihat lebih tenang berbeda dengan Delia yang sejak tadi merunduk, dia bahkan memainkan tali tasnya karena gugup.
'Hm, konflik keluarga. Yah.., seharusnya aku memang diberikan masalah seperti ini. Ini adalah keahlianku. Berapa banyak pasangan yang gak jadi bercerai karenaku,' Sesaat Sachi merasa bangga atas pencapaiannya. Dan kali ini dia juga berjanji pasangan di depannya akan menambah daftar keberhasilannya mengangani masalah. Tolak ukur Sachi dalam keberhasilan baru sebatas bisa atau tidaknya dia mengembalikan rumah tangga yang tercerai sehingga kembali menyatu meski hanya ada serpihan rasa yang tersisa.
"Apa kalian sudah membicarakan ini baik-baik lalu apa kalian sudah di karunia anak?"
"Ahk, gini Dok." Delia berusaha menyela perkataan. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan namun sulit untuk diungkapkan kali ini. Ekor matanya menatap Luke, suaminya. Kini memperhatikannya seraya tersenyum tipis dari matanya seakan berkata agar Delia bisa lebih menjaga sikap.
"Yah, kami telah di karunia anak laki-laki berusia tujuh tahun," sahut Luke.
"Tujuh tahun," beo Sachi.
"Apa dia anak yang ceria?!" lanjutnya lengkap dengan wajah keheranan.
"Yah, Zero kami cukup ceria hanya saja..."
"Sayang," Luke mengambil tangan Delia. Kelopak matanya terpejam, meminta Delia untuk tidak terlihat begitu emosional.
"Ya, anak kami sangat ceria. Dia sering mengatakan kalau dia sangat beruntung memiliki orangtua seperti kami. Begitupun sebaliknya," ujar Luke kembali. Jawabannya membuat Sachi tersenyum tulus.
"Lalu apa kalian mau menghilangkan kebahagiannya. Apa kalian ingin mengabaikan masa depannya?!" Sachi yang paling tahu bagaimana sakitnya berada dalam lingkungan broken home, Yah.., dia tumbuh dari kedua orangtua yang memutuskan berpisah. Bahkan disaat kata perpisahan belum mampu di cerna otaknya. Baginya setiap perceraian, meski dirancang sebaik apapun itu, pasti menimbulkan luka batin untuk si anak. Selalu anak yang akan selalu menjadi korban ke-egoisan orangtua.
Haruskah pengalaman tidak enaknya itu juga di lalui Zero?
"Sebetulnya kami masih saling mencintai, hanya saja.., Hah." Luke menghembuskan nafas putus asa. Jika Sachi lihat dari wajah mereka sepertinya mereka adalah pasangan berbeda negara. Dan rasanya memutuskan bercerai jauh lebih sulit dibandingkan meminta mereka untuk rujuk kembali.
Apalagi dia dengar sendiri kalau mereka masih saling mencintai. Terkadang pertengkaran kecil sering terjadi tetapi bukan menjadi alasan sebuah pasangan memilih berpisah.
"Nyonya Delia, saya rasa masalah anda jelas. Kalian hanya perlu saling terbuka satu sama lain. Saya juga melihat kalau tuan Luke sangat berusaha memahami anda," tutur Sachi. Luke dan Delia adalah representasi atau gambaran dari dua orang memilih berpisah hanya karena 'jenuh', sungguh hal itu tak mampu diterima nalarnya.
"Betul Dokter, kami memang bertengkar kecil semalam. Lalu paginya istri saya mengajak ke sini untuk membicarakan rumah tangga kami yang dinilainya sudah tidak sehat lagi. Heheee." Luke berusaha terus menjelaskan. Dia bahkan terkekeh di akhir kalimatnya. Sebenarnya Sachi merasa risih dengan cara Luke memandang permasalahan mereka. Dia memahami seorang wanita-mahluk lemah lembut tak akan mungkin memilih mengakhiri segalanya hanya karena pertengkaran satu malam. Semuanya pasti hasil dari pertimbangan yang matang.
"Nyonya?!" tegur Sachi mencoba menelisik tatapan Delia dan mengabaikan argumen Luke.
"Bi-Bisakah sa.., saya meminta resep anti depresan?" tanya Delia takut. Sachi hanya bisa menyeritkan alis.
"Maaf, tapi untuk apa. Percayalah... Menjaga pola fikir, pola makan serta selalu berdoa adalah kunci yang terbaik. Nyonya harus yakin, kalau anda bisa melewati semua ini. Tanpa resep obat juga tanpa perpisahan. Bayangkan bagaimana nasib anak kalian apabila kalian kekeh untuk melanjutkan perceraian. Anda mungkin di minta untuk menurunkan ego, mencoba berdamai dengan diri maupun pasangan. Saya paham itu tidaklah mudah. Tapi saya yakin semua hal bisa di lalui dengan baik. Jadi, please fikirkan kembali,ya." Akhir kata konsultasi di putuskan untuk Luke dan Delia mencoba kembali.
Setelah mengobrol sebentar Delia dan Luke ijin pulang. Bahkan Sachi sendirilah yang mengantarkan mereka sampai pelataran klinik.
"Anda mau pulang bersama dengan kami?" tawar Luke yang sudah membukakan pintu mobil untuk Delia. Delia pun terus memandangi Sachi dengan tatapan sulit diartikan.
Seraya memasukkan tangannya ke kantung jaket, Sachi mengangguk setuju. Malam ini rasanya terlalu dingin untuk dia menunggu taksi. Lagipula dia tak yakin masih ada taksi yang lewat selarut ini.
Sachi duduk di kursi kedua tepat di belakang Luke. Sepanjang jalan Luke selalu bersenda gurau dengan Sachi meski Delia tidak berusaha ikut masuk dalam pembicaraan.
"Em, tadi siapa anak kalian namanya, Zero. Ahk, apa suatu saat nanti aku bisa bertemu dengannya?"
Saat Sachi membahas Zero, Luke tak lagi terlihat ramah. Namun Delia bergantian menanggapinya.
"Boleh, anda harus melihat anak saya. Harus," ujarnya seperti sebuah perintah.
"Kami tak akan mengantarkan anda sampai rumah, karena kebetulan anak kami sendiri di rumah."
Luke memutus obrolan antara Sachi dan Delia begitu saja.
"Oh, gakpapa tuan Luke. Saya mengerti, kalau begitu saya berhenti di pinggir jalan sana." Sachi menunjukkan terminal angkot di ujung jalan.
"Dokter, rumah saya di gang sana sebelah kiri rumah lantai tiga dengan pagar warna hitam," jelas Delia menggebu. Sachi hanya bisa mengangguk.
"Oh, Oke!" Delia sepertinya betul-betul membutuhkan teman bercerita, begitulah fikiran Sachi sesaat membuka pintu mobil. Baik Sachi dan Delia masih melempar pandangan.
"Dadah, hati-hati di jalan," ucap Luke mengakhiri pertemuan. Sachi ikut melambaikan tangan.
'Ahk, akhir yang cukup baik. Satu lagi pasangan yang tidak jadi cerai karena aku. Syukurlah.'
Sedang Luke hanya perlu membelokkan mobilnya. Setelah dia yakin Sachi sudah jauh. Luke segera menjambak rambut Delia.
"Aahhkk, sakit! Luke aku minta maaf."
"Kamu harus di beri pelajaran. Bisa-bisanya mencari bantuan untuk kabur dariku. Kau tau Delia, selamanya kau tak akan pernah bisa pergi dariku."