Part 1. Keinginan mengakhiri hidup
"Sachi. Kamu diminta datang ke penjara pusat untuk menenangkan seorang tahanan yang diduga mencoba melakukan tindakan bunuh diri,” ucap Savana--rekan kerja Sachi. Merupakan sesama tenaga konsultan klinis.
“Hufft.., bikin ulah saja,” lirih Sachi tak suka. Wanita itu paling malas mengurus para napi yang dinilainya tidak pantas untuk dia bantu. Meski Sachi sendiri adalah psikolog klinis senior. Dia bekerja pada lembaga yang didanai pemerintah demi memberikan konsultasi gratis untuk masyarakat luas tak terkecuali para residivis.
Dengan berat hati, Sachi mengendari mobilnya ke rumah tahanan. Ketika sampai, dia langsung disuguhi pemandangan menyesakkan dadanya. Sachi memang tidak menyukai penjara. Dia punya kenangan buruk di sana. Bahkan karena rasa traumanya itu Sachi ingin semua cepat berakhir.
“Turun lo!” suruh Akira ke Hideo santai. Hideo adalah narapidana yang di kabarkan mau mengakhiri hidupnya dari atap gedung. Sachi yang baru datang langsung berdiri di samping Akira. Matanya sempat melirik tajam ke laki-laki itu.
“Ada apa?” cicitnya tak lagi menatap Akira. Karena mata Sachi kini fokus kepada Hideo yang berdiri di pinggir gedung berlantaikan tiga itu. Keduanya sama-sama mendongak memandangi objek yang sama.
“Pria itu mau bunuh diri setelah tahu istrinya menggugat cerai dirinya.” Info Akira. Sachi mengangguk, seakan tahu perasaan hancur yang menjadi alasan Hideo berfikiran pendek.
“Terus?” beonya seraya menyeritkan alis. Akira menangkap kebingungan di wajah Sachi jadi tersenyum miring.
“Terus dia mau mati. Apa lagi?” Sungut Akira.
“Lho, bukankah dia masih bisa tetap hidup meski tanpa istrinya?” gumam Sachi. Terlalu sering dia menangani kasus perceraian dan setahunya gak ada yang seterpukul pria itu. Tapi Akira yang telah lebih dulu merasakan pahitnya ditinggal seorang istri justru jauh lebih memahami apa yang ada di lubuk hati Hideo.
“Karena gak semudah itu merelakan seseorang yang telah lama bersamamu,” ujarnya.
“Megumi.., Megumi!” Hideo nampak semakin histeris. Tak hentinya dia menyebutkan nama mantan istrinya sambil memukuli dadanya. Pria itu terlihat begitu kacau.
“Shiitt!" umpatan keluar dari bibir Akira. Pria itu tahu mungkin sebentar lagi Hideo akan terjun betulan.
“Tunggu!” Tangan Sachi memegangi lengan Akira.
“Kamu mau apa, mendekatinya cuma bisa membuatnya semakin nekat. Jadi lebih baik kamu tetap di sini!” titah Sachi. Akira menatap nyalang kearah Sachi.
“Lepas!” hentaknya kasar.
“Gak, kamu gak tahu apa-apa. Saya di sini sebagai konseler psikis yang akan menyelesaikannya,” sahut Sachi merasa mampu.
“Kamu tahu apa?” Hina Akira tak lupa melemparkan pandangan meremehkan.
“Bahkan kamu saja gak bisa meraba rasa sakit hati pria itu. Sekarang tiba-tiba bilang mau membereskannya. Bagaimana kalau dia nekat jatuh?” Akira kembali marah. Namun Sachi yang belum pernah dibentak di depan banyak orang terlebih lagi dengan narapidana--masyarakat kelas dua merasa sangat terhina. Dia melempar tangan Akira yang dari tadi dipegang tanpa sengaja.
"Iih." Tiba-tiba dia merasa jijik memegangi Akira. Sachi melap tangannya dibaju dengan wajah judesnya.
“Setidaknya aku jauh lebih pintar darimu,” ejek Sachi. Apa sih yang laki-laki itu mau lakukan. Gak mungkin, kan ingin terjun betulan. Palingan ini hanya gertakkan supaya rumah tahanan menjadi gaduh.
“Aku yakin bisa menyelesaikanya dengan baik. Ayok kita buktikan.” Lanjutnya kembali.
Alih-alih menjauhi masalah Sachi justru mau ikut dengan Akira ke atap gedung.
‘Tau apa dia tentang dunia. Bahkan kebebasannya saja sudah dia gadaikan demi uang.' Suara hati Sachi bermonolog penuh kebencian.
***
"Hideo." Akira perlahan mendekat.
"Jangan gerak!" Larang Hideo kalut. Sachi mengulum senyumnya.
"Ya, gitu aja gak tau. Kamu gak bisa langsung panggil orang yang lagi kalut. Harus ada pendekatan terlebih dulu," sela Sachi dengan tangan dia gulungkan di d**a.
"Ck." Bagi Akira hal itu terlalu makan waktu. Tak mengindahkan larangan Hideo. Akira semakin merapat ke sisi sebelah kiri berharap bisa memeluk tubuh Hideo apabila nekat terjun.
"Jangan mendekat!" tekan Hideo lagi hampir ingin menangis. Ia menaiki kedua tangannya bebas ke udara.
"Akira, maafkan aku. Tapi aku gak mau di bantu kamu," ujarnya merasa sedih. Tak pernah sedikitpun Hideo membenci Akira. Hati kecilnya bahkan merasa begitu berterima kasih karena Akira susah payah naik ke atap sekedar menyelamatkan nyawanya. Terlalu lama di tahanan membuat sesama napilah yang akan saling peduli satu sama lain. Rasa ke keluargaan yang terbentuk bukan karena penyatuan diatas kertas. Tetapi ikatan yang tercipta sebab merasa satu rasa, satu penderitaan serta satu penanggungan.
"Tapi untuk apa aku hidup?" Dia semakin emosional, pundaknya bergetar karena menangis. Sesekali angin yang berhembus kencang membuat pijakkannya tak seimbang.
"Ahk..." Akira menutup mata rapat merasa sangat takut. Sedetik kemudian fokusnya kembali kepada keseimbangan Hideo.
"Ck... Ck.., bunuh diri karena ditinggal istri. Payah!!" Kutip Sachi. Akira melotot tak terima.
"Jangan bilang seperti itu!" Dia menunjuk Sachi dengan tatapan murka.
"Lho, aku benar.., apalagi namanya orang yang gak bisa move on dan malah memilih mengakhiri hidup yang Tuhan berikan dengan cuma-cuma kalau bukan pengecut." Tatapan nyalang dia hunuskan ke Hideo. Entah mengapa Hideo merasa kerdil sehingga dia memilih bungkam.
"Kamu bisa bicara seperti itu karena kamu gak pernah tahu rasanya berada di posisi tersebut!"
Sachi menyinggulkan senyum miring. "Apa aku harus merasakan semua perasaan di dunia ini. Hm, itulah gunanya banyak membaca.., tanpa perlu mengalami langsung, aku telah banyak menangani kasus perceraian. Dan tidak ada yang selabil dia." Sachi menunjuk Hideo tanpa ampun. Kelakuannya membuat Akira menggeleng tak percaya. "Arghh!" Akira berteriak marah. Mungkin kalau Sachi itu laki-laki, Akira akan mengajaknya baku hantam, sayang dia wanita. Terlebih, em.., cantik.
Sachi mengibaskan tangannya seakan kegerahan. Semula Hideo yang menjadi pusat perhatian sekarang berganti Hideo yang menontoni perselisihan pendapat antara Akira dan Sachi.
"Lihat, lihat, kan dia bahkan masih bisa tertawa melihat kita bertengkar." Hideo membungkam mulutnya saat ketahuan mentertawai tingkah Sachi dan Akira. Akira menengok sekilas, dia maju ke arah Hideo.
"Sebenernya betulan gak sih bunuh dirinya?" tanyanya ikut geram.
Hideo teringat kembali masalahnya. "Jadi, Jadi..," Dia merasa tertantang. Bahkan air mata yang semula sudah kering keluar kembali.
"Megumi, Megumi sayangku." Aungnya hilang arah.
"Hufftt!" Sachi mendekati Akira.
"Kenapa diingetin?!" protesnya sambil mencubit lengan Akira.
"Aww.., lho tadi, kan kamu yang nanya." Akira mencoba memutar balikkan fakta.
Kini bukan cuma suara ribut yang keluar dari bibir Hideo, tapi juga adu argumen Sachi dan Akira yang mungkin membuat para burung yang lewat jengah melihatnya.
Hideo melotot. 'Lho, kok malah mereka yang bertengkarnya lebih seru, Ini gak bisa. Gimana mungkin para sipir memanggilkan Megumi ke sini kalau aku kalah pamor dari mereka.' Tanpa pikir panjang pria itu berusaha menjatuhkan dirinya, bertepatan dengan ekor mata Akira yang menangkap hal ganjil itu.
Huupph...!
"Eggh!!" Ia memegangi kerah baju Hideo kuat.
"Hah!!" Sachi hanya bisa melotot memandangi kenekatan Hideo.
"Ini yang kamu bilang tak akan mungkin terjadi?" sarkas Akira seraya mengetatkan rahangnya menahan bobot Hideo dengan satu tangan. Bahkan urat-urat tangannya keluar di sepanjang lengan kekar itu.
"Aahh.., aahh." Rasanya Hideo kehabisan nafas karena secara gak langsung Akira mencekik lehernya untuk berpegangan. Dia jadi tahu bagaimana rasanya menjemput maut. Dan dia tidak siap harus meninggalkan dunia cuma demi Megumi, wanita yang memang sudah tidak mencintainya lagi. Memiliki wanita yang dia cintai adalah anugerah, tetapi membiarkan wanita yang dia sayangi tersiksa hanya demi bersamanya juga sangat menyakitkan, bukan?
Tangan Hideo mencoba menggapai ke atas. Disambut oleh Sachi yang ikut memegangi lengan Hideo.
"Kita bawa dia naik lagi!" Tekan Sachi dengan buliran keringat membanjiri pelipisnya. Dia merasa sangat takut terjadi sesuatu dengan Hideo.
"Ini juga sedang diusahakan," balas Akira. Tangannya hampir mati rasa karena Hideo bukanlah lelaki yang kurus kering. Dia bahkan memiliki perawakan yang besar. Semakin Akira mencengkram kerahnya, Hideo merasa semakin tercekik. Darah yang mengalir sampai ke otak menjadi tersumbat. Wajahnya berubah menjadi merah padam. Dengan sisa kekuatannya Hideo menepis tangan Akira. Dia lupa tindakannya bisa menjadikan dirinya menjemput ajal dengan cara yang berbeda. Ketika genggaman tangan Akira lepas, tersisa hanya pegangan Sachi. Sachi langsung shock tak siap harus membopong tubuh Hideo seorang diri, malahan tubuhnya ikut terbawa dan mau jatuh.
Akira yang di sampingnya memegangi pinggul Sachi. Gak ada pilihan dan dia gak diberikan waktu untuk berfikir cepat bagian mana yang harus Akira sentuh.
"Ahkk! Jangan sentuh!" Sachi berteriak. Dia paling anti dipegang sembarangan. Karena kegaduhan ketiganya, malah membuat mereka bertiga jatuh secara bersamaan dari atas gedung lantai tiga.
"Tidak!" pekik ketiganya kompak bagai peserta paduan suara.
Bisa diperkirakan korbannya bukan hanya Hideo. Tapi di tambah Sachi dan Akira.
***
"Aauw.., auuw.., punggungku!" Sachi mencoba bangun setelah jatuh dari lantai tiga. Dia merasa kepalanya berdenyut pusing. Tapi yang paling menyedihkan adalah punggungnya yang mungkin memar. Yang pasti ketika dia berusaha mengangkat punggungnya rasanya tulangnya retak sampai sulit di gerakkan. Padahal dia, Akira dan Hideo jatuh tepat di matras pelindung yang di pasang di bawah lokasi mereka jatuh.
Dia mengeratkan gigi, suara desisan terus keluar dari sudut bibirnya.
'Kenapa aku gak bisa bangun, kenapa rasanya tubuhku sangat sulit di gerakkan?'
Berbagai pertanyaan terlintas di benaknya. Segala kemungkinan membuat dia begitu takut. Bagaimana kalau dia lumpuh karena jatuh dari atas. Tidak.., tidak.., dia tidak siap menjadi penyandang disabilitas. Masih banyak mimpi yang ingin dia gapai.
Ekor matanya menatap Hideo yang di bangunkan petugas medis dengan mudahnya. Lelaki itu bahkan berjalan sendiri tanpa diiringi tandu.
"Aahk!" geramnya merasa semua ini gak adil. Kenapa dia yang mau mati terus Sachi yang kena getahnya? Sachi bahkan memukul lantai sangat geram
Perasaan marah membuat Sachi berusaha bangkit.
"Aduh!" Suara Akira mengadu. Sejak tadi kepalanya menindih punggung Sachi. Pantas saja gadis itu gak bisa bangun dengan leluasa.
"Hah! Minggir, Minggir, Iih!" Seolah lupa dengan rasa sakitnya. Sachi terus memukul Akira setelah berhasil bangun
"Tolong.. tolong!" Akira hanya bisa menutup wajahnya dari pukulan Sachi yang tidak kenal ampun.