Mata Lena membola ketika mendengar permintaan maaf yang lolos begitu saja dari bibir Mamanya. Ia tidak ingin jika Mamanya itu meminta maaf, karena baginya itu adalah sebuah pantangan. Apapun kesalahan Mama, maka akan selalu benar tanpa pernah salah. Itu sebabnya, membuat Hilda menjadi besar kepala dan selalu merasa bahwa dirinya itu benar tanpa pernah salah walaupun sedikitpun.
Sebenarnya, bukan tanpa sebab Lena bersikap seperti itu, tetapi memang sikapnya ini adalah buah dari Hilda yang selalu mengajarkan bahwa wanita itu tidak pernah salah dan akan selalu benar. Apalagi, jika di hadapan seorang suami, kakak, atau mertua maka dengan bodohnya Lena menelan semua itu bulat-bulat tanpa menelaah lebih jauh.
Sayang, hal itu tidak berlaku untuk Nita yang jelas-jelas seorang wanita dan menantu dirumah mereka. Anggapan bahwa wanita selalu benar hanyalah untuk Hilda dan Lena, bukan untuk wanita lain terutama Nita. Dimas pun sangat memahami akan hal itu, sebab memang ajaran mamanya.
"Kenapa Mama minta maaf pada mereka? Mama tidak memiliki salah apapun, jangan pernah minta maaf pada manusia seperti mereka, Ma," cecar Lena tidak terima.
"Lena, diamlah. Mama memang yang bersalah, Mama tidak melihat semua perjuangan Mas Dimas–"
"Cukup, Ma. Lena tidak ingin mendengarkan hal itu lagi. Bagi Lena, mama tidak pernah dan tak akan pernah salah. Sekalipun Mama salah, maka sebagai anak kita harus memaklumi dan seharusnya malu jika orang tua meminta maaf."
"Ajaran dari mana itu?" tanya Nita lantang.
"Diam!" tunjuk Lena murka. "Kau hanya orang lain dirumah ini. Diam dan jangan pernah ikut campur apapun mengenai mama dan Mas Dimas. Ingat, kau adalah orang lain."
"Aku mungkin orang lain untuk kalian. Tapi, aku adalah istri dari Mas Dimas. Terserah kalian ingin menganggapku apa, aku tidak peduli. Bagiku, dianggap dan diharapkan oleh suami sendiri itu jauh lebih baik dari hal apapun."
"Halah, Mas Dimas itu menganggap dan mengharapkan kamu cuman untuk hartamu doang. Aku yakin, kalau kamu miskin juga gak akan mau Mas Dimas denganmu," ejek Lena.
Dimas murka mendengar penuturan adik perempuannya itu. Bisa-bisanya Lena bicara hal yang tidak benar dihadapan Nita. Dimas merasa malu dan takut jika nantinya Nita akan terhasut dan percaya dengan apa yang dikatakan oleh Lena.
"Diam, Lena!" sentak Dimas. "Tutup mulut busukmu, itu. Aku tidak pernah mengharapkan apa yang dimiliki oleh Nita."
"Lancang sekali ya kamu, bicara seakan-akan kamu tahu segalanya. Anak kecil yang selalu ikut campur urusan orang dewasa. Jangan selalu ikut campur urusan orang lain, sebab tidak semua masalah bisa kau campur tangan!"
"Apa yang salah? Memang betul, bukan? Mas Dimas menikah dengannya karena wanita ini menurut Mas Dimas memiliki segalanya, benar bukan?"
"Mas Dimas sendiri yang mengatakan bahwa selama ini tidak memiliki apa-apa dan semuanya dari dia."
"Kamu memang bodoh, Lena. Kupikir, dengan kujelaskan semuanya, kamu akan paham dengan posisimu sekarang. Tapi, ternyata kamu cukup bodoh untuk menyikapi semuanya. Menyesal aku bicara panjang lebar di hadapan gadis bodoh sepertimu. Sia-sia menyekolahkan hingga kuliah, tapi ternyata kebodohanmu itu sudah mendarah daging," sindir Dimas.
"Mas, kok kamu jadi malah menghina aku seperti itu, sih," gerutu Lena.
"Sayang, dengarkan aku. Kamu jangan pernah percaya dengan kata-kata mereka berdua. Kamu tahu aku bukan? Lebih paham aku seperti apa dan bagaimana, bukan? Jadi, kurasa tanpa dijelaskan pun kau akan paham bahwa kata-kata gadis bodoh itu tidak ada gunanya," jelas Dimas panjang lebar berusaha menyakinkan istrinya agar tidak terkecoh.
"Aku percaya padamu, Mas. Kenapa aku harus tidak percaya pada sosok yang selama ini percaya padaku? Justru, aku ragu untuk percaya pada mereka, lagi."
"Lihat, Lena. Kepercayaan kami berdua itu kuat, jadi mau kalian menghancurkan kami seperti apapun tidak akan pernah bisa," ucap Dimas bangga karena memang saling percaya satu sama lainnya adalah modal utama dalam hubungan.
"Sudah … sudah … cukup! Pusing dan sakit kepala Mama ini setiap hari selalu saja ribut dan berdebat. Apa kalian tidak bisa damai walau dalam sehari? Hah?"
"Harusnya, Mama mengatakan hal itu pada diri sendiri," sindir Dimas tepat sasaran. "Bukankah selama ini, Mama yang selalu membuat masalah dan mencari masalah dengan Nita. Selalu ada saja ulah kalian untuk menjatuhkannya."
"Tidak seperti itu, Dimas–"
"Lalu seperti apa? Aku sudah seringkali mendengar dan melihat tapi memilih diam dan kali ini aku rasa kalian sudah sangat keterlaluan."
"Ma, jika merasa berat dan tidak suka Nita berada disini, katakanlah."
"Ya, Mama memang tidak suka jika Nita ada dirumah ini. Bahkan, kehadirannya pun tidak pernah Mama harapkan."
"Baik kalau begitu. Aku sudah mengetahui jawabannya, setelah ini aku akan membawa Nita pergi dari rumah ini."
Senyum Hilda mengembang, ia berpikir bahwa anak sulungnya itu akan memilih berpisah dan kembali pada genggaman tangannya. Namun rupanya, Hilda salah mengartikan akan hal itu, anak sulungnya itu justru akan ikut pergi bersama dengan Nita.
"Mas, kamu akan meminta aku pergi? Mengusirku," sendu Nita. Entah mengapa, hatinya langsung sakit dan seperti ditusuk oleh ribuan belati mendengar hal itu.
"Haha, lihat Nita, siapa yang menang sekarang," ejek Lena mengangkat dagunya.
"Ya, aku akan memintamu untuk pergi, Nita. Tapi, bukan berarti mengusir. Aku tidak akan pernah mengusir dirimu dari hidupku dan duniaku. Kita akan pergi bersama-sama keluar dari rumah ini."
"Dimas," pekik Hilda membelalak. "Maksudnya apa? Kenapa kamu keluar dari rumah ini?"
"Aku rasa, semuanya sudah cukup sangat jelas, Ma. Aku akan pergi bersama dengan Nita keluar dari rumah ini. Sebab, tidak ada tempat untuk kami disini. Rumah ini, milik Mama dan akan selalu menjadi milik Mama. Aku tidak ada sedikitpun hak, jangankan untuk memiliki, hak untuk tinggal dirumah ini saja, tidak ada."
"Jadi, aku sudah mengambil keputusan untuk pergi dari rumah ini bersama dengan Nita. Aku ingin, memulai semuanya dari awal bersama dengan istriku. Aku tidak ingin, ada yang menyakiti lagi hatinya."
"Aku dan Nita akan segera pergi dan keluar dari rumah ini untuk selamanya."
"Tidak!" pekik Hilda lantang. "Tidak ada yang boleh keluar dari rumah ini. Jika pun ada yang harus keluar, maka hanya wanita itu yang keluar," imbuhnya penuh emosi.
"Terserah. Aku tidak peduli mama memberikan izin atau tidak. Aku akan tetap keluar dari rumah ini bersama Nita, karena aku tidak akan pernah meninggalkannya kecuali aku mati."
"Mas, jangan menjadi anak durhaka!"
"Kalian harus dengar ini ya, lelaki yang sudah menikah itu punya tanggung jawab besar terhadap istrinya. Jadi, aku akan tetap bertanggung jawab terhadap Nita, tidak peduli sekeras apa penolakan dari kalian. Aku akan tetap menjadi garda terdepan untuknya, sampai titik darah penghabisan!"
"Mas–"