Dua Ratu Satu Atap

1546 Words
"Dimas, apa kamu tega meninggalkan kami hanya berdua disini? Kamu itu anak lelaki satu-satunya, kok bisa-bisanya berpikir untuk pergi dari kami? Lalu, bagaimana kami setelah ini kalau kamu pergi?" "Kalau masih mau akan tetap bertahan disini, maka berubah menjadi yang lebih baik, Ma. Jangan terus menyakiti hati Nita. Aku sungguh tidak suka," paparnya. "Aku menikah dengannya bukan untuk selalu disakiti tapi kalian terus saja menyakiti. Nanti, bagaimana pertanggungjawaban aku ketika sudah tiada kalau hatinya terus disakiti oleh kalian?" "Tolong, jangan pergi, Nak. Mama mohon," lirih Hilda menangkupkan kedua tangannya seraya memohon. Dimas melengos, ia tidak ingin terus terbuai dengan bujuk rayu sang mama. Ini, bukan yang pertama kalinya mereka meminta Dimas bertahan di rumah. Tapi, tidak ada sedikitpun perubahan dari mereka untuk menjadi lebih baik. "Mas, kita bisa bicarakan semua ini nanti," bisik Nita pelan di telinga sang suami. "Nita, tolong katakan pada Dimas untuk tetap berada disini. Bersama dengan kami. Kamu jangan membawanya pergi, Mama mohon. Mama tidak punya siapa-siapa lagi selain Dimas dan Lena, jadi tetaplah disini kumpul bersama dengan kami." "Maaf, Ma. Bukan bermaksud tidak mau tinggal disini, tapi semua keputusan ada pada Mas Dimas. Aku akan tetap ikut kemanapun Mas Dimas pergi. Apa yang dilakukan sama suamiku pasti hal yang terbaik dari yang terbaik." Mata Hilda membelalak mendengar jawaban Nita, sungguh bukan jawaban seperti itu yang diinginkan olehnya. Hilda ingin, Nita itu merayu Dimas untuk tetap tinggal namun ternyata semua diluar pikirannya. "Ma, sudahlah. Buat apa juga memohon pada mereka untuk tetap berada disini? Tidak ada gunanya. Biarkan saja mereka pergi dari sini, toh rumah ini nantinya akan tenang dan damai." "Diam, Lena. Mama sedang tidak bicara denganmu. Jadi, tolong jangan bicara apa-apa, biarkan Mama bicara pada Dimas," tegas Hilda. "Daripada kamu tetap disini dan membuat keadaan semakin buruk, lebih baik masuk kamar sana!" usir Hilda. "Ma, kenapa malah aku yang jadinya di usir, sih," protesnya tidak terima. Hilda melotot pada Lena, memberikan isyarat melalui mata namun ternyata gadis itu tidak paham. Hilda semakin geram karena merasa Lena benar-benar bodoh dan tidak bisa diajak bekerja sama untuk hal yang satu ini. Jika keduanya tetap egois dan keras, maka tidak menutup kemungkinan Dimas akan benar-benar pergi dari rumah. Dan, itu tidak boleh sampai terjadi, apabila sama terjadi maka Hilda akan semakin tidak bisa mengendalikan Dimas. Lalu, Nita pasti menang karena berhasil mengendalikan lelakinya itu. Hilda berusaha untuk meredam amarah Dimas namun rasanya sangat sulit sekali, ditambah Lena terus saja bicara omong kosong membuat masalah semakin panas dan bertambah. Anak bungsunya itu sama sekali tidak paham dengan isyarat yang diberikan. "Karena kamu tidak bisa diam sejak tadi. Benar kata Dimas, kamu itu masih terlalu kecil untuk ikut campur masalah ini. Alangkah lebih baiknya, kamu diam tanpa kata dan segera masuk ke dalam kamar," tegas Hilda semakin keras pada Lena. Benar-benar berharap anak gadisnya itu berlalu pergi. "Kenapa masih disini? Sana masuk!" usir Hilda lantang. "Tidak usah meminta anak gadis Mama itu masuk ke dalam kamar. Biarkan kami saja yang masuk ke dalam kamar dan bersiap," tegas Dimas menggamit tangan Nita dan mengajaknya masuk ke dalam kamar. "Tidak. Dimas, tolong jangan seperti ini. Semua masih bisa dibicarakan dengan baik-baik," bujuk Hilda. "Untuk apa lagi, Ma? Sudah tidak ada yang bisa dibicarakan dengan baik-baik. Terlambat, Ma," tegas Dimas tanpa menoleh dan tetap melangkah maju masuk ke dalam kamar bersama Nita. Pintu segera ditutup rapat dan dikunci agar Hilda tidak memaksa masuk seperti sebelum-sebelumnya. Sebab, kedua wanita itu memang suka seenaknya sendiri, keluar masuk kamar Dimas dan Nita tanpa izin. Tidak peduli yang di dalam kamar itu sedang apa, sungguh bad attitude sekali. Makanya, awal-awal menikah Nita merasa terkejut dengan sambutan yang luar biasa itu. "Dimas, buka pintunya. Ayo kita bicara lebih dulu. Semua bisa dibicarakan baik-baik, Nak!" seru Hilda menggedor-gedor pintu kamar mereka. Namun, Dimas seakan tidak mendengar, berbeda dengan Nita yang masih merasa tidak tega melihat mertuanya sampai seperti itu. "Jangan lagi kasihan pada mereka, Sayang. Sebab, itu memang tujuan mereka. Kamu terlalu baik, saking baiknya jadi mudah ditipu dan diinjak-injak oleh mereka." "Kamu harus tunjukkan, bahwa kamu adalah wanita berkelas, Sayang. Sama seperti dulu, saat kamu menunjukkan padaku betapa berkelasnya dirimu sampai-sampai aku harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan cintamu." "Dan sekarang, kamu harus bersikap sama pada mereka. Tunjukkan pada mereka bahwa kamu tidak mudah diinjak-injak dan tidak semudah itu menyakiti hatimu." "Cukup sudah kamu mengalah selama ini. Sudah waktunya bertindak tegas, Sayang. Tegas bukan berarti kita jahat, tapi semua juga demi ketenangan hatimu, Nita. Aku ingin kamu bangkit dan tidak lagi mengalah, aku tidak mau melihat air mata kesakitan lagi." Nita tercengang mendengar semua kata-kata suaminya itu. Tidak menyangka saja, selama ini berarti suaminya cukup melihat dan mengamati apa yang sudah terjadi diantara mereka semua. Tetapi, masih tetap diam dan ingin melihat sejauh mana Nita diam tanpa kata, bahkan lebih memilih mengalah untuk meminimalisir keributan. Semakin mengalah, maka mertua dan iparnya itu akan semakin lupa diri. Mereka semakin enak untuk menginjak-injak harga diri Nita. Bukan sekali tapi sering kali terjadi, namun herannya wanita itu masih tetap diam dan tidak melaporkan apapun pada Dimas. Padahal, mudah saja bukan jika Nita melaporkan semuanya pada Dimas, maka kedua wanita beda generasi itu mudah sekali ditegur, namun sekali lagi Nita masih menghargai mereka dan tidak ingin ada keributan. "Nita," sentak Dimas mengguncang tubuh istrinya itu. Rupanya, Nita melamun memikirkan kata-kata Dimas yang cukup masuk akal untuk dilakukan. Jika diingat-ingat, apa yang dikatakan Dimas itu benar. Selama ini, Nita mengalah bahkan terkesan kalah dengan sikap mereka. Padahal, dulu saat masih berada di dunia kerja, ia adalah salah satu wanita yang paling tegas pada apapun. Tidak pernah mau mengalah jika tidak salah, mudah memaafkan tapi akan selalu ingat semua perbuatan buruk orang lain. Setelah menyandang status istri, menantu dan ipar, maka semua dunianya benar-benar seakan berubah dengan seiring berjalannya waktu. Sedih? Sudah pasti, Nita seperti kehilangan jati dirinya. Nita melakukan semua ini juga bukan tanpa sebab, ia hanya tidak ingin dianggap menantu durhaka jika menjawab setiap perdebatan yang terjadi antara dirinya dan mertua. Tetapi, rupanya diam Nita itu dianggap kalah oleh mertua hingga semakin menjadi-jadi saja. "Sayang, hei," panggil Dimas kembali melambaikan tangannya tepat di wajah Nita. "Kenapa? Ada apa? Apa yang sedang kamu pikirkan?" cecarnya. "Tidak ada, Mas," jawabnya menghela nafas. "Aku cuman berpikir, benar kata Mas. Aku sekarang sudah berubah, aku juga merasa seperti tidak memiliki jati diri lagi sekarang. Semuanya ya benar-benar berubah setelah menyandang status istri, menantu dan ipar. Rasanya, sulit bagiku untuk tetap bersikap tegas seperti dulu. Aku sungguh takut nantinya akan menyakiti hati mereka, Mas." "Benar bukan, apa yang aku katakan? Kamu memang wanita yang sangat luar biasa, masih saja memikirkan hati mereka. Padahal, mereka sendiri mati-matian menjatuhkan harga dirimu dan membenci kamu," keluh Dimas menghela nafas. "Mas, mereka tetap keluarga bagiku–" "Iya emang, aku juga tahu. Tapi mereka tidak anggap kamu, keluarga. Menyedihkan sekali, bukan?" "Tidak apa-apa, Mas. Aku lebih berharap dianggap menjadi orang paling penting dan utama bagimu, hidupmu, duniamu. Bagiku, itu sudah lebih dari cukup." "Terima kasih, Sayangku." Dimas merentangkan kedua tangannya, Nita tersenyum dan langsung memeluk erat tubuh Dimas yang terasa nyaman baginya. Mereka saling mengeratkan pelukan hingga menghabiskan waktu sore hari dengan meneguk manisnya cinta yang tidak pernah padam oleh waktu. Setelah keduanya berhasil meneguk dan menyelami manisnya cinta, menyempatkan diri untuk mengobrol kembali dari hati ke hati. Nita juga ingin memastikan ajakan suaminya untuk pindah rumah. "Mas, aku mau tanya." Nita berbicara dengan nada manja dan memainkan bulu-bulu halus d**a bidang suaminya. "Iya, Sayang. Mau tanya apa?" "Maaf kalau aku lancang, tapi aku mau menanyakan masalah pindah. Mas benar-benar ingin pindah dari sini secepat ini?" tanya Nita sangat hati-hati. Ia tidak ingin merusak momen manis itu. Dimas menghela nafas, "Cepat atau lambat, kita pasti akan keluar dari rumah ini, Sayang. Kita harus punya privasi, karena tidak semua masalah bisa diikut campur oleh mereka." "Iya, Mas. Aku ikut saja bagaimana baiknya. Aku akan selalu ikut kemanapun kamu pergi, selama itu untuk kebaikan bersama." "Aku tidak ingin kamu mendapatkan luka baru, Sayang. Lagi pula, ada dua ratu di dalam satu atap itu tidak baik. Pastinya, akan selalu bermasalah nantinya. Sekalipun, kalian baik-baik saja, hal tidak disukai itu pasti ada, dan berujung saling tidak akur nantinya." "Apalagi ini, sejak awal mereka memang tidak bisa menerima kamu. Bagaimana bisa hatimu tetap tenang, pikiranmu juga tetap damai kalau masih tinggal disini? Aku tidak mungkin tega meminta kamu untuk tetap disini, Sayang. Aku bertugas untuk membahagiakan, bukan menyengsarakan." "Tapi, aku tidak merasa sengsara berada disini kok, Mas. Aku hanya sedikit tidak cocok saja dengan sikap mereka yang–" "Sudah, Sayang. Jangan membahas hal itu lagi, aku sudah ambil keputusan. Cepat atau lambat, kita akan keluar dari rumah ini. Aku sudah mulai mencari info tentang rumah KPR," papar Dimas. Nita mendongak, matanya berbinar mendengar penuturan suaminya. "Sungguh, Mas? Kamu sudah mencari info rumah?" "Iya, Sayang. Kamu senang?" "Banget, Mas. Aku pikir kamu tidak akan pernah mau pergi dari sini dan memiliki rumah sendiri." "Mana mungkin begitu, Nita. Aku ingin memilki rumah tangga yang tidak selalu diikut campur oleh keluarga, apalagi ikut campur dalam hal yang tidak baik. Jadi, kita bersiap-siap saja ya, cepat atau lambat kita akan pindah ke rumah sendiri." "Terima kasih, Mas. Aku bahagia sekali." Nita kembali memeluk tubuh suaminya erat sekali, hatinya sungguh bahagia mendengar kabar yang bahagia itu. Bahagiamu adalah bahagiaku, Nita. Sakitmu adalah luka bagiku, batin Dimas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD