Bab 8 - Di antar pulang oleh bos (sementara up hari minggu)

852 Words
Semenjak memulai rutinitas baru, Ceria kini memiliki waktu lebih sedikit untuk mengurus rumah. Baginya mengatur jadwal itu merupakan hal yang terpenting agar semua bisa berjalan dengan baik. Setiap pagi suaminya yang akan berangkat duluan ke kantor, sementara dirinya masih harus mengantar Iren ke playgroup, baru kemudian berangkat kerja. Begitulah kegiatannya selama beberapa bulan terakhir. Sebuah keberuntungan bagi Ceria memiliki atasan seperti Mark, ternyata selain tampan, pintar, dan kaya, dia juga perhatian. Beberapa kali Mark melihat Ceria berjalan tergesa ketika hendak masuk ke kantor karena waktu sudah hampir mepet. Sehingga pada suatu hari Mark memberikan sebuah penawaran. “Ceria, how if I send a driver to pick you up every morning? I worry about your safety, then sure it will make my schedule trouble,” ucapnya pada Ceria. Lelaki itu memang sudah fasih berbahasa Indonesia, tetapi sesekali masih ada saja percakapan yang menggunakan bahasa Inggris. Beruntung Ceria merupakan mahasiswa yang pandai dan bisa dibilang menguasai segala bidang. Setelah beberapa detik berpikir, akhirnya wanita itu menerima tawaran bosnya. “Yes, Sir, I am glad to hear that, thank you very much,” jawab Ceria dengan mata berbinar. “But for today let me to drive for you,” ucap Mark sambil tersenyum. “But I need to pick up my daughter first at grandma home.” Ceria merasa tidak enak. Mark tersenyum. “It is okay, we go there first.” Ceria hanya mengangguk menyetujuinya, toh selama ini Bagja juga sering berangkat atau pulang bareng dengan stafnya. Ceria ingin lelaki itu berada pada posisi yang sama sepertinya, dan kebetulan siang tadi Bagja mengirimkan pesan kalau dia pulang cepat hari ini. Waktu yang sangat tepat, pikirnya. *** Hari itu selesai dengan baik. Mark betul-betul mengantar Ceria pulang, mereka mampir dulu ke rumah Bu Marta untuk menjemput Iren, kemudian Ceria mengajak Mark untuk mampir dulu ke dapur online, mengingat suaminya sudah menunggunya di rumah. Bagja, walaupun pulang lebih dulu, tidak pernah ada inisiatif untuk sekadar menjemput Iren. Semua itu baginya adalah tugas perempuan, meskipun kini Ceria sudah memiliki kesibukan lain. Mark ternyata sangat menyukai anak kecil. Sepanjang perjalanan dia tak henti menggoda Iren, bahkan berjanji akan membelikan mainan ketika dia pulang ke Jerman untuk Iren. Perjalanan tidak terasa lama karena serunya obrolan, mobil yang mereka tumpangi kini sudah tiba di depan sebuah rumah tipe 36 yang sangat sederhana. Rumah milik Ceria dan Bagja. Wanita itu turun dari mobil dengan satu tangan menggendong Iren, sementara tangan yang satunya menenteng tas kerja dan makanan yang dibelinya. Ceria mengangguk dan berterima kasih pada bosnya yang sudah mengantarnya. Kaca jendela depan perlahan tertutup dan mobil itu melaju meninggalkan rumah sederhananya. “Ri, kamu pulang sama siapa?” Terdengar suara ketus Bagja dari belakang. Ceria menoleh dan menurunkan Iren dari gendongannya. “Bos aku,” jawabnya singkat sambil mendekat ke arah suaminya. Dia masih menjadi Ceria yang lama, tetap santun dan menghormati Bagja. Wanita itu meraih tangan Bagja kemudian menciumnya. “Mas, ayo kita makan bareng, ini aku beli banyak, kebetulan bos aku yang bayarin, jadi pilih yang mahal-mahal deh,” ucapnya sambil terkekeh. Dia berjalan melewati suaminya yang masih memandang tidak suka. “Kenapa dia nganter kamu?” Bagja masih memburunya dengan pertanyaan sambil mengikuti Ceria yang kini duduk di sofa sembari melepas sepatunya. “Karena sopir yang buat ngantar jemput aku tadi gak masuk, dia khawatir terjadi apa-apa sama aku karena sering banget aku datang ke kantor berlari-lari,” ucap Ceria sambil mengikat rambutnya. “Kenapa kamu mau-mau aja?” Bagja protes. “Lha, apa salahnya? Ini, kan, hanya sebatas kerjaan, dia cuma khawatir aku kenapa-kenapa kalau terburu-buru setiap hari dan nanti efek sama jadwalnya dia. Justru bagus dong, berarti dia memiliki empati yang besar.” Kini Ceria mengajak Iren ke kamar untuk berganti pakaian. Diletakkannya putrinya itu di atas kasur, kemudian dia membuatkan s**u agar Iren bisa beristirahat sambil tiduran. Ceria menyalakan TV agar suara perdebatannya yang pastinya akan berlanjut dengan Bagja tidak menjadi perhatian. Kemudian dia berlalu ke dapur untuk menyiapkan alat makan. Ketika dia kembali, Bagja masih duduk termenung di sofa. “Aku gak suka ya kamu dianter-anter cowok.” Bagja menatapnya tajam. “Eh, Mas, dia itu bukan cowok, dia cuma bos aku, partner kerja aku, ya ibarat kamu nganter jemput Sisy, gak ada bedanya.” Ucapan Ceria telak membuat lelaki itu menjadi terdiam. Lagi-lagi Bagja tidak memiliki jawaban untuk menyanggah pernyataan istrinya. Memang selama ini, ketika Ceria memintanya untuk tidak terlalu dekat dengan Sisy, itulah jawaban yang dilontarkannya dengan santai. Lelaki itu sama sekali tidak bisa menempatkan posisinya jika dia menjadi Ceria. “Ayo, Mas, makan, ini aku udah siapin. Oh iya, mulai besok sopirnya Mr. Mark akan mengantar jemput aku, juga mengantar Iren dulu ke sekolah,” ucapnya sebelum mulai menyuap. Bagja hanya menoleh tanpa memberikan komentar apa pun. Terlihat ada kilatan tidak suka dari matanya. Mereka akhirnya makan dalam diam. Terlihat beberapa kali ponselnya Bagja bergetar, sekilas Ceria melihat ada nama Sisy muncul di layarnya. Namun, lelaki itu seperti tidak mengacuhkannya, padahal biasanya dia akan sigap mengangkat telepon itu dan menomorduakan istrinya. Apakah Bagja mulai diresapi perasaan galau takut kehilangan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD