Bab 6. Balikan sama Mantan

1067 Words
“Ini rumah kamu, Bara? Sejak kapan membeli rumah ini?” tanya Sukma takjub ketika melihat hunian sang putra. “Udah lama, Mah. Rumah ini Bara cicil sejak berpacaran sama Raya,” jawab Bara sama sekali tak memperdulikan perasaan sang istri. “Bara, kamu ini sudah beristri. Jangan bahas perempuan lain lagi,” tegur Sukma pada anaknya. Dia tentu tahu bagaimana perasaan Icha saat ini. “Ya-ya-ya,” balas lelaki itu acuh. “Icha, sini mama bantu kamu buat beresin barang. Meskipun kalian pindah gak bawa banyak baju, tapi Mama gak mau kamu kecapean gara-gara ngurus semua ini sendiri,” ucap Sukma yang tentu hanya bisa dituruti tanpa protes. Walaupun Keisya masih merasa tidak enak hati pada Bara. Sukma dan Icha sedang sibuk membereskan beberapa barang seperti pakaian dan yang lainnya. Sedangkan Bara dan Panji duduk berdua di ruang tamu. “Kamu memang anak papa yang hebat, Bara. Papa bangga sama kamu, tapi … papa akan lebih bangga jika kamu bisa mengemban amanah dari orang tua Icha dengan baik,” ujar Panji tiba-tiba. Bara hanya tersenyum samar. Tidak ingin menjawab ucapan sang ayah. “Papa harap kamu tidak akan mengecewakan kami, Bara,” sambung Panji penuh harap. Bukannya merespon nasehat sang ayah, Bara malah bangkit dan berjalan meninggalkan ayahnya. Tidak ada lagi Bara yang dulu selalu patuh. Anak itu sekarang seolah tidak mau mendengarkan wejangan sang ayah. “Bara ke mana, Pah?” tanya Sukma, dia baru selesai membantu Icha. Panji yang semula sedang menatap pintu masuk, seketika menoleh pada sang istri. “Pergi, Mah,” jawab Panji dengan ekspresi kecewa. “Biarkan saja, Pah. Dia pasti sedang berusaha menghibur diri. Mama tahu perasaan Bara sekarang. Dia pasti merasa takdir tidak adil padanya,” ucap Sukma bijak. Panji mengangguk setuju. “Mama sudah selesai? Icha mana?” tanyanya ketika tak melihat menantunya. “Icha ketiduran, Pah. Mungkin dia capek,” jawab Sukma, dia mendudukkan dirinya di samping sang suami. “Oh, ya sudah. Kalau begitu kita tunggu Icha bangun, baru kita pamit pulang,” pungkas Panji yang disetujui oleh sang istri. *** “Mau apa lagi, sih, Bar? Gue udah bilang jangan ganggu gue lagi!” sungut Raya naik pitam. Dia sudah sangat malas meladeni Bara yang terang-terangan tidak mau menceraikan Icha. Padahal, lelaki itu bilang tidak mencintai Icha sama sekali. Namun, saat diminta untuk mengakhiri pernikahan itu, Bara tanpa ragu menolak. “Ray, jangan gini, dong! Aku minta maaf kalau salah bicara. Kita obrolin ini baik-baik, ya.” Bara masih saja berusaha membujuk kekasihnya. “Urusan kita udah selesai, Bar. Mending Lo pergi!” Raya menunjuk pintu keluar gedung apartemen. “Raya, jangan kaya anak kecil gini, dong! Oke, kamu mau aku dan Icha cerai setelah anak itu lahir, ‘kan?” “Percuma. Toh, Lo gak mungkin bisa menceraikan dia,” balas Raya acuh. “Aku emang gak bisa. Tapi, Icha bisa,” pungkas Bara dengan wajah serius. Wanita yang begitu dicintai oleh Bara itu langsung merubah ekspresi dari acuh menjadi antusias. Dia tentu saja merasa senang karena memiliki kesempatan untuk kembali merajut kasih bersama Bara. “Lo serius, Bar?” tanyanya dengan mata berbinar. “Ya, aku serius. Nanti, aku akan bicara sama Icha,” jawabnya yakin. Senyum cerah mengembang di bibir wanita berusia 28 tahun itu. Tanpa rasa malu, Raya langsung memeluk Bara begitu eratnya. Bara pun membalas pelukan sang pujaan hati. Bara dan Raya pun kembali merajut benang cinta. Mereka mengesampingkan status Bara yang sekarang adalah suami Icha. Raya bahkan tak peduli jika nantinya akan ada yang menyebutnya sebagai pelakor. Menurutnya, di sini yang seorang perebut adalah Icha. Dia merasa sudah lebih dulu memiliki Bara, meski nyatanya di mata hukum yang memiliki Bara adalah Icha. Keduanya sedang menikmati waktu bersama di apartemen Raya. Mereka memang sudah seperti sepasang suami istri. Bara juga sesekali tidur di sana, hanya saja dia tidak pernah melakukan hubungan yang lebih intim dari pada sebuah pelukan dan ciuman. “Babe,” panggil Raya saat Bara baru saja mandi. Tubuh lelaki itu masih basah. Dia juga hanya memakai celana jeans pendek tanpa mengenakan kaos, membiarkan bisep miliknya terlihat. Bara tampak menggoda Meksi sedang sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Kenapa, Sayang?” tanya Bara sambil menatap kekasihnya. “Sini duduk!” Raya menepuk sofa di sampingnya. Bara tersenyum, kepalanya juga menggeleng. Namun, tetap menuruti permintaan sang kekasih. Dia duduk tepat di samping Raya. Saat itu, Raya malah langsung bangun dan berpindah posisi menjadi duduk di pangkuan Bara. Kedua tangannya juga melingkar di leher pria itu. Tatapannya begitu dalam pada Bara. Raya tampak menelan ludah saat memperhatikan bibir Bara yang tampak seksi. Tanpa ba-bi-bu, Raya menerjang bibir sang kekasih. Mereka berciuman begitu intim. Semakin lama ciuman itu semakin brutal. Tangan raya juga tak tinggal diam, bergerak liar menjelajahi setiap inci tubuh kekasihnya. Keduanya terlena dengan kegiatan itu. Hampir saja Bara khilaf dan melakukan hal yang lebih lagi. Beruntung dia langsung tersadar sebelum dia berhasil membuka semua pakaian yang membalut tubuh Raya. “Sorry, Ray,” ucap Bara, dia langsung bangkit dari tubuh Raya yang tadi sempat berada di bawah kungkungannya. “Kenapa, Bar? Kamu nggak mau ngelakuin itu sama aku?” tanya Raya, dia sangat kecewa karena Bara seolah menolak dirinya. “Bukan nggak mau, Sayang. Tapi, aku kan udah janji hanya akan melakukan itu ketika kita sudah menikah,” jawab Bara mencoba menjelaskan. “Itu kan dulu, Bara. Sebelum kamu menikahi Icha. Sekarang, aku mau kamu kasih bukti kalau kamu nggak akan ninggalin aku.” Raya kembali memeluk Bara, hendak mencium lelaki itu lagi. Bara langsung memalingkan wajahnya. Berusaha menghindar saat Raya akan kembali menyerang. Bukan tidak ingin memadu cinta, tetapi Bara tidak ingin merusak perempuan dengan alasan atas nama cinta. Penolakan Bara seketika membuat Raya marah. Dia buru-buru melepaskan pelukannya, bahkan ia melangkah mundur menjauhi Bara. “Sayang,” Panggil Bara sambil berusaha menggapai tangan sang kekasih. “Jangan pegang-pegang! Aku nggak mau lagi kamu pegang, Bara!” sentak Raya emosi. Dia marah, tentu saja marah. Siapa perempuan yang tidak marah jika ditolak oleh kekasihnya sendiri. Harga dirinya seperti diinjak-injak oleh sang kekasih. Padahal, di luar sana banyak yang menginginkan aktifitas berkeringat bersamanya. “Udah, dong, Sayang. Jangan ngambek! Kamu boleh minta bukti, tapi jangan cara ini, ya,” bujuk Bara penuh sabar. “Nggak! Gue nggak butuh bukti lain, Bara. Kalau Lo nggak mau, gue rasa nggak ada lagi yang bisa kita pertahankan. Mending kita putus aja,” ucapnya tanpa ragu. Dia menatap kesal lelaki di hadapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD