bc

Benih Di Rahim Sahabatku

book_age18+
9
FOLLOW
1K
READ
BE
family
drama
bxg
campus
secrets
affair
brutal
like
intro-logo
Blurb

Demi menutupi aib sahabat yang mengandung tanpa suami, Bara terpaksa menikahi Icha, padahal tinggal seminggu lagi pernikahannya dengan Raya berlangsung. Hal itu membuat rasa sayangnya pada Icha berubah menjadi benci. Dia benci anak yang dikandung Icha. Karena anak itu, dia harus berkorban dan meninggalkan kekasihnya. Yang Bara tak tahu, Icha menyimpan rahasia tentang ayah anaknya itu, sehinggalah Icha meninggalkan Bara karena tidak tahan dengan luka yang ditorehkan kepadanya. Siapakah ayah dari anak Icha? Apakah Bara kembali mendapatkan Icha setelah rahasia terbongkar?

chap-preview
Free preview
Bab 1. Terpaksa Menikahi Sahabatku.
Apa, Mah? Nikahin Icha?” Bara Nugraha Akbar, seorang pria berusia 25 tahun terkejut bukan main setelah mendengar perintah sang ibu. Bagaimana tidak, sang ibu tiba-tiba memberikan perintah untuk menikahi seorang perempuan yang tidak dicintainya. “Apa kata-kata Mama belum cukup jelas, Bara?” Sang ibu menatap tajam anaknya. “Nikahi Icha!” Kepala Bara menggeleng tak percaya. “Mama tahu Bara sama Raya mau menikah Minggu depan, kan? Kenapa sekarang malah suruh bara menikahi Icha?” Bara masih berusaha mengendalikan diri agar tidak meninggikan suara ketika membicarakan masalah ini. Meski hatinya sudah sangat kesal, nyatanya Bara tak kuasa untuk berbicara dengan arogan pada ibunya. “Batalkan pernikahan kamu dengan Raya. Mama minta kamu nikahi Icha!” Sang ibu masih saja kekeh dengan keputusannya. Bara sampai membuang napas lewat mulutnya. Berusaha agar dia tidak hilang kendali dan bersikap kurang ajar pada sang ibu. “Alasan apa yang membuat Mama memaksa Bara untuk menikahi Icha? Mama tahu sendiri kami hanya bersahabat sejak kecil,” ucap Bara mulai frustasi. “Karena kamu sahabatnya, makanya kamu harus menikahi Icha!” Keputusan itu tak berubah sedikitpun. Demi mengontrol amarahnya, Bara sampai mengusap wajahnya dengan kasar. Sejak tadi ucapan sang ibu hanya berputar-putar dengan hasil harus menikahi Icha, tetapi tidak memberikan alasan yang jelas. “Alasannya apa, Mah?” tanya Bara setelah berhasil menguasai dirinya kembali. Sang ibu melengos. Seperti berusaha menyembunyikan raut wajahnya saat ini. “Apa alasannya, Mah? Beri tahu Bara alasannya, maka Bara akan melakukan perintah Mama,” ucap Bara tegas. Wanita cantik berkepala 5 itu menoleh pada sang anak. “Icha hamil.” Bagaikan tersengat listrik tiba-tiba, tubuh Bara menegang di tempatnya. Tak mampu berkata apa-apa. Kekecewaan tentu saja dia rasakan. Namun, berita itu tentu saja membuat separuh hidupnya hancur berantakan. “Nikahi dia, Bara!” Lagi, sang ibu kembali menyuruh Bara untuk menikahi sahabatnya. “Kenapa harus Bara?” Sekuat tenaga pria itu kembali mengajukan pertanyaan. “Karena kamu yang bisa menyelamatkan nama baiknya. Kamu juga yang harus menunaikan janji kita untuk menjaga Icha pada almarhum orang tua Icha,” kata seseorang yang baru datang dan langsung ikut dalam pembicaraan itu. Seketika Bara menoleh ke belakang, sang ayah tengah berjalan menuju ke arahnya. Kepala Bara menggeleng-geleng pelan. “Kenapa harus Bara, Pah? Kenapa harus Bara yang menanggung beban itu?” tanya Bara penuh kekecewaan. Dia sendiri tidak mengerti dengan perasaannya saat ini. Sedih, kesal, kecewa, marah, semua bercampur jadi satu. “Nikahi dia atau kamu bersedia untuk tidak mendapatkan sepeserpun harta Mama dan Papa?” Pilihan itu terdengar begitu jahat. Apa lagi terucap dari orang tua kandung untuk anaknya sendiri hanya demi membela anak orang lain dengan embel-embel amanat. Namun, begitulah yang harus terjadi pada hidup seorang Bara. *** “Saya terima nikah dan kawinnya Marischka Fauziah binti Ragil Andreas dengan mas kawin yang tersebut, tunai.” Suara berat Bara memenuhi gedung hotel yang dijadikan tempat akad dan resepsi pernikahan Bara dan Icha. “Bagaimana para saksi?” “Sah!” seruan itu menggema di seluruh penjuru ruangan. “Alhamdulillah,” ucap para tamu yang ikut berbahagia. Namun, tidak dengan sepasang pengantin yang terlihat tak ada raut kebahagiaan sedikitpun. Hari ini, seharusnya Bara mengucap janji suci bersama Raya. Namun, takdir seolah mempermainkan cinta sepasang anak manusia yang saling mencinta. Bukannya menikahi Raya, kekasihnya. Bara malah mengucapkan kalimat sakral atas nama Icha. “Maafkan aku, Sayang. Aku terpaksa melakukan ini,” ucap Bara dalam hati. Ya, Bara dengan berat hati menikahi Icha. Dia tidak memiliki pilihan lain. Sebab, semua yang dia miliki adalah pemberian orang tua. Sedangkan Raya, wanita yang dicinta pun tak mungkin bisa diajak hidup sederhana. Usai mengikrarkan janji suci di depan penghulu dan para saksi, Bara membubuhkan tanda tangan di buku nikah. Sebuah dokumen penting sebagai pertanda bahwa keduanya telah resmi menjadi suami istri. “Silakan, Nak Bara untuk menyematkan cincin pernikahannya,” ucap sang penghulu. Bara menatap cincin pernikahannya dengan sorot mata penuh kebencian. Sebelum mengambil benda kecil itu, dia mengambil napas sedalam-dalamnya. Perlahan dia ambil dan sematkan cincin tersebut di jari manis sang istri, tanpa menatap wanita yang baru saja dia nikahi. Kini gantian Icha yang menyematkan cincin pernikahan di jari manis sang suami. Wanita itu juga tidak berani menatap pria yang baru saja mengucap ijab qobul atas dirinya. Kepalanya tertunduk dalam. “Selamat, Nak Bara dan Nak Icha. Kalian sudah resmi menjadi sepasang suami istri,” ucap si penghulu yang hanya disambut oleh tatapan datar Bara. Setelah acara akad nikah selesai, kini dilanjutkan dengan resepsi. Kebanyakan tamu yang datang adalah rekan kerja Bara. Mereka tentu ikut bingung karena di undangan pernikahan tertulis nama Bara dan Raya. Namun, yang bersanding di pelaminan bukan Raya, melainkan Icha, perempuan yang dikenal sebagai sahabat Bara. “Selamat, ya, Bar. Semoga langgeng bersama istrimu, yak! Gak nyangka banget. Ini, sih, definisi sahabat jadi cinta,” kata itulah yang berkali-kali diucapkan oleh rekan kerja Bara. Hanya senyuman tipis yang diberikan oleh Bara kepada teman-temannya yang dia yakini tengah mengolok-olok dirinya. Tidak ada niat untuk membalas dengan ucapan. Selama resepsi pernikahan berlangsung hingga selesai, Bara bahkan lebih sering memasang ekspresi datar. *** Sepasang pengantin baru itu kini sudah berada di kamar pengantin. Sukma dan Panji yang merupakan orang tua kandung Bara sempat mengantar menantu mereka sampai ke kamar. Namun, buru-buru pamit karena sengaja ingin memberi waktu untuk Bara dan Icha agar bisa saling bicara. Sayangnya, apa yang diinginkan oleh Sukma tidak terjadi. Mereka bukan saling bicara. Yang terjadi adalah Bara mengintimidasi Icha habis-habisan. “Benih siapa yang ada di rahimmu?” tanya Bara tanpa basa-basi. Tatapannya menggambarkan kemarahan yang begitu besar. Icha sampai beringsut mundur ketika Bara menatapnya dengan tajam. Selama puluhan tahun lamanya, tak pernah sekalipun Bara memarahinya. Namun, sekarang pria itu terlihat begitu sangar. “Jawab aku, Icha! Anak siapa yang kamu kandung?” Bara meninggikan suara ketika Icha tak menjawab pertanyaan pertamanya. Bukannya menjawab, Icha semakin ketakutan melihat kemarahan Bara. Wanita cantik bertubuh mungil itu menundukkan pandangan agar tak melihat bola mata Bara yang melotot seperti hendak keluar dari tempatnya. “Kamu tidak ingin menjawabku?” tanya Bara lagi, kini dia menggapai dagu sang istri. Tidak sampai di situ saja, akibat amarah yang membuncah, Bara bahkan tak sadar mencengkeram erat rahang bawah Icha. Tidak ada teriakan kesakitan ataupun raungan agar Bara melepaskannya. Icha hanya diam dengan mata mengembun. Sekuat tenaga, dia menahan air matanya agar tidak jatuh. “Kau benar-benar egois, Ca. Kamu sama sekali tidak menghargai aku sebagai sahabatmu. Aku yang dulu selalu menjagamu dari siapapun dan kapanpun. Tapi kenapa? Kenapa kamu merusak dirimu sendiri dan sekarang aku yang harus bertanggung jawab atas sesuatu yang dirusak orang lain? Kenapa, Icha? Kenapa?” Bara terlibat berapi-api dalam mengungkapkan perasaannya. Dia sangat kecewa saat tahu Icha hamil tanpa suami. Padahal, sejak kecil Bara-lah yang menjaga Icha dari bahaya apapun. Icha memejamkan matanya ketika merasakan sakit yang teramat dahsyat. Cekikan yang diberikan oleh Bara berdampak pada pernapasan wanita itu. Namun, meksi begitu, Icha tidak berusaha melepaskan diri. Dia malah membiarkan Bara melakukan apa yang ingin dilakukan. Ketidakberdayaan Icha saat ini akhirnya membuat Bara tersadar. Dia reflek melepaskan tangannya yang sejak tadi mencekik leher Icha. Wajahnya tampak panik karena melihat muka sang istri sudah memerah. “Ingat, Icha! Aku tidak akan menerima anak yang tidak berasal dari benihku sendiri!” Bara mengatakan itu dengan nada menekan, kemudian pergi ke kamar mandi. Meninggalkan Icha yang sedang berjuang memperbaiki ritme pernapasannya.

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook