Bab 2. Malam pertama kelabu.

1127 Words
Tidak ada malam pertama romantis, pun kata-kata manis yang terucap. Keduanya tidur di satu ranjang yang sama, tetapi dengan posisi saling memunggungi. Sebenarnya Icha tidak benar-benar tidur. Wanita itu masih sibuk dengan air mata yang terus saja mengalir membasahi pipi. Dia berusaha meredam suara isakan tangisnya agar tidak didengar oleh Bara. “Maaf, Bar. Kalau aku tahu akan begini jadinya, aku pasti lebih memilih mengasingkan diri dari keluarga kamu. Sayangnya, Tante dan Om lebih dulu tahu tentang kehamilanku.” Icha terus menyesali apa yang terjadi, bukan tanpa sebab, dia tentu merasa menjadi penghalang kebahagiaan sang sahabat. Tidak jauh berbeda dengan Icha. Bara pun sebenarnya masih terjaga. Samar-samar telinganya dapat mendengar tangisan Icha. Sahabat yang sekarang menjadi istrinya. “Gue benci sama Lo, Icha! Gue benci.” Bara terus meyakinkan diri bahwa mulai saat ini dia membenci wanita yang sekarang tidur di sampingnya. Dia tidak ingin pertahanannya runtuh karena mendengar wanita itu menangis. Hingga tengah malam pun Icha masih saja menangis. Bara yang juga tidak bisa tidur merasa sangat terganggu dengan apa yang dilakukan oleh sang istri. Pria itu bangkit dari ranjang dengan kasar. Menatap punggung Icha yang terlihat bergetar. “Lo berisik banget, sih, Ca! Gue jadi nggak bisa tidur. Kalau mau nangis, jangan di sini! Ganggu, tahu!” Icha buru-buru membekap mulutnya agar tangisnya mereda. Namun, semua sudah percuma. Karena yang terjadi selanjutnya adalah suara pintu yang dibanting dengan keras. Icha bahkan sampai terlonjak karena terkejut. *** Pada saat malam pertama itu, Bara meninggalkan hotel dan memilih pergi ke sebuah apartemen. Pria itu memencet bel berkali-kali hingga beberapa saat kemudian pintu terbuka. Muncul seorang wanita cantik dengan baju tidur yang langsung memasang ekspresi kesal, lalu berusaha untuk kembali menutup pintunya. Hanya saja Bara terlalu sigap menahan agar pintu apartemen tidak tertutup. “Raya, plis dengerin penjelasan aku,” pinta Bara. “Nggak ada yang perlu dijelasin lagi, Bar. Sekarang lebih baik Lo pergi!” bentak Raya penuh amarah. Bagaimana Raya tidak marah jika sang kekasih tiba-tiba membatalkan pernikahan dengannya tanpa sebab. Lalu, pada hari yang seharusnya menjadi hari bahagia untuk keduanya, tiba-tiba dia mendapat kabar bahwa sang kekasih melangsungkan pernikahan dengan wanita lain. Bara masih berusaha menahan pintu yang tetap didorong oleh Raya. Hingga Raya yang tenaganya tak sebanding dengan Bara akhirnya kalah. Pintu terbuka lebar ketika Raya tak mampu lagi mendorongnya. Tatapan mata Raya tak bisa dibohongi. Ada sorot mata penuh kebencian terhadap pria yang sudah 3 tahun menjalin kasih dengannya itu. “Mau apa lagi, sih? Belum puas lo khianati gue?” tanya Raya dengan wajah memerah. “Feeling gue tentang hubungan Lo dan Icha, bener, kan?” tanyanya lagi dengan d**a naik turun. Bara menggeleng cepat. Berusaha mengelak tuduhan sang pujaan hati. “Itu nggak bener, Ray. Aku dan Icha dulu hanya sahabat,” ucapnya mengelak. “Nyatanya sekarang dia jadi istri Lo, Bar!” “Aku terpaksa, Raya. Semua ini karena perintah Mama dan Papa,” ungkap Bara jujur. Namun, sepertinya Raya tak begitu saja percaya. “Apapun alasannya, Lo udah mengkhianati cinta gue!” Raya yang semakin jengkel, berusaha kembali menutup pintu. Sayangnya, lagi-lagi Bara menghalanginya. “Aku ngelakuin ini demi kamu, Ray.” Raya terdiam beberapa saat. Tangannya juga tanpa sadar melepas pintu apartemennya. Dia menatap lekat Bara dengan raut wajah tak percaya. “Aku melakukan ini karena aku nggak mau memaksakan diri tetap menikahi kamu, tapi dengan status gak jelas,” kata Bara seraya berusaha menggapai tangan sang kekasih. “Maksud kamu?” tanya Raya tak paham dengan maksud pria di depannya. Terdengar helaan napas berat yang dilakukan oleh Bara. Dia menatap Raya dengan sorot mata penuh harap. “Papa dan Mama mengancam jika aku tidak mau menikahi Icha, maka aku akan kehilangan semua hakku dari mereka, Ray. Aku nggak mau kamu hidup susah,” tuturnya sejelas mungkin. Bukannya luluh dengan penjelasan Bara, Raya malah menyentak kasar tangannya hingga genggaman Bara terlepas. “Gue nggak peduli apapun alasan lo, Bar. Yang jelas, gue nggak terima dengan pengkhianatan ini,” ucapnya penuh dendam. Raya semakin kesal setelah tahu alasan Bara menikahi Icha. Dia tidak terima karena pria yang dipacarinya 3 tahun kebelakang, menganggapnya tidak mau menerima apa adanya. Padahal, jika harus hidup susah pun mungkin akan diterima oleh Raya demi bisa hidup bersama Bara. “Sekarang pergi dari sini! Jangan ganggu hidupku lagi!” Raya mengusir Bara tanpa pikir panjang. Akan tetapi, Bara malah tak bergeming. Pria itu tak juga pergi. Hal itu tentu kembali menyulut emosi Raya. “Lo pergi atau gue panggil polisi?” ancam Raya dengan wajah serius. Mau tidak mau, Bara akhirnya meninggalkan apartemen Raya. Mungkin, kekasihnya itu memang butuh waktu untuk menenangkan diri, pikir Bara. Pergi dari tempat tinggal Raya, Bara tak juga pulang menemui istrinya. Dia memilih pergi ke sebuah bar dan meminum alkohol di sana. *** Esok hari, rumah utama keluarga Panji dihebohkan dengan kepulangan pengantin pria tanpa pengantin wanitanya. Bukan itu saja, pria itu bahkan pulang dalam keadaan mabuk. Panji yang mendapati sang putra mabuk, segera menghadang langkah anaknya itu. “Icha mana?” tanya Panji tegas. “Cari aja sendiri,” jawab Bara dengan tubuh sempoyongan. Melihat sang putra sekacau itu, Panji malah mendorong anaknya itu hingga terjengkang. Dia tidak memperdulikan rintihan kesakitan sang putra. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah bagaimana keadaan sang menantu yang kini tengah berbadan dua. “Mah, kamu urus anakmu ini. Aku mau cari Icha di hotel,” ucap Panji pada sang istri yang sejak tadi masih syok melihat keadaan putranya yang berantakan . Panji bergegas pergi ke hotel di mana tempat dilangsungkannya acara pernikahan Icha dan Bara. Berharap sang menantu masih berada di sana. “Icha, kamu di mana, Nak?” Panji terlibat sangat khawatir saat tidak mendapati menantunya di hotel. Ketika bertanya dengan resepsionis pun mereka tidak mengetahui keberadaan Icha. Yang jelas, saat Panji meminta pada pihak hotel untuk memeriksa CCTV, terlihat jelas bahwa Icha keluar dari gedung hotel saat tengah malam. Saat ini Panji sedang mengelilingi jalan. Tanpa tujuan yang jelas. Demi mencari keberadaan sang menantu, Panji sampai rela mengitari setiap jalan yang dia lewati. Tak mendapat hasil yang baik, Panji memutuskan menghubungi istrinya. Mungkin saja ada kabar tentang menantunya itu. Namun, ternyata Icha belum juga pulang ke rumah. “Apa dia di kos-kosan, ya?” Panji baru mengingat bahwa selama ini Icha tinggal di kos-kosan dekat dengan tempat kerjanya. Langka sekali mertua yang sampai sepanik Panji ketika kehilangan menantu. Pria paruh baya itu buru-buru mendatangi tempat tinggal Icha selama ini. Sebenarnya, Panji dan Sukma berkeinginan agar Icha tinggal bersama mereka. Namun, Icha menolak dengan alasan ingin belajar hidup mandiri. Belum juga Panji sampai di tempat tujuan, mobilnya terpaksa berhenti saat jalanan tiba-tiba macet. Ketika dia bertanya pada orang-orang yang lalu lalang, mereka menjawab ada kecelakaan. “Korbannya perempuan, Pak. Masih memakai gaun pengantin,” jawab salah seorang yang ditanya oleh Panji.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD