Di larang keluar rumah

1485 Words
Di saat merasa tertekan oleh takdir hidupnya, satu-satunya orang yang Alice ingat yaitu Sarah. Teman Wanita yang paling dekat dengannya. Kini Alice duduk seorang diri di kursi taman. Angin senja telah berhasil menelisik tubuhnya yang hanya mengenakan kaos oblong. Tiba-tiba, seseorang datang menghampirinya dengan nafas yang tersengal. Rupanya dia adalah Sarah, ia berlari dari kantor setelah menerima panggilan dari Alice. Begitu mendengar suaranya, Sarah menyadari bahwa Alice tak baik-baik saja. Alice menatap Sarah yang masih mengatur nafasnya. Begitupun dengan Sarah yang hanya menatap Alice, keduanya hanya diam dan saling menatap. Namun, belum sempat Sarah membuka suara, tiba-tiba tangis Alice pecah di hadapan Sarah. Alice yang sejak tadi menahan kesedihannya, akhirnya ia luapkan. Airmatanya membuat kacamata miliknya mengembun. Perlahan Sarah duduk di samping Alice, tanpa berkata apapun ia hanya memeluk dan menepuk punggung Alice. Benar! Tak ada kata lain selain menenangkannya. Disana, Alice mencurahkan segala perasaan yang membelenggunya. Jarang sekali Sarah melihat Alice begini, ia menjadi tak tega. Setelah hampir dua jam menangis, Wanita itu akhirnya lebih tenang. Ia bahkan melepas kacamatanya, karena terlalu sibuk menangis. "Sebenarnya ada apa?" Pelan-pelan Sarah memberanikan diri untuk bertanya. Alice terlihat diam, ia masih sesegukan akibat menangis dengan tersedu-sedu. Tangannya lalu membuka totebag-nya, dan tengah mengambil sesuatu. Alice tidak ingin menyembunyikan apapun dari Sarah. Apalagi, hal ini terjadi karena sebuah pekerjaan darinya. Bukannya Alice mau menyalahkan Sarah, hanya saja ia harus jujur pada Sarah yang merupakan teman terdekatnya. Seketika Sarah melotot ketika melihat benda di tangan Alice. Tatapannya kembali berganti menatap Alice. "Siapa???" Tanya Sarah terdengar dingin. Kini ia mengerti, Hal apa yang membuat Alice begitu sedih. Ketika Sarah menanyakan siapa Ayah dari bayinya, Alice justru malah menggelengkan kepalanya. Raut wajahnya kembali di penuhi dengan ketakutan. "Kenapa kamu menangis? Bukannya pacarmu sudah melamarmu. Itu artinya, dia mau bertanggung jawab kan?" Ujar Sarah, salah mengira. Dari semua ocehannya, Alice hanya terdiam. Ia enggan menjelaskan, namun ia merasa jika Sarah harus tau. "Ini bukan anak Kak Rendra! Aku, aku nggak tau siapa ayahnya" Tangisnya kembali memecah, karena merasa sangat ketakutan. Sementara Sarah, ia benar-benar tersentak dan hanya bisa menelan salivanya. "Al, tenangkan dirimu. Ceritakan semuanya, bagaimana ini semua terjadi? Kenapa kami ngga tau siapa ayahnya???" Yang bisa Sarah lakukan saat ini ialah menenangkan Alice. Bagaimanapun, ia sudah menganggap Alice seperti adiknya sendiri. Isakan tangisnya semakin menjadi, Sarah hanya bisa memeluk Alice. "Pelan-pelan Al. Aku tau, kamu pasti sangat ketakutan" Tutur Sarah menepuk-nepuk punggung Alice. Perlahan Alice menceritakan awal kejadian itu semua pada Sarah. Kedua matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Pasalnya ia tak tau, malam itu berhubungan dengan siapa. Sarah sendiri merasa bersalah pada Alice. Ia hanya bisa berusaha untuk menghiburnya. "Kak, aku harus gimana?" Eluh Alice tak berhenti menangis. "Kalau saja aku ngga memintamu untuk ke hotel malam itu, pasti ini semua nggak akan terjadi. Maafkan aku, Al" Kini Sarah menggenggam tangan Alice, ia cukup merasa bersalah atas apa yang menimpa Alice. "Kakak, apa aku harus menggugurkan kandungan ini?" "Jangan Al! Anak ini ngga bersalah" Kedua Wanita lajang itu malah menangis bersama. "Tapi satu minggu lagi, aku dan Kak Rendra akan bertunangan Kak! Aku benar-benar bingung, apa yang harus ku lakukan???" Alice kembali menangis di pelukan Sarah. "Sebaiknya kita pulang dulu. Angin malam ini cukup dingin, Ayo kita pulang dulu" Ujar Sarah, memapah Alice yang masih sesegukan. **** Malam ini di sebuah gedung Hotel bintang 5, terlihat sebuah acara Amal yang cukup meriah. Acara tersebut di hadiri oleh para pembisnis, mulai dari kelas atas maupun kelas bawah. Selain untuk mempererat hubungan kerja sama, Acara amal biasa di adakan untuk mencari para investor bagi perusahaan yang belum lama merintis. Sebagai pembisnis kelas atas, Kavindra juga turut hadir di acara Amal tersebut. Ia menyumbangkan sejumlah uang dengan nominal yang cukup tinggi, di setiap tahunnya. Namanya terdengar di panggil ke podium, untuk memberi beberapa kata sambutan. Suara tepuk tangan pun mengiringi langkahnya menuju ke podium. Perlahan, Pembisnis muda itu memberikan sambutan pada para tamu yang sudah hadir. Sementara di kejauhan, terdapat seseorang yang menatap kagum pada Kavindra. Suara tepuk tangan kembali bersorak, ketika Kavin selesai melakukan sambutan. Pria itu kembali berjalan menuju ke tempatnya. **** Malam ini, Alice bermalam di rumah Sarah. Matanya kali ini benar-benar sembab, bahkan malah bengkak. Tampaknya ia sudah sedikit tenang, dengan adanya Sarah di sampingnya. "Minumlah, aku membelinya tadi di minimarket depan" Sarah terlihat memberikan segelas s**u hangat pada Alice. Wanita itu menerimanya, lalu segera meneguknya. Benar saja, Alice terlihat menyukai s**u itu. Ia meneguknya sekaligus sampai habis. "Makasih, Kak" Katanya, kembali memberikan gelas yang sudah kosong pada Sarah. "Al, hamil itu bisa jadi boomerang bagi perempuan yang belum menikah. Tapi bisa juga jadi kebahagiaan, bagi mereka yang menantikannya" " Ujar Sarah, duduk di samping Alice. Wanita itu kembali meyakinkan Alice, agar tak berpikir untuk menggugurkan kandungannya. "Satu yang pasti, kalau kehamilan itu sebuah takdir Tuhan. Kita nggak bisa menolaknya, saat Tuhan menitipkan janin di perut kita. Dan kita juga ngga bisa menentangnya, saat kita belum di percayakan dengan kehadiran janin di perut kita!" Sambung Sarah, menggenggam tangan Alice. Kali ini Sarah benar-benar berharap pada Alice. "Maka dari itu, tolong berhenti berpikir untuk menggugurkan anak ini. Aku akan menemanimu membesarkan anai ini!" Pinta Sarah, penuh harap. Sarah telah menetapkan untuk menjaga dan merawat Alice hingga melahirkan. Ia melakukannya atas dasar perasaan bersalahnya, dan juga karena telah menganggap Alice sebagai adiknya sendiri. Mendengar kata bijak dari Sarah, kedua Netra Alice kembali berkaca-kaca. Kepalanya mengangguk dengan cepat, akhirnya ia setuju dengan Sarah, untuk melahirkan bayinya. **** Keesokan harinya setelah meratapi nasib, Alice kembali pulang ke kediaman Diego. Ia tak menggubris Meysa, meski dirinya terus memprovokasi. Alice hanya ingin mengumpulkan barang-barang miliknya yang bisa ia jual. Namun tiba-tiba, perutnya kembali merasa mual, hingga membuatnya pergi ke kamar mandi. Pada saat yang bersamaan, Diam-diam Meysa masuk ke kamar Alice. Sontak ia mendengar Alice sedang muntah-muntah di toilet. "Apa sih, kenapa masuk anginnya ngga sembuh-sembuh!" Cetus Meysa, melipat kedua tangannya di atas perut. Matanya tak sengaja menangkap barang-barang yang Alice kumpulkan. Kemudian, ia semakin menganggap remeh Alice, sampai beranggapan bahwa Alice kekurangan uang. "Apa kamu punya kebiasaan masuk kamar orang sembarangan?" Ucap Alice tiba-tiba. "Cih, aku cuma nggak sengaja lewat, mendengar kamu mual-mual. Memangnya Papa ngga ngasih kamu uang ya? Sampai kamu harus kerja, kecapean dan sakit?" Tanya Meysa, selidik. "Apa kamu mengkhawatirkanku?" Cetus Alice dengan seringainya. "Khawatir kepalamu! Buktinya kamu sampai mengumpulkan barang-barang itu? Kalau ngga salah, itu semua bisa di jual kan???" "Ya kamu benar! Apa kamu mau membelinya? Aku akan kasih diskon, kalau mau!" Seringai Alice membuat Meysa kesal. "Aku tertarik dengan tas yang kamu pakai ini. Gimana kalau aku beli ini?" Meysa menyambar begitu saja, tas Alice yang tergeletak di atas sofa. "Hey, itu milikku!" Ucap Alice meninggikan nada suaranya. Namun tidak hanya menyambar sembarangan, Meysa bahkan mengeluarkan isi tas milik Alice yang menarik perhatiannya. Sebuah tas branded berukuran sedang, berwarna coklat membuat Meysa cukup tertarik sehingga ia bertindak demikian. Tiba-tiba Alice memucat, saat isi tasnya terekspos oleh Meysa. Begitupula dengan Meysa, yang segera menyambar tespek bergaris dua itu ke tangannya. "Masuk angin? Ternyata benar ya, kamu mengandung?" Ujar Meysa, menyeringai dengan tespek di tangannya. "Meysa, berikan padaku!" Pinta Alice sungguh-sungguh. "Aku penasaran dengan reaksi Papa setelah melihat ini. Apakah dia akan tetap membanggakanmu?" Nada bicara Meysa terdengar mengancam. Selama ini, ia iri dengan Alice yang selalu di bangga-banggakan oleh Diego. Hingga membuatnya berpikir untuk menjatuhkan Alice dengan tespek tersebut. "Jangan Al! Aku mohon, berikan padaku cepat!" Tak seperti Alice yang biasanya. Ia tak berani melawan Meysa sama sekali. Apalagi, kelemahannya saat ini ada di tangan Adik tirinya. Alice masih belum siap untuk mengatakannya pada Diego. Bukannya memberikan pada Alice, Wanita itu malah keluar dengan membawa tespek tersebut. Kebetulan sekali, waktu makan malam tiba. Sehingga Diego dan Karin berada di meja makan. "Apa-apaan kamu Mey, berlari di dalam rumah?" Tanya Karin dengan kesal, melihat Putrinya tengah mengatur nafasnya. "Meysa!" Belum sempat Meysa menyampaikan pada Diego, tiba-tiba Alice datang untuk menghentikannya. Namun, hal itu tak membuat Meysa lunak. Ia tetap menunjukkan tespek tersebut pada Diego, saat menjelang makan malam. Jedarrrrr!!!! "Pah.." Suaranya yang lirih seakan memohon ampun pada Diego. Namun Alice justru mendapat sebuah tatapan tajam darinya. Perlahan Diego melangkah menghampiri Alice, yang berdiri tak jauh darinya. "Apa ini alasan kamu mau menikah?" Tanya Diego dengan suara dingin. Alice mulai menangis sambil menggelengkan kepalanya. "Nggak, Pah. Aku... Maafkan Alice" Alice hanya bisa menunduk dan menangisi semuanya. Sementara kedua ibu dan anak itu terlihat paling bahagia atas apa yang menimpa Alice. "Ternyata Alice sempat minta restu sama Papa. Apa pria yang kemarin itu?" Monolog Meysa dalam hati. "Kalau begitu langsung tetapkan pernikahan saja! Tidak perlu bertunangan!!!" Umpat Diego menahan amarahnya. "Pah.." Rengek Alice, terus memohon ampun karena telah mencoreng nama keluarga. Tatapan Diego seketika menjadi dingin terhadapnya. Terlihat dari matanya, bahwa Diego sangat kecewa dengan Alice. "Mulai detik ini juga, kamu di larang keluar rumah. Masuk ke kamar dan renungi kesalahanmu! Papa akan meminta keluarga pacarmu untuk datang lebih awal. Seminggu lagi terlalu lama!" Ujar Diego mengeratkan giginya. "Tapi, Pah!" - NEXT---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD