Dua jam kemudian, keduanya terlihat berada di garasi pria itu. Damian telah rapih dan mengenakan jas kerjanya, siap untuk berangkat ke kantor. Ia menatap isterinya yang sedang berdiri di depannya. Tampak wanita itu sedang mengotak-atik ponsel di tangannya.
Saat bertemu dengan suaminya di perkantoran baru kemarin, Rosy meninggalkan mobilnya di Cafe dan menggunakan taksi sesuai dengan instruksi pria itu. Entah kenapa, tapi Damian tidak mau dia mengendarai mobil pribadinya ke gedung baru itu.
"Sedang apa?"
Suara berat Damian yang terdengar dari arah sampingnya, membuat Rosy terlonjak dan mendongakkan kepala. Pria itu tampak berdiri kaku dan sedang merapihkan kerah jasnya. Tas kerjanya ia tenteng di tangan kirinya.
"Memesan taksi."
Sambil lalu, Damian dengan entengnya menyodorkan tasnya pada Rosy. Ia lalu membuka pintu pagar dan mulai masuk ke dalam mobil besarnya.
"Batalkan saja. Aku akan mengantarmu."
Dia mau mengantarku? Dia?
"Apalagi yang kau tunggu? Masuklah."
Sejenak, Rosy terpana namun tidak mau berdebat. Ia pun akhirnya naik ke mobil suaminya. Dan meski memakai celana panjang, tetap saja dia kesulitan naik ke dalam mobil besar itu.
Setelah Rosy meletakkan kedua tas kerja mereka di lantai mobil, tangan Damian tiba-tiba terulur dan membantunya memasangkan seat belt. Sabuk itu tepat berada di tengah-tengah tubuhnya, membuat bentuk asetnya tercetak jelas dalam kemeja longgar yang dikenakannya.
Tanpa aba-aba, jari-jemari lelaki itu terulur dan mengusap ujung d*danya. Benda s*alan itu langsung mengeras. Perlahan, kepala pria itu menunduk ke arah itu tapi sebelum berhasil menyentuhnya, tangan Rosy menarik rambut lurus Damian dan mendongakkan kepalanya. Dalam hati, ia memaki suaminya yang sepertinya tidak pernah puas.
"Jangan sekarang. Anda bisa membuat baju saya kusut."
Kepala pria itu yang terdongak, sangat dekat dengan wajahnya. Kedua mata birunya yang cerah balik menatapnya. Pupilnya melebar, dan pipinya sedikit merona. Kulitnya yang sedikit berbintik-bintik di hidung, terlihat lebih jelas. Bulu-bulu halus di wajahnya pun tampak meremang. Rosy dapat merasakan aliran nafas suaminya yang panas menerpa kulit mukanya.
Sejenak, keduanya hanya saling menatap dalam diam.
Pandangan pria itu turun dan mengarah ke benda yang menarik perhatiannya tadi. Dengan cepat, Damian mengecup ujungnya dan membuat Rosy sedikit terkesiap kaget dan melepaskan jambakannya. Wanita itu kembali memaki suaminya dalam hati, yang lagi-lagi berhasil membuatnya merasa ter*ngsang padahal ia harus berangkat kerja.
Ketika suaminya sudah berada di posisinya kembali, terlihat ada beberapa helai rambutnya yang mencuat karena ditarik oleh Rosy tadi. Refleks, tangan wanita itu merapihkan rambut suaminya dan sedikit menyisirnya dengan jari-jarinya.
"Sudah rapih."
Rosy tampak puas dengan penampilan suaminya, sama sekali tidak menyadari tubuh pria itu yang membeku karena sentuhannya.
Dengan kaku, Damian menganggukkan kepalanya dan perlahan ia mengeluarkan mobilnya dari garasi rumah. Kedua tangannya meremas kemudinya sedikit lebih kencang.
Perjalanan itu dilalui dalam keheningan dan setelah sampai di Cafe, Rosy pun akhirnya turun dari mobil dengan susah payah. Ia memegang pintu mobilnya dan menatap suaminya yang tampak memandang lurus ke depan.
Ia sedikit kaget ketika melihat tampang suaminya yang terlihat tegang. Pria itu sama sekali tidak memandang dirinya saat ini.
Kenapa lagi dia? Tadi sepertinya normal, kenapa sekarang dingin lagi?
"Terima kasih."
Ragu-ragu Rosy mengucapkan terima kasihnya. Pria itu masih tidak menoleh pada isterinya, tapi ia mengucapkan sesuatu yang membuat wanita itu mengerjapkan matanya.
"Makan malam."
Oh ya. Aku sudah harus mulai masak malam ini.
"Saya akan pulang sebelum jam 19.00 dan menyiapkan makan malam untuk Anda."
Lelaki itu hanya mengangguk kaku, dan Rosy pun menutup pintunya yang berat dengan kedua tangannya. Mobil itu benar-benar menyusahkan dirinya saja.
Setelah memastikan mobil suaminya sudah menghilang di pojokan jalan, barulah Rosy melangkah memasuki Cafe miliknya. Ia langsung disambut oleh beberapa pegawainya yang tampak sedang bebersih dan mempersiapkan bahan-bahan untuk diolah di dapur.
"Selamat pagi, Ibu Rosy."
"Selamat pagi, Mia."
Rosy tersenyum pada Mia. Anak itu telah mengikutinya selama 5 tahun, sejak ia lulus SMP. Anak itu sangat cekatan, membuat Rosy mempercayainya untuk beberapa hal meski usianya masih sangat muda. Saat ini, Mia sedang mencoba mengambil kuliah malam jurusan IT Programmer di salah universitas terkemuka.
Menatap atasannya, Mia terlihat tertarik melihat penampilan Rosy yang baru saja mengambil cuti dua hari yang lalu. Anak nakal berambut ikal itu terlihat tersenyum ceria.
"Sepertinya Ibu lagi senang ya? Wajah Ibu sangat bercahaya."
Komentar itu membuat Rosy menoleh menatap pegawainya. Mia tampak tersenyum lebar ketika memperhatikan dirinya.
Sedikit tidak percaya diri, Rosy memegang pipinya yang berwarna merah jambu alami.
Benarkah? Aku bercahaya?
"Bercahaya bagaimana?"
"Entahlah. Tapi Ibu kelihatannya berbeda hari ini. Ibu semakin cantik, deh. Benar kan, Yud?"
Anak itu terlihat bersemangat memberikan komentar untuk bos yang sangat disukainya ini. Ia menoleh pada Yudi yang tampak mengangguk-angguk setuju, sambil tetap mengupas kentang di salah satu meja makan.
"Iya. Ibu memang sudah cantik sih, tapi hari ini memang kelihatan lebih cantik."
Aku lebih cantik? Kok bisa ya?
"Ibu punya pacar?"
Eh? Pacar?
Pertanyaan Mia cukup menohok Rosy, membuat kedua pipinya semakin memerah malu. Ia memang dikenal sebagai bos yang cukup dingin pada pelanggan pria-nya. Wanita itu selalu menolak ajakan kencan beberapa pria yang cukup berani untuk mendekatinya, membuatnya sering menjadi bulan-bulanan pegawainya sendiri.
"Wah, benar ya bu? Ibu punya pacar?"
Aku sudah punya suami, tahu! Bukan pacar lagi!
Pegawainya yang satu ini meski hampir berusia 20 tahun, tapi perilakunya seperti masih anak-anak. Terkadang, Rosy ingin menjewer telinganya, kalau tidak mengingat kakak Mia yang sudah sering menjewer telinga adiknya itu.
Mengenai statusnya yang sudah bersuami, Rosy sama sekali tidak berniat membocorkannya pada orang lain. Apalagi ia terikat kontrak yang menyatakan kalau ia harus merahasiakan statusnya, sampai suaminya sendiri yang membukanya. Dan entah kenapa, Rosy pun merasa pernikahannya dengan Damian pun tidak akan berlangsung lama.
"Berisik. Kalian siapkan saja Cafe untuk buka jam 10.00 nanti. Sekitar jam 13.00, saya harus pulang cepat, jadi kalian jangan bandel sampai Cafe tutup jam 17.00 ya."
"Yud, Ibu mau kencan nanti malam."
Tidak di rumah. Tidak di kantor. Kenapa semua orang pada menyebalkan, sih?
Suara berisik Mia dan Yudi yang saling bergosip membuat Rosy geram. Salah satu tangannya akhirnya mencubit pipi gembil anak itu dengan cukup kuat, menghasilkan jeritan nyaring di ruang makan itu. Teriakan dari Mia justru membuat beberapa pegawai tertawa gembira mendengar anak itu dihukum oleh bosnya.
"Bu! Sakit! Lepaskan bu, pipi saya bisa cepat kendor kalau sering dicubit!"
"Kalau kamu masih berisik, saya akan mencubit pipimu yang satu lagi."
Refleks, anak itu melindungi pipinya yang masih mulus belum tersentuh cubitan sadis bosnya. Anak itu sangat sebal, karena meski tidak gemuk tapi pipinya yang gembil membuat banyak orang sering mencubitnya. Padahal, kakaknya sendiri tidak pernah berani melakukannya.
"Sekarang, kembali bekerja."
Terbirit-b***t, Mia kembali ke ruang belakang untuk mempersiapkan barang-barang yang akan digunakannya membuka Cafe nanti. Hal ini membuat ruangan makan itu riuh dengan suara tawa pegawai lain, dan Rosy pun menggelengkan kepalanya pelan.
Benar-benar anak nakal itu. Seperti sedang berhadapan dengan Rein kecil saja. Untungnya, kakaknya cukup sabar menghadapinya. Apakah nanti dia bisa bersuami?
Duduk di ruang kantornya yang kecil, Rosy memeriksa ponselnya. Ia telah membuat janji temu dengan seorang dokter kandungan di rumah sakit tempat Rein di rawat. Selesai pemeriksaan nanti, ia akan mampir menjenguk adiknya yang kata dokter telah jauh membaik.
Menghela nafas, wanita itu mengusap wajahnya dengan lelah. Hanya dalam waktu kurang dari seminggu, ia telah mengalami perubahan nasib yang sangat drastis.
Sama sekali belum terfikir dalam benaknya kalau ia akan menikah dalam waktu dekat. Tadinya Rosy ingin fokus membantu adiknya mencapai impiannya dulu, baru ia akan berfikir mengenai dirinya sendiri. Tapi memang, nasib seseorang sudah ada yang mengaturnya.
Memijat pelipisnya, Rosy mulai berfikir bagaimana sebaiknya ia menghadapi suaminya. Apakah ia akan tetap berusaha membuat lelaki itu jengkel padanya dan menceraikannya? Ataukah justru mencoba menjalani perannya sebagai seorang isteri dengan baik?
Apapun pilihannya, yang jelas Rosy tidak mencintai pria itu dan juga sebaliknya. Keduanya saling memanfaatkan. Pria itu menginginkan tubuhnya, dan ia memerlukan perlindungannya. Dan Damian Bale memiliki uang, juga kekuasaan yang Rosy butuhkan saat ini.
Mengerjapkan matanya yang basah, wanita itu mencoba untuk tegar. Meski tidak mencintai dirinya, setidaknya Rosy berharap suaminya dapat menaruh rasa hormat padanya.
Apakah dia bisa membuat pria itu menghormati dirinya?
Menghela nafasnya dalam, wanita itu berusaha memfokuskan dirinya pada tugas yang ada di depan matanya. Urusan di rumah, biar ditinggalkan dulu di rumah. Sampai ia harus kembali menghadapi pria itu lagi, saat pulang nanti.
Sepanjang siang itu, dihabiskan Rosy untuk mengelola Cafe-nya. Dan tepat jam 13.00, ia pun mengarahkan mobilnya menuju rumah sakit. Konsultasinya dengan dokter kandungan ternyata tidak makan waktu lama, membuatnya punya waktu lebih banyak bersama adiknya.
"Bagaimana kabarmu, Rein?"
Adiknya mulai dapat tersenyum pada kakaknya, dan wajahnya dihiasi semburat warna merah muda yang sehat.
"Baik kak. Kakak juga terlihat sehat. Semua baik-baik saja di Cafe?"
Rosy meremas tangan adiknya yang kurus. Ia tersenyum.
"Semua baik-baik saja. Mia menanyakanmu."
Rein langsung cemberut mendengar nama karyawan kakaknya. Mia sering menggodanya. Usia mereka cuma berbeda satu tahun, tapi Mia punya kemampuan bahasa Jepang yang jauh lebih baik darinya. Entah kapan anak itu mempelajarinya. Rein semakin sebal dengan anak perempuan itu yang seringkali meledeknya, dan dia tidak bisa membalasnya.
"Jangan membicarakan dia, kak."
Terkekeh, Rosy mengelus kepala adiknya. Rambut adiknya yang tadinya lebat dan bersinar, sekarang hanya tinggal helaian tipis karena rontok. Adiknya cukup mudah menjadi stress, membuat situasi saat ini sama sekali tidak ideal buatnya. Perempuan itu sedikit menggigit bibirnya, mencegahnya untuk menangis di depan adiknya.
"Kapan aku bisa pulang, kak?"
Terdengar suara adiknya yang lemah bertanya. Tersirat nada putus asa di dalamnya.
Meremas bahu anak muda itu, Rosy tersenyum. Sekuat tenaga, ia berusaha menampilkan sinar penuh pengharapan di kedua matanya, meski hatinya menangis dengan pilu di dalam. Ia sama sekali tidak bisa memprediksi nasib adiknya kelak.
"Bersabarlah, Rein. Pak Ferry sedang mengusahakan adanya bukti baru, tapi memang butuh waktu. Kakak akan mencoba sekuat tenaga agar kamu bisa segera bebas."
Tampak air mata Rein mulai mengalir di pipinya yang tirus.
"Aku benar-benar tidak melakukan apapun, kak. Aku sama sekali tidak paham, kenapa mobil itu bisa menabrak mobilku. Padahal aku yang ditabrak, tapi kenapa aku yang harus dipenjara? Aku sama sekali tidak bermaksud memb*nuh orang itu... Aku hanya mengangkat telepon, kak... Hanya angkat telepon... Kenapa aku sesial ini? Apakah karena kita tidak punya uang?"
Pertanyaan menyedihkan itu membuat Rosy segera memeluk tubuh adiknya yang mulai sesegukan. Anak muda itu menangis menyedihkan. Ia sadar nasibnya di ujung tanduk, karena melawan keluarga yang cukup berkuasa di negara ini. Wanita itu mer*mas baju rumah sakit adiknya dan perlahan, air matanya pun mengalir dalam diam.
"Kakak minta kamu bersabar, Rein. Bersabarlah dan berdoalah. Kamu pasti segera bebas."
Kedua kakak beradik itu saling memeluk erat. Mereka merasakan rasa putus asa di d*da masing-masing dan dengan hati yang menjerit, meratapi nasib mereka yang sangat tidak beruntung. Selain kehilangan orang tua di usia dini, sekarang kembali dihadapkan pada situasi yang dapat membuat kehidupan keduanya hancur.
Selesai menjenguk adiknya, Rosy pun memutuskan untuk mengunjungi dokter yang telah merawat adiknya untuk mengucapkan terima kasih.
"Selamat sore, dokter."
"Ibu Rosy. Silahkan masuk."
Tampang sang dokter yang kurus itu tampak gembira, melihat kedatangan tamunya. Dengan sopan, Rosy duduk di depan si dokter dan meletakkan tasnya di lantai.
"Saya mengucapkan banyak terima kasih, dok. Karena telah merawat adik saya."
Sang dokter tampak sumringah dengan pujian itu.
"Tidak perlu. Saya turut gembira. Akhirnya adik Anda bisa mendapatkan perawatan terbaik. Dengan begini, ia akan dapat kembali ke penjara A dengan tanpa kekurangan apapun."
Meskipun kata-kata sang dokter positif, namun tetap membuat hati Rosy tercubit karena ia kembali menyadari kalau adiknya sama sekali belum bebas saat ini.
"Kapan Rein akan kembali ke penjara, dok?"
"Sekitar 1-2 hari lagi kalau melihat kondisinya saat ini."
Kepala Rosy mengangguk dan ia tertunduk dalam.
"Jangan terlalu bersedih. Saya tidak tahu apa yang telah Anda lakukan tapi yang jelas, hal itu berdampak positif bagi adik Anda. Dia akhirnya mendapatkan perawatan yang seharusnya. Saya kira tidak lama lagi, Rein akan dapat kembali ke keadaannya yang semula."
"Begitukah, dok?"
Mata wanita itu mengerjap. Hatinya sedikit lega.
Si dokter tersenyum kecil dan dengan hati-hati, pria itu menanyakan pertanyaan yang ada di benaknya saat ini.
"Apakah akhirnya Anda mengambil jalan damai dengan Damian Bale? Karena sepertinya, ia sendirilah yang menginstruksikan perawatan untuk adik Anda. Nona Rosy, saya benar-benar tidak mau berfikirkan buruk tapi saya sebenarnya cukup aneh."
"Kenapa aneh, dok?"
"Yah, seperti yang saya bilang kemarin. Damian Bale bukanlah orang yang pemaaf. Kasus adik Anda menurut saya cukup berat di mata Haliman, karena salah satu anggota keluarga mereka telah meninggal. Menurut Anda, siapa orang yang akan tega menjebloskan adik Anda begitu saja tanpa keadilan? Karena saya yakin, kalau adik Anda tidak bersalah."
Kedua alis Rosy berkerut dalam. Ia memandang dokter kurus di depannya ini lebih tajam.
"Kenapa dokter berkata begitu?"
"Terus terang, begitu Anda menceritakan mengenai kasus adik Anda, saya langsung mencari tahu. Sepengetahuan saya, seseorang tidak dapat dipenjara lama sebelum ada keputusan bersalah. Tapi sudah berapa lama adik Anda berada di sana? Satu minggu? Satu bulan?"
Rosy menelan ludahnya. Ia memang tidak terlalu memahami hukum dan hanya percaya-percaya saja dengan proses yang sedang berlangsung. Pengacara Ferry pun tampak tidak mau menjelaskan dengan rinci dan Rosy tidak bisa menuntutnya, karena ia memang membayar pengacara itu cukup murah. Pria pengacara itu mengambil kasus ini setengah pro bono.
"Satu bulan."
"Apa Anda tidak curiga kalau ada yang telah menyuap petugas kepolisian untuk langsung menjebloskan adik Anda, dengan tanpa penyelidikan lebih lanjut? Lagipula, setahu saya, bukti-buktinya pun tidak terlalu kuat bukan?"
"Ya. Hasil autopsi Ariana tidak pernah dikeluarkan. Begitu juga keadaan mobilnya. Bahkan beberapa CCTV yang seharusnya menyala, pada saat kejadian ternyata tidak berfungsi. Semuanya aneh. Baik sebelum maupun setelah kejadian. Seolah-olah telah direncanakan."
"Menurut Anda, siapa yang memiliki cukup kekuasaan untuk dapat melakukan semua itu?"
Rosy menelan ludahnya. Matanya melebar. Tuduhan ini cukup serius.
"Keluarga Haliman... Tapi untuk apa? Untuk apa mereka menjebak Rein?"
"Tujuannya saya memang tidak tahu. Tapi dari seluruh keluarga Haliman, menurut saya hanya Damian Bale yang mampu melakukannya."
Nafas wanita itu mulai terasa sesak saat ini.
"Kenapa dokter berfikiran begitu?"
"Karena adik Anda dijebloskan ke dalam penjaranya. Dan kalau Anda mau tahu, sekarang di depan ruang perawatan adik Anda, telah ditempatkan dua orang penjaga khusus di sana."
Mendengar penjelasan yang membingungkan itu, Rosy memijit pelipisnya yang terasa sakit.
"Sebentar dokter. Saya masih belum paham, kenapa Damian Bale harus menjebak Rein dalam kecelakaan Ariana? Apa untungnya? Meski akhirnya Rein sekarang berada di penjaranya, tapi apa tujuannya? Antara Rein dan keluarga Haliman, hampir tidak ada kaitannya. Kenapa dokter sampai berfikir sejauh itu? Lagipula, dengan adanya penjagaan untuk adik saya, berarti hal ini bertentangan dengan asumsi dokter tadi, kan?"
Si dokter terlihat menelan ludahnya.
"Saya sudah bilang tadi, saya tidak tahu tujuan mereka. Mungkin saja fikiran saya yang terlalu jelek. Tapi saya minta, agar Anda mau memikirkan kembali tawaran saya kemarin. Mungkin sebaiknya Anda menyewa seorang profesional untuk menjaga adik Anda saat ini."
Kata-kata si dokter terdengar janggal di telinga Rosy. Dari kemarin, dokter kurus ini berusaha meyakinkannya untuk menggunakan jasa orang itu. Meski ada perkataannya yang mungkin dapat diterima oleh nalarnya, tapi upaya si dokter untuk mempengaruhinya ini mulai terasa mengganggu dan menggelitik kecurigaan wanita itu.
"Bagaimana? Saya bisa membantu Anda untuk menghubunginya-"
"Tidak."
Rosy langsung memotong tajam, dan membuat pria di depannya terdiam.
"Sudah saya katakan kemarin dokter, saya tidak akan melakukannya."
"Kalau boleh saya tahu, kenapa?"
"Karena saya telah memilih untuk mengambil jalan damai dengan Damian Bale. Meskipun status kebebasan adik saya memang masih belum jelas saat ini."
Dokter itu terdiam, dan kembali bertanya hati-hati.
"Apa yang telah Anda berikan padanya?"
Bibir Rosy hanya sedikit menyunggingkan senyum samar.
"Yang pasti sangat menguntungkan kedua belah pihak."
Keluar dari mulut harimau, hanya untuk masuk ke mulut buaya.
Tapi setidaknya, ia tahu kalau buaya yang sedang dihadapinya adalah orang yang memang berkuasa dan cukup dapat diandalkan. Adanya tambahan orang yang menjaga adiknya, adalah salah satu bukti kalau suaminya telah menepati janjinya. Sekarang, Rosy mulai meragukan kalau suaminya adalah pelaku pemukulan itu.
Ia memang baru tinggal selama dua hari dengannya, tapi sepertinya Damian bukanlah orang yang suka berbohong. Pria itu terlihat seperti lelaki yang cukup jantan untuk menjaga omongannya. Sepertinya aneh, kalau orang yang telah menjadi dalang pemukulan adiknya adalah orang yang juga sedang menjaganya saat ini.
Namun, Rosy sadar kalau ia tidak punya kemampuan membuka kebenarannya. Hal yang bisa dilakukannya sekarang adalah semakin mendekati musuhnya, dan berusaha mengetahui intensi pria yang telah menjadi suaminya itu.
"Anda yakin, Nona? Saya hanya tidak mau-"
"Saya yakin, dokter. Untuk saat ini."
"Baiklah kalau memang Anda sudah mengambil keputusan. Sebaiknya Anda bersabar. Semua pasti ada jalan keluarnya."
Rosy kembali mengangguk, dan ia memaksakan seulas senyum di wajahnya. Meski tidak yakin kalau suaminya adalah pelakunya, tapi bukan berarti ia tidak mencurigai keterlibatan Damian dalam keseluruhan skenario keluarga Haliman. Pria itu tiba-tiba saja muncul dan memaksa untuk masuk dalam kehidupannya. Entah apa maksudnya.
Hatinya dipenuhi oleh kobaran api kemarahan saat ini. Kemarahan pada suaminya sendiri. Rosy membutuhkan tempat pelampiasan, dan hanya lelaki itulah yang ada di pikirannya.
"Ya. Semua pasti ada jalan keluarnya. Sekali lagi terima kasih dokter, sudah berusaha untuk menolong saya. Untuk saat ini, saya memilih mengambil jalur lain untuk membantu Rein."
Dokter muda itu hanya mengangguk pelan. Raut kalah terpatri jelas di wajahnya.
"Saya tidak bisa memaksa Anda. Tapi tolong segera datanglah pada saya, kalau Anda masih menginginkan bantuan itu. Saya akan menyimpannya untuk Anda."
"Saya akan mengingatnya, dokter."
Aku akan mengingatnya, tapi jangan harap akan menerimanya.
Sepeninggal Rosy, telepon di meja dokter muda itu berbunyi.
"Dengan dr. Charles Kristian."
Entah apa yang telah disampaikan oleh orang di telepon, tapi muka pria itu memucat.
"Baik. Saya mengerti. Saya akan ke tempat Anda sekarang."