Bab 10 - Is he a b**m?

2201 Words
Waktu sudah menunjukkan angka 19.00 ketika Rosy selesai menyiapkan makan malam. Tubuhnya lelah dan benaknya masih dipenuhi oleh amarah saat mengingat pertemuannya dengan sang dokter tadi sore. Ia memutuskan untuk berendam dan menghidupkan aroma terapi di kamar mandi untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Akan butuh kepala dingin untuk menghadapi pria tanpa ekspresi itu. Saat berendam, matanya nyalang menatap langit-langit kamar mandi. Ia tahu lelaki itu menikahinya karena tubuhnya. Tapi tujuan besarnya masih tanda tanya. Tanpa menikahinya pun, Damian dapat dengan mudah mendapatkan perempuan mana pun. Banyak wanita yang jauh lebih seksi dan lebih cantik dibanding dia. Kenapa mesti dia? Apa karena posisinya lemah? Karena Rein? Menjadikannya sebagai b*neka s*ks yang tanpa resiko? Pria itu pasti tahu kalau Rosy tidak akan menuntut apapun padanya. Pemikiran ini membuat matanya memanas. Sekali lagi, ia diingatkan kalau ia telah menjadi seorang p*lacur. Ia adalah wanita m*rahan, yang bahkan tidak meminta bayaran. Membasuh wajahnya, Rosy semakin menenggelamkan diri ke bathtub dan menutup matanya. Ia berusaha berkonsentrasi dengan harum aroma terapi yang dipasang dan fokus pada keheningan suasana malam di telinganya. Menarik nafas dalam, perlahan pikirannya mulai tenang dan nafasnya terasa ringan. Matanya mulai memberat. Ia baru akan terlelap dalam tidur ayamnya ketika merasakan sentuhan lembut di tubuhnya. Membuka matanya, Damian ternyata sudah datang dan sedang berjongkok di sisi bathtub. Satu tangan pria itu memainkan asetnya yang menyembul di permukaan. Kedua mata birunya telihat lebih gelap, menandakan pupil pria itu yang telah membesar. Saling bersitatap, pria itu berdiri dan membuka jas serta kemejanya di hadapan isterinya. Mata Rosy tidak berkedip melihat pemandangan tubuh polos pria yang sangat indah dan terpahat sempurna di depannya. Suaminya menanggalkan celana panjang dan juga pakaian dalamnya begitu saja di lantai. Dia memang ganteng. Badannya juga bagus. Aku baru sadar sekarang. Aku yakin, banyak wanita di luar sana yang menginginkannya di tempat tidur. Kenapa dia mesti memilihku? Dengan hati-hati, Damian memasuki bathtub untuk bergabung dengan isterinya. Mereka duduk berhadapan dan saling menatap dalam diam. Posisi tubuhnya sedikit membungkuk, memperlihatkan bisepnya yang terlatih dan terbentuk indah. Menggigit bibir bawahnya, Rosy sangat ingin menghukum suaminya. Tidak ada ruginya sedikit menyakiti pria itu, mengingat ia juga pernah disakiti secara fisik saat mereka pertama kali berhubungan. Jika memang perlu, ia akan menggunakan reaksi Damian sebagai amunisinya nanti di pengadilan. Kalau memang lelaki itu melakukan KDRT padanya. Adrenalin wanita itu mulai terpompa cepat. Ia sangat tahu resiko yang akan didapatnya, bila reaksi suaminya seperti perkiraannya. Kekuatan lelaki itu bisa saja membuatnya kehilangan nyawanya. Tapi saat ini, ia sudah tidak memiliki apapun kecuali adiknya. Dia rela menukarkan dirinya, bila itu memang bisa membuat pria ini dipenjara menggantikan adiknya. Tubuh lelaki itu perlahan mulai condong ke arahnya, ketika tiba-tiba Rosy mendorong d*da keras suaminya dan punggungnya pun membentur sisi bathtub di belakangnya. Kedua mata Damian melebar, tampak kaget dengan perilaku isterinya yang agresif. Kau mungkin ganteng, Damian. Kau juga punya banyak uang dan kekuasaan. Tapi, bukan berarti kau bisa berlaku seenaknya! Kau akan lihat, kalau aku bukanlah wanita yang lemah! Sebelum pria itu tersadar dari kekagetannya, salah satu tangan Rosy segera menggenggam erat senjata suaminya di bawah air. Benda itu terasa panas dan telah sedikit menegang. "Ugh!" Meski pengetahuannya terbatas, tapi Rosy bukanlah wanita yang sepolos itu. Ia tahu kalau hal yang sedang dilakukannya saat ini merupakan salah satu cara untuk memuaskan seorang lelaki. Hanya saja, ia memang belum bisa membayangkan sejauh mana r*ngsangan yang dapat diberikannya, karena ini juga pertama kali ia melakukannya. Rosy memperhatikan kedua mata biru suaminya membelalak dan mengerjap dengan cepat. Tubuhnya masih menyender ke belakang dan kedua lengannya memegang sisi bathtub dengan erat. Buku-buku jarinya tampak memutih. Cuping hidung pria itu melebar ketika merasakan tangan isterinya yang sedang beraksi di bawah, membuat nafasnya segera menjadi cepat dan terengah. Mukanya mulai memerah, menjalar ke lehernya. Lelaki itu menatapnya intens, dengan mata birunya yang membuka lebar dan pupilnya tampak membesar. Melihat reaksi Damian, Rosy sadar kalau suaminya sangat t*rangsang dan menyukai hal yang sedang dilakukannya. Memendam amarah, wanita itu semakin mer*mas senjata suaminya kencang sehingga pria itu refleks berteriak. Kali ini, Damian terlihat marah dan baru akan meraihnya ketika Rosy kembali memberikan stimulus konstan pada benda yang masih dipegangnya. Nafas lelaki itu terdengar tercekat, dan dia kembali menyenderkan tubuhnya ke belakang. Kedua alisnya berkerut dalam. Damian menutup matanya erat dan mulutnya terbuka, memperlihatkan deretan giginya yang terkatup rapat. Lelaki itu menggertakan giginya untuk menahan rasa nyeri yang dirasakannya, membuatnya mengeluarkan suara mendesis. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya, kontraksi pada kedua bisepnya terlihat jelas. Urat-uratnya tampak menonjol di lengannya. Rasakan! Sakit, kan? Kau mau memukulku? Ayo. Pukul aku! Pukul aku, s*alan! Dan akan kutuntut kau cerai, sekarang juga! Kalau perlu, b*nuh saja aku, br*ngsek! Wajah pria di depannya awalnya berkerut sakit tapi kepalanya kemudian menengadah ke pinggiran bathtub di belakangnya, menandakan suaminya mulai merasakan kenikmatan dari kesakitan yang diterimanya. Kedua tangannya terkulai di sisi tubuhnya. Pria itu sama sekali tidak menunjukkan perlawanan atas perlakuan isterinya yang cukup kasar. Pemandangan ini di luar ekspektasi Rosy. Bukannya melakukan kekerasan padanya, pria itu malah terlihat pasrah dengan perlakuannya. Salah satu tangan Rosy membuka sumbatan air di bawahnya, yang perlahan akhirnya mulai memperlihatkan pemandangan di depannya. Matanya terbuka lebar ketika melihat betapa besar dan berurat benda yang sedang dipegangnya. Ini adalah pertama kalinya ia melihat dan memegang langsung aset yang sering dibanggakan oleh para lelaki. Kedua pipinya memerah malu menyadari perilakunya yang tidak senonoh pada suaminya. Keberaniannya mulai menyurut saat telapakannya merasakan hawa panas dan denyutan dari benda hidup itu. Melirik suaminya yang terlihat pasrah dan tidak berdaya di depannya, membuat nurani Rosy sedikit terketuk. Apakah dia sudah keterlaluan? Rosy tahu jika terlalu lama menyiksa suaminya, pria itu dapat membalas dendam padanya dan itu bisa melalui adiknya. Ia tidak bisa berlaku agresif secara terang-terangan, karena suaminya akan menjadikannya senjata untuk lebih menyakiti dirinya nanti. Menelan ludahnya, ia pun akhirnya menunduk dan memasukkan benda itu ke mulutnya. Ia melakukannya seperti awal mereka berhubungan namun kali ini, wanita itu menggunakan gigi-giginya untuk sedikit menyakiti pria di bawahnya. Ia masih ingin memancing perilaku kekerasan dari suaminya sendiri. Pria itu segera tersadar dari kenikmatan yang dirasakannya, dan membuka matanya lebar. "Akh! Ro... sy..." Damian sedikit bangkit dan kedua tangan pria itu memegang lengan atas isterinya, berusaha membuat wanita itu melepaskan benda yang ada di mulutnya. Tapi semakin kuat pria itu berusaha menariknya, membuat Rosy pun menjadi semakin kuat menghisapnya. Tangan wanita itu mencengkeram kedua paha suaminya yang berotot. Ayo! Pukul aku br*ngsek! "Ah... Ah..." Suara Damian yang berat terdengar bergetar. Lagi-lagi hal yang dilakukan Rosy bukannya membuat suaminya memukulnya. Pria itu malah mendapatkan kenikmatan darinya. Tubuh lelaki itu terasa mulai gemetar. Pada akhirnya, pria itu menyerah dan kepalanya menengadah tinggi. Ia tidak mampu mencegah dirinya untuk menyemburkan benihnya dengan kuat di mulut isterinya. Cairan yang dikeluarkannya cukup banyak, sampai Rosy tidak mampu menampung di mulutnya. Wanita itu merasakan tubuh Damian yang gemetar hebat di bawahnya. Ugh! Jangan muntah! Jangan muntah! Melihat pria di depannya telah terkulai dengan lemas di dalam bathtub, wanita itu bangkit dari duduknya. Ia pun segera membersihkan mulutnya di wastafel, sambil menahan rasa mual di perutnya. Kedua matanya berair dan ia merasakan putus asa di hatinya. Rencananya berantakan dan gagal sama sekali. Mengenakan jubah mandinya, wanita itu menatap suaminya yang menatap balik padanya. Lelaki itu masih tergolek di dalam bathtub. Pandangannya terlihat sayu, dan kedua pipinya memerah. Pria itu terlihat sangat puas. "Lebih baik Anda segera mandi. Makan malam telah siap di meja makan." Tanpa menunggunya menjawab, Rosy segera keluar dari kamar mandi dan menutup pintunya pelan. Ia menghela nafas dalam ketika mengingat perbuatannya tadi. Betapa inginnya dia langsung menyakiti pria itu dan bila perlu memb*nuhnya, jika tidak teringat pada Rein. Menahan tangisnya, Rosy segera menuju ruangan ganti dan mengenakan pakaiannya. Ia baru saja menyajikan segelas air putih hangat, ketika suaminya akhirnya keluar dari kamar tidur mereka. Masih terlihat sisa rona merah di kedua pipi Damian ketika keduanya saling menatap tanpa sengaja. Rosy masih berdiri dengan kaku, dan membawa piring bersih di tangannya. Ia menunggu sampai suaminya duduk di kursinya. "Apa yang ingin Anda makan?" Tanpa menatap isterinya, Damian menunjuk beberapa lauk yang ingin dimakannya. Selama beberapa menit mereka makan dalam diam, sampai suatu saat terdengar suara berat suaminya yang bertanya pada isterinya. "Apa saja yang kau lakukan hari ini?" Menengadah, Rosy memandang Damian yang ternyata telah habis memakan makanan yang ada di piringnya. Pria itu terlihat memandangnya dengan tatapan yang aneh kembali. Dia mengajakku bicara? Setelah kejadian tadi? Meletakkan sendoknya dan meminum air untuk membantu makanannya turun ke perutnya, Rosy akhirnya sedikit menceritakan kegiatannya seharian itu. Kembali ia merasakan tatapan aneh Damian ketika ia menceritakan kunjungannya ke dokter kandungan. Tapi ekspresi lelaki itu yang kaku, membuatnya sulit membaca maknanya. Melihat suaminya hanya mengangguk setelah selesai mendengarkan ceritanya, Rosy pun mengungkapkan pertanyaan yang sama untuk suaminya sebagai bentuk sopan santun. "Bagaimana denganmu? Harimu menyenangkan?" Raut suaminya berubah ketika isterinya menanyakan hal itu padanya. Mukanya sedikit cerah. Tapi, ia kemudian terlihat ragu-ragu saat menjawab. "Biasa saja." Tanpa bisa dicegah, Rosy terkekeh mendengar jawaban suaminya. Menyadari kesalahannya, ia pun segera menutup mulutnya. Ia tidak mau lelaki itu sampai tersinggung. "Maafkan saya." "Tidak. Kenapa kau tertawa?" Kenapa? Dia tidak marah? Menatap pria di depannya, Rosy mencoba mencari jejak-jejak kemarahan di raut suaminya dan tidak menemukannya. Meski aneh, tapi ia merasa lega dan akhirnya dengan hati-hati berusaha memberikan penjelasan. "Dulu, adik saya terbiasa mengatakan kalau harinya 'biasa saja' yang menandakan, kalau ia sebenarnya mengalami hari yang tidak menyenangkan. Apakah Anda seperti itu juga?" Damian menatapnya sebentar dan akhirnya menggeleng pelan. "Aku tidak bisa membedakan. Sepertinya, hariku selalu biasa saja seumur hidupku." Perkataan suaminya membuat Rosy tertegun. Kembali naluri wanita itu terketuk kencang. Wanita itu dapat merasakan ada sesuatu yang salah dengan pria di depannya. Dan kata-kata berikutnya membuatnya cukup kaget. "Hariku menjadi tidak biasa, semenjak kau ada di sampingku." Hah? Apa maksudnya itu? Lanjutan kata-kata Damian seolah mengungkapkan perasaan cinta pada seorang wanita, membuat hati Rosy campur aduk. Benaknya berputar-putar, mencoba menelaah kembali makna tersembunyi dari perkataan yang disampaikan oleh suaminya. Tidak mau terjebak untuk memiliki perasaan khusus pada pria yang kemungkinan menyebabkan adiknya dipenjara dan menderita saat ini, wanita itu pun akhirnya berdiri dari duduknya. Ia memilih untuk tidak menanggapinya dengan serius. "Sudah malam. Sebaiknya saya segera membereskan makanan ini." Tidak mungkin dia bermaksud untuk 'nembak' aku, kan? Dia kan benci aku, dan juga Rein. Dengan cepat, Rosy membereskan sisa-sisa makanan di meja. Ia berusaha untuk tidak melihat suaminya yang kepalanya tampak sedikit tertunduk mendengar kata-katanya. Sangat jelas, kalau wanita itu berusaha untuk menghindar dari pembicaraan tadi. Dengan kata lain, ia telah menolak pria itu dengan tegas. Dia tidak mungkin kecewa kan? Orang dingin seperti ini? "Aku akan mencuci piring." Pria itu berkata pelan dan akhirnya bangkit dari duduknya. Ia juga mulai membereskan piring-piring kotor dari atas meja. Tanpa bersuara, Damian mencucinya di wastafel. Curi-curi memandang punggung suaminya, Rosy sedikit menggigit bibirnya. Ia jadi yakin kalau lelaki itu memang kecewa karena ia tadi tidak memberikan tanggapan. Kenapa? Kenapa dia mesti terlihat kecewa? Apa yang pria itu harapkan? Apa dia mengharapkan dirinya akan suka pada lelaki yang telah memporak-porandakan kehidupan keluarganya? Bagi Rosy, yang terpenting adalah adiknya. Wanita itu sama sekali tidak mau terlibat dengan kehidupan Damian yang sama sekali tidak pernah mau diketahui dan juga dikenalnya. Setelah semuanya beres, Rosy pamit masuk ke kamar dan melihat suaminya masuk ke ruang kerjanya. Entah apa yang dikerjakan oleh pria itu hingga tengah malam tiap harinya. Berusaha menahan diri untuk tetap memberikan batasan pada Damian, Rosy pun menyusup ke dalam selimut dan menutup kedua matanya. Entah mengapa, pembicaraan di meja makan tadi sedikit mengganggu pikirannya. Mau tidak mau, wanita itu jadi lebih bertanya-tanya mengenai kehidupan seorang Damian Bale sebenarnya. Tanpa diinginkannya, ia semakin penasaran dengan lelaki itu. Awal mereka berjumpa di kantornya, Rosy merasakan rasa tidak suka yang besar pada pria arogan dan menyebalkan itu. Tapi entah kenapa sejak menikah dan tinggal dengannya, sifat suaminya semakin tidak mirip dengan karakter yang ditampilkannya ketika itu. Meski baru beberapa hari menjadi isterinya, tapi Rosy mulai mengira-kira mengenai sifat asli suaminya. Apakah seperti kesan pertamanya, ataukah justru kesan itu hanya untuk menutupi sifatnya yang sesungguhnya, seperti yang ia tampilkan setelah menikah dengannya? Benak wanita itu yang berfikir keras akhirnya membuatnya lelah, dan ia pun tertidur. Malam itu ketika terbangun, ia kembali menemukan suaminya yang telah tertidur pulas di belakangnya. Kepalanya bersender di punggungnya dan salah satu kakinya menimpa kaki wanita itu di dalam selimut. Hal yang mungkin sedikit berbeda, salah satu tangan suaminya mencengkeram pakaian tidurnya. Posisinya seperti anak yang takut kehilangan ibunya. Kemarin, dia tidak seperti ini. Perilaku suaminya menurut Rosy cukup aneh. Tadinya ia berfikir, seorang pria akan tidur dengan memeluk isterinya. Itu pun jika pasangan tersebut saling mencintai. Paling tidak, tadinya wanita itu menyangka kalau suaminya akan tidur terlentang atau membelakanginya, seperti yang ia lakukan selama ini. Tapi tidak seperti yang dilakukan lelaki itu sekarang. Ia kembali memandang suaminya. Raut pria itu terlihat sangat tenang dalam tidurnya. Pernikahan macam apa yang sedang dijalaninya sekarang? Menghela nafas, Rosy kembali ke posisinya semula dan matanya terlihat nyalang memandang salah satu dinding kamar. Tidak berapa lama, keheningan dan juga kehangatan yang menguar dari belakangnya membuat tubuh wanita itu menjadi rileks kembali. Menutup kedua matanya, akhirnya ia berusaha untuk melanjutkan tidurnya lagi. Kuatkan aku, Tuhan. Kuatkan aku, dan juga Rein. Setelah merapalkan doanya dalam hati, wanita itu pun kembali tertidur dengan lelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD