Happy Reading ...
------------------
"Ada apa ini?" tanya Safir mencoba memisahkan dua orang yang saling tarik menarik rambut.
Dareh terkejut melihat kehadiran Safir di tempat itu.
"Cukup! Hentikan!" Hardik Safir, menarik Ruby ke belakangnya. Ruby tersentak melihat Safir di tempat itu.
"Kakak." gumamnya.
"Sialan lo! Dasar cewek murahan. Lo nggak bisa cari cowok, sampai nyuri pacar gue?" Sembur gadis itu masih berusaha meraih Ruby di belakang punggung Safir.
"Pacar lo yang mana? t***l nih cewek." Sahut Ruby dari belakang Safir.
"Cukup Ruby!" Bentak Safir.
"Dia duluan yang jambak Ruby ..." ucapnya memukul punggung Safir kesal. "Ruby nggak kenal dia." lontarnya geram.
Mata Safir berkilat tajam ke arah Dareh. Pemuda itu segera memalingkan wajah.
"Kau tidak ingin menjelaskan apa yang terjadi disini?" Hardik Safir pada Dareh, membuat semua orang menatap ke arah mereka.
"Dia bukan Jasmin. Kau salah orang bodoh!" Kesal Dareh pada gadis itu.
Ruby tercengang dari balik punggung Safir begitu juga dengan gadis yang melabrak Ruby. Gadis itu kekasih Dareh yang salah paham.
Safir masih melempar pandangan tajam pada Dareh. "maaf Ruby, sampai jumpa di kampus." Dareh menarik tangan pacarnya keluar dari kafe.
Sialan nih si Dareh. Jadi selama ini Jasmin selingkuhan dia? Benak Ruby, memerhatikan Dareh menarik tangan gadis itu sambil mengomel-omel.
"Kakak sudah mengingatkan kamu supaya nggak bergaul dengannya." Ketus Safir menarik tangan Ruby meninggalkan tempat itu. Melupakan Berlian yang sejak tadi jadi penonton dari meja nya.
"Jadi dia adik ipar Safir?" tanya Berlian pada dirinya sendiri. Senyum kecut muncul di bibirnya. Dibandingkan dengan dirinya. Adik Ipar Safir masih kalah jauh di bawahnya.
"Aku yakin Safir pasti kecewa dengan permintaan mendiang istrinya." Gumamnya dalam hati seraya mengulum senyum.
••••
"Lepasin tangan Ruby, kak." Ruby menarik tangannya dari cekalan Safir.
"Kamu ngapain disini?" tanya Safir.
"Main."
"Di jam segini?" Selidik Safir, menyipitkan mata.
Ruby berdecak, "bukan urusan kakak juga, kan?" Ketus Ruby, melengos meninggalkan Safir.
Safir menarik tangan Ruby dan membalikkan tubuh gadis itu menghadapnya.
"Aoh …" Pekik Ruby kepalanya menghantam dαda Safir.
"Ikut kakak." ucapnya bernada perintah.
"Nggak mau! Ruby masih ke kampus." Tolak Ruby, menarik tangannya lepas dari Safir.
"Kampus? Nggak yakin aku. Daripada kamu keluyuran mending Ruby ikut kakak pesan gaun pengantin." Safir menyeret Ruby menuju mobilnya terparkir.
"Ruby nggak mau! Kamu aja sendiri." Tolak Ruby ketus.
Safir buka pintu mobil. Memaksa gadis itu duduk di kursi penumpang depan.
"Gaun untuk kamu Ruby!" Lekas Safir menutup pintu kemudian mengitari depan mobil menuju sisi pengemudi.
"Seat belt." ujar Safir sembari menghidupkan mesin mobil. Ia melirik Ruby yang duduk disampingnya. Gadis itu memalingkan wajah dengan muka murung ke arah jendela mobil.
Safir berdecak, ucapannya diabaikan. Tiba-tiba ia mencondongkan badannya ke arah Ruby. Membuat gadis itu terkesiap.
"M-mau ngapain?" Ruby menahan nafasnya sembari memandang Safir gugup.
Safir berdecak, tangannya menarik tali sabuk pengaman, lalu memasangkannya.
Ruby menelan salivanya. "Kenapa? Pikiranmu pasti aneh." Safir menarik sudut bibirnya melihat wajah gugup Ruby. Ia kemudian memasang sabuk pengaman miliknya lalu mengemudikan mobilnya membelah jalanan kota yang tampak ramai.
"Astaga…" Safir ingat Berlian yang ia tinggalkan di kafe. Ia melirik sebentar gadis di sampingnya yang tengah sibuk memainkan ponsel.
Safir menggelengkan kepala membawa pandangannya lurus ke depan, menginjak pedal rem mobil saat lampu lalu lintas menyala merah.
Safir mengambil ponsel dari saku celana, kemudian menghubungi Berlian. Ia menelengkan kepala, menjepit ponsel di antara bahu dan lehernya.
"Halo Fir," sapa Berlian dari mobilnya. Gadis itu juga dalam perjalanan menuju pulang ke apartemennya.
"Erli, sorry aku balik duluan dan nggak pamit." Safir merasa tidak enak hati.
Ruby menangkap pembicaraan Safir sembari memainkan game dalam ponselnya.
"Tidak apa-apa, tapi, sepertinya kau harus menjelaskan kenapa pergi begitu saja."
Safir terkekeh, " Kau pasti menyaksikan pertunjukan tadi. Sedikit memalukan memang." Safir menyindir Ruby.
Ruby tidak peduli.
Tawa Berlian terdengar renyah lewat ponsel Jati. "Jadi apa alasan kamu pergi dan menarik salah satu dari mereka?" tanya Berlian sengaja mengorek informasi.
Safir mengalihkan pandangannya pada Ruby, kemudian berujar, " Dia adik iparku." katanya.
Ruby menoleh pada Safir hingga tatapan mereka bersiborok. "Oh begitu. Baiklah, aku sedang perjalanan balik ke apart." ujar Berlian.
Safir menarik pandangan dari Ruby. "Aku minta maaf ya, lain kali aku traktir kamu."
"Sungguh? Baiklah aku akan menagihnya suatu saat."
"Oke,"
Safir menyudahi pembicaraan mereka. Ia menginjak pedal gas mobilnya saat lampu merah berubah hijau.
Satu jam perjalan menuju tujuan mereka. Butik langganan Intan semasa hidupnya.
Safir mematikan mesin mobilnya, Ia melihat Ruby yang sejak tadi memasang wajah masam.
"By, kamu mau pesan gaun atau kita beli yang jadi?" tanya Safir lembut pada Ruby.
"Terserah, kak." balas Ruby malas.
"Ya sudah kita beli yang jadi aja. Lagipula kakak takut waktunya nggak cukup jika harus pesan."Safir melepas seatbelt nya.
"Kapan pernikahan itu dilaksanakan?" tanya Ruby.
"Kakak daftar tanggal lima belas bulan ini." Safir membuka pintu mobilnya, menurunkan satu kakinya menapak pada tanah. Ia menoleh lagi pada Ruby yang seolah enggan bergerak dari tempat duduknya.
"Ayolah, By. Jangan tekuk wajahmu begitu. Kau ingin pemilik butik berpikiran yang nggak-nggak pada kita? Bantu kakak Ruby, setidaknya saat berhadapan dengan orang-orang jangan tunjukkan ketidaksukaanmu pada kakak." Safir berujar dengan lembut dan memohon lewat tatapannya.
Ruby tidak mengatakan apapun. Namun tangannya bergerak melepas sabuk pengaman, kemudian keluar dari mobil.
"Selamat datang di butik kami, silahkan masuk Mas, Mbak." pegawai butik menyapa di depan pintu masuk. Mengembangkan senyum secerah mentari untuk calon pembelinya.
"Ibu Dewi ada?" tanya Safir pada gadis itu.
Butik ini milik istri teman kerjanya saat di rumah sakit di kota ini.
"Ada di ruangannya, Mas. Mari saya antarkan." pegawai butik membawa mereka menuju ruangan ibu Dewi.
Ia mengetuk daun pintu ruangan itu kemudian terdengar sahutan menyuruh masuk.
Pegawai menekan gagang pintu dan mendorong masuk ke dalam."masuk aja, Mas." pegawai memberi jalan untuk Safir dan Ruby masuk ke dalam ruangan itu.
"Mbak Dewi," sapa Safir.
Dewi mengalihkan tatapannya dari layar laptopnya. "Safir," wanita itu sedikit terkejut, segera beranjak dari tempat duduknya untuk menyambut.
"Silahkan duduk, Fir." ucapnya menunjuk sofa.
"Ayo, By." ajak Safir. Membawa langkah masuk menuju sofa.
"Apa kabar, Fir?" tanya Dewi.
"Puji Tuhan sehat. Mbak dewi bagaimana?"
"Alhamdulillah sehat." Dewi melihat Ruby yang tengah mengedarkan tatapan ke seluruh ruang itu. Desain gaun pengantin yang di gambar dengan pensil dan dipajang pada salah satu dinding. Tampak menarik bagi Ruby.
Beberapa manekin dalam ruangan itu mengenakan gaun pengantin yang indah.
"Ini adik iparku sekaligus calon istri." ucap Safir.
"Oh …" Dewi membulatkan mata. "adiknya mendiang Intan?" tanyanya memastikan.
Ruby menempatkan bokongnya duduk di samping Safir.
"Iya," Safir tersenyum kecil, "By, kenalin, ini istri teman kerja kakak waktu di rumah sakit." Safir mengenalkan Dewi pada Ruby.
Ruby mengulurkan tangan, "Ruby," ucapnya.
"Dewi Rusmiati." ucapnya menerima uluran tangan Ruby.
"Tadi kalau nggak salah denger kau menyebutnya calon istri, ya?" tanya Dewi melihat ke Safir.
Safir terkekeh, "iya." ucapnya jelas.
Dewi mengangguk, paham. "Tentu kalian kesini ada tujuan dong?" Dewi memajukan tubuhnya mengambil ponselnya di atas meja.
"Ho'oh, butuh gaun untuk pengantin kecilku ini." Safir menepuk puncak kepala Ruby.
"Boleh, sebentar ya." Dewi menghubungi pegawainya lewat ponselnya.
Ruby mencebikkan bibirnya saat Safir tersenyum padanya.
"Bawakan dua gelas kopi untuk tamu saya dan jangan lupa kudapannya, ya." ucap Dewi lewat ponselnya. Kemudian ia memutus sambungan teleponnya dan meletakkan ponsel di atas meja.
"Mmm, Ruby punya konsepnya?" tanya Dewi.
"Nggak ada, Mbak. Gaun jadi aja." jawab Ruby.
Dewi melihat pada Safir, "Iya Mbak, Wi. Soalnya waktu pernikahan kami tinggal tujuh hari lagi. Jadi kita sepakat pilih gaun jadi aja."
"Oh, begitu. Pantesan. Gaun mendiang istrimu aja harus pesan dari jauh-jauh hari, masa untuk gaun nikah milih yang sudah jadi. Kenapa nikah buru-buru?" tanya Dewi.
"Aku bosan menduda, Mbak." seloroh Safir, dibarengi kekehan renyah.
"Dasar kamu ini." Dewi berdiri dari duduknya. Meninggalkan Safir dan Ruby sebentar ke meja kerjanya.
"Nanti sepulang dari sini, kita ke toko perhiasan, buat beli cincin pernikahan kita." ucap safir pelan, melirik sebentar apa yang membuat Ruby sibuk dengan ponselnya.
"Umm," balas Ruby sekenanya, tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponselnya. Ia bertukar pesan dengan Jasmin membahas tentang Dareh.
"Jangan main handphone terus, By."
"Lalu main apa? Bosan." Ruby mematikan layar ponselnya.
Dewi datang membawakan sebuah buku tebal menghampiri mereka. Ia membuka satu halaman dan menyerahkan pada Ruby.
"Ini semua, sudah jadi gaun dengan tiga ukuran. Coba kamu lihat dan pilih, nanti pegawai saya akan bawakan kesini." ucap Dewi.
Ruby membuka halaman dan melihat gambar tangan Dewi.
"Untuk kamu, Fir?"
"Aku rasa tidak perlu. Pakaian formal banyak di rumah."
"Ya tapi, kan ini untuk menikah, Fir." Sahut Dewi.
Safir terkekeh. "Sama ajalah, Mbak." ujar Safir
Sebuah ketukan terdengar dari luar, "Masuk." sahut Dewi.
Pegawai Dewi membawakan dua gelas kopi dan kudapan di atas nampan.
"Silahkan diminum." ujar pegawai setelah meletakan di atas meja.
"Terima kasih," balas Safir.
"Aku pesan yang ini, Mbak." Ruby menyerahkan buku pada Safir untuk kemudian diberikan pada Dewi. Safir menyerahkan pada pemilik buku.
"Sebentar saya minta pegawai ku membawanya." ujar Dewi, kemudian menghubungi pegawainya.
****
Dewi membantu Ruby mencoba gaun di kamar pas, Dewi menandai beberapa bagian yang harus di kecilkan pada gaun itu. Hingga tidak memungkinkan di bawah pulang saat itu juga.
Ruby minta rapikan, dan di kirim ke rumahnya. Dewi setuju.
Safir dan Ruby keluar dari butik.
Tujuan mereka menuju toko perhiasan untuk memesan cincin pernikahan. Namun, perjalan mereka harus gagal karena Safir menerima telepon dari Amber kalau Kristal sakit.
"By, kita pulang aja. Kristal sakit." Safir menginjak pedal gas mobil melaju cepat.
"Ruby ikut pulang ke rumah kak Safir?" tanya Ruby, menoleh pada kakak iparnya.
"Menurutmu bagaimana?" tanya Safir, fokus mengemudi. "Ikut aja."
"Ruby turun aja, kak. Aku langsung balik ke rumah naik taksi online." Tolak Ruby.
"Kamu nggak ikut aja ke rumah?" tanya Safir, berharap.
"Nggak usah kak,"
"Kristal sakit loh, By."
"Sakit juga Ruby bisa apa?" kelu Ruby.
Safir menarik nafas panjang dan mengeluarkan pelan dari mulutnya. Ia kecewa mendengar jawaban Ruby.
"Ya, sudah." Safir perlahan menepikan mobilnya.
"By, seharusnya kau peduli dengan Kristal. Dia alasan utama kita untuk menikah." ucap Safir.
Ruby membuka pintu mobil dan keluar tanpa mengatakan apapun pada Safir.
Safir menginjak pedal gas mobil seraya membuang nafas kasar. Ia melihat Ruby lewat kaca spion duduk di halte.
"Intan, kamu memintaku menikahinya untuk putri kita bukan? Lihatlah, bahkan dia tidak peduli, sayang. Putrimu sakit dan dia tidak peduli. Aku harus seperti apa menghadapi ini?" ucap Safir dalam benaknya. Seketika embun hadir di kedua manik matanya, ia menutup sekejap kelopak kedua matanya untuk menumpahkan cairan bening yang tertahan di sana.
***
"Kristal kenapa, Ma?" tanya Safir panik, menghampiri ibunya yang tengah menimang Kristal.
"Suhu tubuhnya tinggi. Tiga puluh delapan." jawab Amber.
Amber mengambil Kristal dari tangan Ibunya, meletakkan telapak tangan di kening Kristal.
"Aku telepon dokternya dulu," Safir mengembalikan Kristal ke tangan Ibunya, kemudian merogoh ponsel dari saku celana, untuk menghubungi dokternya Kristal.
"Halo, dokter. Suhu tubuh putri saya tinggi nih, tolong resepkan obat penurun panas untuknya." ujar Safir dari teleponnya.
"Berapa suhu tubuhnya?"
"Tiga puluh delapan, Dok."
"Dari kapan putrinya demam?"
"Ma, dari kapan Kristal panas?" tanya Safir pada Ibunya.
"Sudah satu jam,"
"Satu jam dokter." ujar Safir.
"Oke, untuk obat kurir saya yang akan kirim ke rumah, ya?"
"Baik dokter, saya tunggu, terima kasih." Safir memutus sambungan telepon. Meletakkan ponsel di atas meja.
"Tadi pagi baik-baik aja. Kok putri Papi mendadak sakit, ada apa sayang …?" Safir menoel-noel pipi Kristal dalam gendongan Ibunya.
"Kamu bukannya bareng sama Ruby?" tanya Amber.
"Iya, Ma. Beli gaun untuknya."ucap Safir dengan wajah malas.
"Kenapa malas gitu wajahnya, Fir?" tanya Amber menyadari wajah malas putranya.
Safir membuang nafas kasar. "Nggak apa-apa, Ma." Safir melepas kemeja yang ia kenakan dan menggantinya dengan kaos kasual.
"Aku makan sebentar, Ma."
"Ya sudah sana. Kristal biar mama yang urus."
Di tempat lain Ruby memilih berkunjung ke rumah Jasmin. Mereka duduk di karpet berbulu lembut.
"Lo nggak takut Dareh selingkuh?" tanya Ruby. "karena yang gue tahu. Selingkuh nggak ada obatnya. Dareh akan terus bosan ama pasangannya dan mencari yang lebih segar." ujar Ruby.
"Nggaklah." jawab Jasmin tanpa melepas pandangannya dari komik yang ia baca. "kalau dia selingkuh ya gue balas selingkuh juga kali, By." sambungnya. "Jadi impas."
Ruby merinding mendengarnya, "kalian berdua pasangan aneh. Lo juga dah sering w*****k dengannya." gumam Ruby.
"Sstt," Jasmin meletakkan jari di bibirnya. "jangan bahas itu disini. Ntar ada yang dengar." sambung Jasmin.
Ruby menarik bantal dari pelukan Jasmin, kemudian ia berbaring tengkurap di samping Jasmin seraya memainkan ponselnya.
"Lo nggak rugi w*****k dengan cowok yang belum tentu jadi milik lo?" tanya Ruby setengah berbisik.
Jasmin berdecak, "ya kalau dibilang rugi ya jelas rugi, By. Tapi, kan saat kita melakukan itu sudah nggak sadar." ujar Jasmin.
"Nggak sadar gimana?"
"Ck, udah ah nggak usah bahas masalah kehidupan gue."Jasmin kembali sibuk dengan komiknya. "kapan lo nikah?" tanya Jasmin.
"Tanggal lima belas,"
Jasmin melepas buku dari pandangannya, " lima belas kapan? Bulan ini?" tanya Jasmin penasaran.
"Bulan ini." Ruby mendengus, wajahnya berubah sedih.
"Tapi, kakak ipar lo tampan tau,"
"Lee Min Ho juga ganteng Jasmin, tapi gue nggak fans sama dia."
"Ya maksudnya, lo nggak rugi nikah sama kakak ipar lo. Selain tampan, duitnya juga banyak. Kalau gue jadi lo, nggak bakalan gue tolak. Serius."
"Itu kan lo, bukan gue."
"menurut gue, kakak lo dah baik banget mewariskan suami untuk lo."
"Dih, sialan banget sih lo, ngapain jadi bahas gue sih. Pokoknya gue nggak suka sama dia. Sekalipun dia sultan dan wajah tampan kayak …"
"Song Weilong." sahut Jasmin.
"Siapa itu?"
"Aktor tiongkok. Kakak lo mirip dengan aktor itu. Tinggi langsing dan hidungnya mancung menggoda." tutur Jasmin.
"Sekalipun dia mirip dengan aktor itu gue tetap nggak tertarik. Gue cuma tertarik dengan Topaz." sahut Ruby.
Topaz, mengingat nama itu Ruby menjadi sedih. "gue bener-bener putus dari dia, Jasmin." ucapnya lirih.
Jasmin bangun dari baring nya, duduk menepuk bahu Ruby pelan.
"Sudah By, lagian belum tentu kalian jodoh. Hubungan masih seumur jagung aja pake ditangisin." kata Jasmin.
"Seumur jagung tapi, penuh kenangan, Jasmin. Topaz juga sopan ke gue. Kalau bukan karena permintaan konyol Intan, gue yakin bakalan jodoh sama dia." gumamnya malas. Ia berdecak saat melihat ponselnya bergetar. Kalimaya menghubunginya.
"Halo, Ma?"
"Dimana, By? Belum pulang dari kampus? Ini sudah sore."
"Aku di rumah Jasmin."
"Pulang!" teriak Kalimaya,menyakiti telinga Ruby.
"Iya, ntar."
"Sekarang!"
Ruby segera mematikan ponselnya, mengucek telinganya terasa penuh oleh suara Kalimaya.
"Nyokap lo?" tanya Jasmin.
"Umm, dia nggak pernah suka sama lo."
Jasmin terkekeh," takut kali gue menyesatkan lo." ucapnya santai.
"Gue balik ya. Gue takut dia nyusul kesini."
"Ya sudah sono. Lagian ya By, lo beruntung punya nyokap bokap yang perhatian. Gue? Lo tahu sendirilah." ujar Jasmin.
Ruby menipiskan bibir saat melihat wajah sendu Jasmin. Jasmin anak haram oleh papanya dari selingkuhannya. Ibu kandungannya memilih merantau ke negara Belanda dan menitipkannya ke panti asuhan.
Dua tahun kemudian Papa kandung Jasmin mengetahuinya keberadaan Jasmin di panti asuhan. Ia membawa pulang Jasmin ke rumah istri sah.
Jasmin selalu diperlakukan berbeda di rumah besar itu, hingga ia mencari kesenangan di luar untuk menghibur dirinya sendiri.
"Uda sana pulang. Nggak usah ngeliatin gue kayak gitu." usir Jasmin.
Ruby mengedikkan kedua bahu, "gue balik ya." pamitnya. Meninggalkan kamar Jasmin.
.....
See you tomorrow.