Episode 2

2111 Words
“Lihatlah, dia berjalan sambil menenteng tas berat itu. Aku yakin isinya tak lebih dari buku-buku payah dan juga alat-alat aneh. Apa kalian tak takut jika dia membawa senjata tajam masuk ke dalam sekolah ini?” Ujar bisik salah satu murid di lorong gelap dan panjang sekolah. “Ahahahaha. Nyalinya bahkan tak lebih besar daripada senjata yang ia bawa. Jangan khawatir, kau tidak perlu takut oleh orang seperti dirinya... Sudah ayo!” Balas murid dengan menggunakan seragam yang dikeluarkan dari celananya itu sekarang. Dia langsung berjalan menghampiri murid berkacamata itu. “Apa kalian yakin melakukan ini? Maksudku walaupun dia memang pintar, namun aku tidak yakin jika dompetnya tebal...” Balas salah satu dari gerombolan murid yang bertampang kriminal itu sekarang ini. Dia meyakinkan dua orang di sampingnya itu. “Jika dia memang tidak memiliki uang. Tidak apa-apa, seenggaknya kita dapat mengacak-acak tas dan juga mencari tahu isi di dalamnya. Siapa yang tahu bukan kalau ada sesuatu senjata berbahaya di dalamnya?” Mereka bertiga pun lanjut mencoba untuk berjalan. Dengan tampang menyeramkan dan juga bengis, para murid yang berdiri di sana melihat keberadaan mereka tak ingin menatap mereka balik. Seakan-akan tidak ingin ikut campur dalam urusan 3 serangkai yang memiliki penampilan mengerikan itu. Hingga salah satu murid yang lumayan populer di sekolah itu menyadarinya. Dia mencoba untuk berjalan tepat di tengah-tengah hadapan mereka sambil berkata, “Apa pun yang kalian lakukan. Sebaiknya berhenti. Atau aku ak—“ Sebelum dia selesai melanjutkan kata-katanya. Gerombolan murid yang berada di bagian paling kiri, mengecat sebagian rambutnya berwarna merah menarik kerah leher dari orang yang mencoba untuk mencegah mereka tadi. Mendorongnya tepat di dinding dan memukul perutnya sampai air liur keluar dari sana dengan sangat menjijikkan. Rasa sakit dan juga teriakan dari sosok tersebut mulai membuat ketakutan seluruh murid yang berada di sepanjang lorong. Beberapa dari mereka mulai kabur dan tak berani untuk sekedar melihat apa yang hendak terjadi. “Sebaiknya kau diam. Dengan posisimu yang sekarang, kami tidak takut apa pun. Kami akan melakukan sesuatu yang menyenangkan, dan sebaiknya kau ke sana dan tidak menghalangi jalan kami...” Murid yang telah terpukul dengan telak itu pun terjatuh ke lantai sambil memegang perutnya yang kesakitan. Mereka bertiga melanjutkan perjalanan mereka lagi menuju murid kutu buku yang membuatnya terlalu kesal. “Heru, Baz, Bobi, ada apa kalian bertiga repot-repot menghampiriku?” Ujar murid kutu buku itu menyapa ketiga orang berandalan dari kiri ke kanan. Muka yang begitu polos tanpa dosa dikeluarkan oleh murid bertubuh kurang dari 170 cm dan berkacamata itu benar-benar mengesalkan mereka bertiga sekarang. Suasana lorong di sore hari yang nampak sepi karena beberapa murid dan penghuni sekolah sudah pergi meninggalkan kelas mulai membuat ketiga berandalan itu semakin percaya diri untuk melakukan apa yang hendak mereka lakukan kepada murid kutu buku itu sekarang ini. “Kacamata penyok, apa yang kau bawa di dalam tasmu itu? Kau terlihat terlalu susah payah untuk membawanya. Apakah kami bisa membantumu untuk membawakannya sekarang ini?” tanya Heru. Murid dengan tubuh paling besar dan berkepala botak. Dia menyobek kain di lengannya sehingga terlihat seluruh lengan dari ujung atas sampai ke ujung bawah miliknya sekarang ini. “Oh tasku ini. Apa kalian penasaran ingin mencoba untuk melihatnya? Baiklah... akan kutunjukk—“ Murid itu pun menarik tasnya yang berada di punggung menuju ke depan. Membuka resletingnya sehingga semua barang yang ada di dalam terlihat dengan jelas oleh 3 orang yang ada di sana sekarang ini. Namun dengan cepat dan betapa malangnya bocah tersebut, Heru menarik tas itu dari tangan bocah berkacamata dan membaliknya sehingga semua isi dari dalam tas jatuh ke tanah. “Hahahaha! Kau terlalu lama! Sini, biar aku membantumu mengeluarkan semuanya!” Teriak Heru kegirangan. Barang-barang yang jatuh dari dalam tas itu ternyata tidak hanya buku, melainkan ada banyak sekali barang-barang lain yang jatuh dari sana. Dan sebuah botol beling berisi cairan jatuh dari sana membasahi buku yang jatuh terlebih dahulu ke lantai. “Oh tidak! Catatanku! Kalian telah membasahinya dengan asam sulfat!” Bocah itu terburu-buru mencoba untuk mengambil buku catatannya yang telah basah. Tapi sepertinya usahanya sia-sia karena dia semuanya memang sudah terlambat. Catatan itu sudah basah kuyup karena cairan kimia tersebut. “Ini semua salahmu sendiri. Kau telah membawa sebuah barang ilegal di sekolah ke dalam tasmu. Aku telah bekerja sama dengan OSIS, untuk memberikan hukuman kepadamu dengan benar-benar setimpal. Kacamata Penyok, kau harus menuruti perint—“ Baz yang berbicara tampak tak didengarkan dan dihiraukan sama sekali oleh murid yang sedang sibuk menata bukunya itu sekarang ini. Baz terdiam. Dia murid yang paling tampan dan paling pemberani diantara 3 gerombolan itu langsung saja mencoba untuk memberikan isyarat kepada dua temannya melakukan sesuatu yang benar-benar buruk untuk dilakukan. Bobi dengan kaki panjangnya langsung saja menendang kepala dari murid kutu buku tersebut. Tendangannya yang keras membuat bocah itu terjatuh ke belakang dan terpelanting bersama dengan catatan basah ikut menempel ke dalam bajunya. “Kalau Baz ngomong! Dengerin! Jangan sibuk sendiri lo!” Teriak Bobi kepada bocah tersebut. “Namaku adalah Randy Anthony. Aku tidak akan menyahut jika kalian memanggil aku selain nama itu!” Geram Randy, dia sepertinya sudah muak untuk bersikap baik sekarang. Dia mencoba untuk berdiri setelah ditendang dengan sangat keras seperti tadi. Dia menaruh catatannya kembali ke lantai. Memicingkan matanya dan menaruh kacamatanya ke dalam kantung celananya. Walaupun memang tanpa kacamata itu dia tak bisa melihat apa-apa dengan jelas. Bukannya ketakutan, para berandalan itu malah tertawa melihat kelakuan dari Randy yang menjijikkan. Tertawa karena apa yang bocah ini lakukan mirip seperti tokoh utama film-film kartun jepang yang ada di tv saat seseorang menindasnya dengan menjemukkan. Kecuali Baz yang hanya diam memerhatikannya. “Hahahaha... lihatlah bocah ini. Kukira saat seseorang membuka kacamatanya setelah sekian lama setiap hari memakai kacamata akan terlihat keren, namun dia malah terlihat lebih culun dan bodoh!” “Hahahaha... Ya. Terima kasih kacamata penyok, dengan kau melepas benda maskotmu itu, kau malah terlihat lebih berharga untuk kita pukuli dan hajar! Ayo serang kami!” Randy datang sambil berteriak dengan keras. Layaknya seorang prajurit perang mencoba untuk mengeluarkan kata-kata penuh semangatnya. Pukulan Randy pun dilancarkan ke arah kepala Bobi sekarang ini, namun dengan mudah Bobi menahannya hanya dengan satu tangan. “Huh... hanya segini saja? Aku kira kalau kau akan mengeluarkan semacam kekuatan yang berasal dari leluhur atau arwah kuno. Kalau begini, matilah saja karena berani-beraninya memberontak melawan kami!” Bobi membalas pukulan Randy dengan ikut memukulnya dengan sangat bengis sekarang ini. Pukulan Bobi benar-benar menjemukkan sampai-sampai Randy terlempar jauh ke depan menabrak pintu sekolah yang terbuat dari kaca dan juga kanopi-kanopi. Retak sebagian dan tak dihiraukan oleh seseorang. “Bobi... Jangan membiarkan kesenangan itu untuk dirimu sendiri. Kau tahu kan, aku dan juga Baz belum mendapatkan apa-apa untuk sekarang ini. Bisakah kau berbagi kesenangan itu?” Jawab Heru sedikit kecewa dengan Bobi. “Maaf-maaf. Aku benar-benar kelepasan tadi...” Jawab Bobi sambil menggaruk kepalanya. Namun tiba-tiba, Randy mencoba untuk berdiri kembali dengan kaki dan juga lutut yang bergetar. Kepalanya sudah lebam karena pukulan Bobi yang sangat keras tadi. Dengan kedua tangan yang dia genggam, begitu beraninya Randy mencoba untuk menantang ketiga orang tersebut untuk datang kepadanya dan menghantamnya penuh dengan amarah bergejolak. “Ayo! Datang lagi kepadaku! Aku belum melakukan apa-apa kepada kalian!” Jawab Randy dengan begitu nekat. Murid kutu buku tersebut pun menoleh ke belakang, dia merasakan kehadiran beberapa murid mengintip dan juga bahkan beberapa guru di sana ketakutan untuk melerai dan menghentikan gerombolan berandalan tersebut. Di saat itulah, Randy sadar kalau dirinya sendiri lah yang bisa menyelamatkannya. “Hei Bobi, apakah kau merasa kalau pukulanmu tadi tidak terlalu keras? Maksudku, mungkin saja kau telah memukul sesuatu di dalam syarafnya sehingga membuatnya menjadi gila!” Ucap Heru kepada Bobi sekarang ini. “Syukurlah kalau memang dia menjadi gila. Karena aku yakin, semua catatan dan juga otaknya yang telah penuh itu meraung-raung untuk bertahan menjadi sesuatu yang normal. Dan jika dia tidak bisa melakukannya, maka kemungkinan dia adalah orang yang benar-benar kurang waras!” Heru, Bobi, dan juga Baz pun menghampiri Randy sekarang ini. Namun dengan tanpa tedeng alih-alih, Randy mulai berlari dan mencoba untuk memberikan pukulan lemahnya ke arah Heru secara tiba-tiba. Karena merupakan gerakan dadakan, Heru terkena pukulan tersebut yang menyasar ke arah pipinya. “Rasakan itu!” “Kurang ajar!” Merasa gera karena dipermalukan oleh Randy di hadapan kedua orang temannya, Heru memukul perut dari Randy dengan sangat keras sampai-sampai punggungnya membungkuk sekarang ini. Tak berhenti di situ saja, Heru mengambil tubuh Randy dengan keras dan membantingnya ke depan layaknya atlit judo professional. Bantingan itu tentu saja melumpuhkan Randy dengan instan. “Berani-beraninya kau menyentuh wajahku dengan tangan kotormu! Jangan sampai aku merusak seluruh wajahmu hanya karena kau melakukan sesuatu seperti itu ya!” Ucap Heru benar-benar geram. Nafas dari Randy mulai tak teratur. Dia benar-benar merasa kesakitan dan kelelahan secara bersamaan. Dia tak pernah beraktivitas secara fisik sekarang ini. Dan dia, benar-benar bingung harus melakukan apalagi. “A-Apa yang sebenarnya kalian ingin lakukan kepadaku? Apa salahku kepada kalian?” Baz yang sedari tadi tidak melayangkan pukulan ataupun juga serangan kepada Randy mulai bergerak. Dia mulai mencoba untuk mengambil salah satu kertas basah yang ada di dalam tumpukan buku di dalam tas milik Randy sebelumnya. Kertas itu adalah sebuah kertas yang indah berisi tulisan undangan sebuah pesta ulang tahun. Dan di atas surat tersebut, tertulis nama seorang gadis, “Camelia”. “Aku tidak ingin membuang-buang waktuku hanya untuk mengganggu seorang kroco sepertimu. Namun katakan padaku. Darimana kau mencuri pesta undangan ini? Aku tidak akan mengganggumu jika kau berkata dengan jujur...” Ucap Baz dengan muka dingin dan tanpa ekspresi. Dia menunduk dan jongkok ke bawah menghadap tepat ke arah wajah Randy yang kesakitan. Mukanya yang bonyok masih bisa untuk berbicara walaupun nafasnya sudah tak teratur. “Apa itu? Undangan? Ah... milik Camelia. Undangan ulang tahunnya ya? Aku tidak mencur—“ Baz memukul Randy dengan sangat keras ke wajahnya. Lebih menyakitkan daripada yang kedua orang kawannya itu lakukan. “SUDAH KUBILANG! DARIMANA KAU MENCURINYA!” “Aku tidak mencuri itu dari siapa-siapa Ba—“ Baz memukulnya lagi, melalui pipi kiri dan lebam ke sekujur wajahnya. “Aku tidak akan berhenti memukulmu jika kau tidak berkata jujur pula...” “Camelia menda—“ sebelum Randy menyelesaikan ucapannya, pukulan lain dilontarkan oleh Baz ke arah Randy. Pukulan demi pukulan dia lontarkan sampai mungkin bocah itu hampir tak sadarkan diri sekarang. “Baz... mungkin kacamata ini berkata sejujurnya. Dia tidak akan berbohong setelah mendapatkan semua kemalangan itu. Untuk apa dia berbohong hanya untuk mendapatkan pukulan menyakitkan darimu?” “Jadi, apa kau lebih percaya kepada dia, kalau bocah kacamata penyok ini mendapatkan undangan pesta dari Camelia?! Apa kau benar-benar meyakini gadis seperti Camelia mengirimkan undangan kepadanya!” Pungkas Baz geram dan juga marah dengan sangat besar kepada dua kawannya sendiri. Tangan kanan dan kirinya sudah mendidih akibat darah yang bercucuran sekarang ini. Heru dan juga Bobi hanya diam. Dia tak mau menjawab apa pun sanggahan dari Baz. Yang juga menjelaskan posisi dari mereka berdua di dalam kelompok ini. Tapi di saat yang benar-benar genting tersebut, Randy mencoba untuk meraih surat undangan tersebut. Dia menunjuk salah satu tulisan yang ada di sana, dengan jelas mencoba menyuruh Baz untuk membacanya sendiri. “Tidak mungkin! Ini adalah tulisan Camelia sendiri! Dia menulis nama kacamata penyok ini!” Sahut Bobi. Ternyata semua pertanyaannya terjawab sudah. Camelia benar-benar memberikan surat pesta itu kepada Randy. “Apa maksudmu memberi isyarat seperti itu? Kau mau sombong dan mengatakan kepadaku kalau kau berhak untuk masuk ke dalam pesta ulang tahun tersebut?” Jawab Baz kembali dengan nada yang rendah. Dia lanjut memukuli Randy dengan pukulan mautnya. “Aku tahu bagaimana cara kau memandang Camelia di dalam kelas, saat pelajaran olahraga, saat dia maju menyampaikan pidato. Dan dari semua orang anak laki-laki yang melihatnya, kau memiliki tampang paling menjijikkan diantara mereka semua ...” Lanjut Baz, yang juga melanjutkan pukulannya tanpa henti ke arah Randy tak bisa mengeluarkan kata-kata apa-apa karena rahangnya terlalu sakit untuk digerakkan. “Walaupun kau mendapatkan surat tersebut dari Camelia secara langsung, namun bukan berarti kau boleh untuk mendatangi pesta itu. Aku sebagai kekasih dari Camelia, melarangmu untuk datang ke sana...” Jawab Baz, menghentikan pukulannya yang sudah membuang banyak waktunya. Dia pun berdiri, mencoba untuk mengisyaratkan kepada gerombolannya yang lain kalau sekarang adalah waktu yang tepat untuk cabut dan pergi. “Dan jika kau datang ke pesta itu, jangan harap nyawa dan ragamu akan menjadi benar-benar utuh saat di sana. Aku memberikan tanda itu di tubuhmu sekarang ini. Agar kau mengingat rasa pedih yang akan aku berikan jika memang kau tetap bersikeras untuk melakukannya. Sekarang, selamat tinggal pecundang.” Baz pergi dari hadapan Randy, meninggalkan salam berupa air ludah tepat ke arah muka Randy masih terkapar di lantai...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD