Priska Gunawan menyeringai pada adik lelakinya yang tampak tak berdaya di kursinya. Menggelikan bagaimana laki-laki yang digadang-gadang jadi pewaris Guna Group itu baru memulai belajar bisnis di umurnya yang ke-27 tahun. Dia berdalih fokus pendidikan, padahal sebenarnya yang dia lakukan cuma berfoya-foya menghabiskan uang yang dia tidak mengerti bagaimana bisa dihasilkan perusahaan keluarganya.
Saat Gahar menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam, seringai Priska makin menunjukkan kepuasan. Sudah waktunya Gahar belajar kalau segala sesuatu tidak bisa didapatkan semudah asal tunjuk dan agar dia tidak merasa mentang-mentang dia anak laki-laki satu-satunya di keluarga Gunawan, perusahaan ini sudah pasti akan jatuh padanya. Priska akan menunjukkan bahwa yang kompeten lah yang layak menerima pembagian saham terbesar dari ayah mereka.
Sejak dewan direksi menolak pengangkatan Gahar sebagai direktur pemasaran, saat itulah Gahar tahu kakaknya ada di balik semua ini. Baik di rumah atau di mana pun, cuma dia yang selalu iri dengan membawa-bawa gender. Apa saja yang Gahar lakukan selalu salah di mata dia.
"Apa yang kamu katakan sampai mereka semua berani menentang keinginan Papa?" Tuan besar Gunawan juga sudah bisa menebak mengapa mayoritas direksi menolak Gahar, padahal mereka semua tahu Pak Gunawan lah yang mengatur posisi Gahar.
Priska mengendikan bahu enteng. "Karena mereka lihat Gahar tidak kompeten, mungkin?"
"Tidak kompeten?" tanya Gahar memastikan pendengarannya.
Priska memutar bola mata. "Ya udah, belum kompeten," ralatnya terpaksa. "Gini deh, lo udah melakukan apa sampai merasa pantas langsung jadi direktur. Modal kuliah doang mana bisa."
"Bisa," sahut Gahar. "Karena nama belakang gue Gunawan. Perusahaan itu punya Papa.”
Priska tertawa sinis. "Nama belakang gue juga Gunawan, tapi gue belajar dulu dari bawah. Nggak langsung ongkang-ongkang kaki jadi direktur."
"Gue bahkan belum mulai kerja dan lo udah langsung nilai kinerja gue. Kalau mau iri, yang logis lah."
"Nggak cuma gue, semua orang akan mikir begitu. Selain nginep di kantor polisi dua malam, coba pikirin hal membanggakan apa lagi yang udah lo lakukan buat perushaan dan nama baik keluarga Gunawan."
Kedua tangan Gahar mengepal di atas meja, elusan lembut Pricilia, kakak keduanya sama sekali tidak bisa menyurutkan kemarahan Gahar. Berbeda dengan Priska, Pricil tidak teratarik dengan perusahaan. Dia nyaman bekerja di rumah sebagai Ibu rumah tangga.
"Jadi kamu akan menentang keputusan Papa, Ka?"
Gahar mendengus. "Papa nggak seharusnya butuh persetujuan dia."
"Iya, untuk keputusan yang ini," jawab Priska tegas.
"Lalu menurutmu Gahar harus mulai belajar dari mana?"
"Pa!" seru Gahar protes. "Papa nggak butuh pendapat dia."
Tidak ada yang menghiraukan protes Gahar, semua orang penasaran menunggu jawaban Priska. Sebab Priska tidak mungkin menentang sesuatu tanpa solusi alternatif.
"Gahar bisa mulai mengelola satu cabang Guna Mart."
"Hah? Yang bener aja, dong. Lo suruh gue ngelola toko?"
"Lihat, lo bahkan nggak tahu sejarah Guna Group terbentuk tapi mau langsung masuk direksi. Gue kasih tahu, sebelum Guna Group punya 134 supermarket dan 11 hotel, dulu kita itu cuma toko kelontong kecil punya Kakek." Piska berdecak prihatin dengan pengetahuan sang adik. Sejarah perjalanan sukses Guna Group sudah menjadi semacam dongeng sebelum tidur di keluarga mereka.
Priska kemudian berbicara lagi dengan papanya, "kondisi Guna Mart Bali sedang nggak bagus. Sales terus turun dan break age produk sudah nggak wajar, kita masih upayakan lihat perkembangan tiga bulan ke depan. Kalau tidak ada peningkatan sales, kita terpaksa menutup cabang satu-satunya yang kita punya di Bali itu."
"Jadi maksud lo, gue harus ngelola cabang yang tiga bulan lagi bangkrut itu?"
"Kenapa hal sejelas itu saja masih kamu tanyakan? kamu nggak bisa jadi direktur dengan otak selambat itu, Adikku sayang."
"Priska," kali ini Mama menyela. "Kamu bisa bilang baik-baik, nggak perlu sinis begitu."
Priska memutar bola mata. "Inilah hasil didikan baik-baik kalian. Masih manja padahal sudah dewasa. Gahar harus tahu kalau nggak selamanya dunia berputar mengelilingi dia."
Gahar tentu saja tidak terima, dia hampir menggebrak meja, untung Pricilla menahan tangannya. Pricil memberi Gahar sebuah galengan pelan.
"Menurut kamu Gahar bisa melakukannya?"
Priska mengendikan bahu. "Menurutku level store manajer nggak terlalu memalukan buat dia, meskipun sebenarnya dia harus mulai dari jadi staff marketing. Kalau pun dia gagal menyelamatkan cabang Bali, paling tidak ada yang dia pelajari dari pengelolaan sebuah bisnis."
Papa mengurut dagu, tampak berpikir serius. "Priska benar, kamu bisa coba mulai dari sana, Har."
"Pa!"
"Dengar," Papa menyela. "Hanya tiga bulan, berhasil nggak berhasil, kamu akan kembali ke Jakarta."
"Dan aku akan memulai kurirku dengan proyek gagal, begitu?"
"Tentunya akan lebih bagus kalau kamu berhasil," Priska menyahut. Lalu mengangkat dahi dengan pandangan meremehkan. "Tapi tenang aja, kami nggak akan berekspektasi terlalu tinggi. Kami tahu kapasitas kamu seberapa."
Wajah Gahar memerah padam. Selama ini ia tidak pernah peduli ada orang berkata dirinya bukan siapa-siapa kalau bukan beruntung terlahir jadi anak Yusuf Gunawan. Dia tidak peduli mereka mengkritik gaya hidup mewah dan hobinya berpesta pora. Dia tidak menyangka kritikan dan hinaan paling menyakitkan akan keluar dari mulut kakak kandungnya yang selama ini cuek dengan pilihan hidupnya.
"Gue bersumpah. Tiga bulan ke depan, lo akan lihat cabang itu akan hidup lagi."
"Nggak usah terlalu memaksakan diri. Bersenang-senang aja kayak biasanya."
"Nggak usah juga terlalu mengkhawatirkan gue. Gue akan buktikan kalau lo salah meremehkan orang."