Bali.
Tempat ini sudah seperti rumah kedua bagi Gahar. Banyak club asyik untuk melepas penat, serba bebas dan mudah asal punya uang.
Sepertinya ini pertama kalinya Gahar menginjakkan kaki di sini dengan perasaan berat, karena di sini lah hidup dan matinya akan ditentukan. Gahar sudah mempelajari laporan keuangan Guna Mart Bali yang sungguh sangat memprihatiankan, bulan lalu mereka sudah memutus kontak dengan perusahaan outsourcing demi merampingkan anggaran dengan mengurangi karyawan, sekarang karyawan yang tersisa hanya karyawan tetap yang jumlahnya dibawah standar ideal.
Hingga detik Gahar berdiri di depan mintu masuk Guna Mart yang sepi, Gahar belum tahu harus memulai pekerjaanya dari mana. Halaman parkir benar-benar lengang, hanya ada satu mobil terparkir dan beberapa motor. Taman penghias sepertinya sudah lama tidak dirapikan dan hanya disiram seadanya. Baru kali ini ia melihat tampak depan sebuah swalayan sesuram ini.
Gahar memakai masker hitamnya dan turun, sengaja menyamarkan diri agar tidak dikenali. Wajahnya kerap masuk halaman surat kabar, terakhir yang paling ramai adalah sebulan lalu, ketika polisi mengerebek apartemen salah seorang teman wanitanya dan menemukan sabu-sabu. Gahar dibebaskan setelah hasil tes urin dan tes darah menunjukkan tidak ada kandungan narkotika dalam tubuhnya. Namun publik tidak percaya, mereka menuduh dia bisa lolos dari jerat hukum arena uang. Mirisnya, Priska adalah salah satu orang yang tidak percaya itu.
Proyek ini harus berhasil. Gahar harus membuktikan bahwa dia bukan cuma punya hoki lahir di keluarga Gunawan, tetapi juga bisa berguna.
Saat melewati pintu masuk yang dijaga seorang security, Gahar menunggu sapaan selamat datang, tapi security ini masih asyik mengobrol dengan seorang cleaning service.
Jangan kira Gahar ke sini dengan otak kosong. Selain membaca laporan keuangan dia juga sudah mempelajari SOP toko dan karyawan di bagian masing-masing. Di Guna Mart, security wajib menyapa dan mengucapkan terima kasih pada setiap pengunjung yang keluar masuk.
Begitu Gahar masuk, telinganya langsung disambut oleh musik milik Bruno Mars Vercase On The Floor. Sejauh mata memandang lima langkah dari pintu masuk, yang bisa dia lihat cuma seorang customer servuce yang bermain handphone, dua orang kasir yang mengobrol dari pos masing-masing, dan beberapa SPG hanya mondar mandir tidak ada yang dikerjakan.
Gahar mengambil keranjang belanjaan dari tumpukan dan berdecak medapati ada remasan struk belanja tertinghal di sama. Semestinya ini tanggung jawab cleaning service di depan tadi, dia tidak ditempatkan di sana untuk jadi teman security. Baiklah, mungkin hanya terlewat. Gahar mengampuni untuk yang satu ini.
Area pertama yang ditujunya adalah area makanan segar, suhu di ruangan ini lebih dingin daripada area lain untuk menjaga kesegaran produk yang tidak disimpan di tempat pendingin. Pilihan jenis buah dan sayur sangat terbatas, kebanyakan hanya sayur lokal dan buah-buahan standar seperti apel fuji, pisang kuning, pear, jeruk, dan sebagainya. Begitupun juga dengan daging-dagingan dan makanan laut yang bahkan cuma ada udang, cumi-cumi, dan beberapa jenis ikan dalam kuantitas sedikit. Namun tidak ada pilihan grade. Baik, mereka mungkin tidak berani menyetok terlalu banyak makanan segar karena break age-nya cepat.
Gahar merapat ke counter daging. "Nggak ada sirloin, ya?"
"Lagi kosong, Kak."
Gahar bergeser ke bagian daging ayam yang terkemas rapih di alas steroform dan plastik wrap. Karyawan di counter daging menghampiri Gahar, sepertinya dia bertugas menjaga dua area ini. "Ini segar nggak, Mas?" tanyanya menunjuk kemasan sayap ayam yang di dalamnya yang ada genangan air dan warnanya sudah tampak pucat.
"Segar, Kak."
Gahar mengembuskan napas. Siapa yang akan percaya dengan jawaban itu, Gahar yang tidak pernah belanja ke supermarket saja tahu kalau daging itu sudah berhari-hari di-display dan tidak di-repackaging. Orang bodoh mana yang mau beli daging begitu.
Gahar meninggalkan area makanan segar dan ke deretan produk makanan kering, di sana lah ia akhirnya melihat dua beberapa customer. Dua orang perempuan di depan rak tinggi mie instan, dan sepasang suami istri di rak lain.
"Nggak ada, ya?"
Gahar pura-pura memilih mie instan juga sambil curi-curi dengar.
"Nggak ada. Cuma mie goreng biasa, yang kuah cuma soto, kare, sama ayam bawang."
"Gila, masa stok supermarket kalah lengkap sama stok di Indomaret."
"Aku bilang juga apa, mending ke Tiara Dewata. Rame tapi semua ada. Belanja di sini tempatnya doang yang luas, barangnya nggak lengkap. Bikin capek muter-muter aja."
"Ya udah, beli ini aja jadinya?" Gahar melirik isi troly mereka yang hanya berisi satu bal tisu toilet dan detergen.
"Iya, sisanya nanti sekalian di Tiara aja."
Gahar lalu melirik troly customer lainnya, isi troly mereka juga sangat sedikit. Mereka benar, di sapanjang rak pajang ini sangat terbatas pilihan rasa mie instan yang tersedia. Itu pun hanya dari beberapa merek terkenal.
Berkeliling area Gahar semakin bingung apa yang mesati dibenahi lebih dulu. Keramahan karyawan, kesegaran barang, ketersediaan dan kelengkapan barang, semuanya sangat memprihatinkan.
Kalau ada satu customer nyasar belanja ke sini, Gahar berani bertaruh dia tidak akan datang lagi kedua kali.
"Mas, di sini barangnya kenapa nggak lengkap, ya?" Gahar coba bertanya pada seorang lelaki pertengahan 3 tahun yang berseragam manajer. Dia turun tangan langsung menata barang dari kardus ke rak display.
"Masnya cari apa?" tanyanya tanpa mau repot berdiri dulu dan menghentikan sejenak kegiatannya.
Gahar menyebut asal sebuah merek spaghetti. "Wah, kalau barang impor, cari di Grandlucky aja."
Gahar terperangah. Apa-apaan itu, dia langsung memberi solusi pindah ke toko sebelah tanpa menjelaskan mengapa tidak tersedia di sini. Rasanya Gahar ingin memecat dia detik ini juga.
"Oh, Indomie produk lokal tuh, tapi kenapa nggak ada rasa rendang?"
"Rendang nggak laku," jawabnya santai sambil berdiri menenteng kardusnya. "Di sini yang laku cuma rasa goreng biasa sama kare ayam."
Gahar melirik name tag karyawan itu. Agus Riadi.
"Ada yang bisa dibantu lagi?" tanya si Agus seolah dia tidak punya waktu bersabar melayani satu customer saja.
Gahar melengos pergi lebih dulu, dia mencatat nama itu dalam benaknya. Mungkin saja kegiatan bersih-bersihnya akan dia mulai dengan memecat dia. Karyawan selevel manajer tidak sepantasnya melayani customer seperti itu.
Terakhir tinggal area kasir, Gahar menyambar apa pun yang ada di dekatnya untuk ditransaksikan. Dan kebetulan yang terdekat dari jangkauan tangannya adalah kondom.
Hanya dua pos kasir yang buka yang keduanya tengah melayani transaksi customer juga. Gahar mengantre di salah satunya, dia perhatikan betul setiap gerakannya memindai barcode barang. Kasir itu terlihat kaku, fokusnya hanya tertuju ke monitor dan barang. Itu sangat bahaya, bagaimana jika ada customer curang yang tidak menaikkan semua barang ke meja.
Mungkin merasa diperhatikan, dia melirik Gahar sekilas. Hingga tiba giliran Gahar.
"Siang, Kak," sapanya begitu saja, tanpa ada embel-embel lain yang tercatat sebagai greeting wajib. "Ehm... Ini saja, Kak?" tanyanya memastikan saat Gahar mengeluarkan dua bungkus kondom dari keranjanhnya.
Gahar mengangguk, dan kasir itu pun memulai transaksi. Gahar memberikan kartu kreditnya ketika si kasir menyebutkan nominal yang harus Gahar bayar.
"Di sini nggak ada semacam kartu member gitu ya, supaya bisa dapat diskon?"
"Oh, ada, Kak. Kalau mau bikin, langsung ke customer service saja."
"Kebetulan saya udah punya, Mbaknya nggak nanyain. Masih bisa kalau saya pakai?" tepat saat Gahar menanyakan itu, struk keluar dari mesin printing.
Kasir itu menatap Gahar menyesal. "Maaf, Kak, transaksi sudah terlanjur selesai."
"Terus gimana, dong?"
"Mas tadi nggak bilang mau pakai kartu member."
"Setahu saya, dimana-mana kasir selalu tanya dulu apakah ada kartu member sebelum mulai transaksi."
"Aduh, gimana, ya?" Dia melirik sekitar dengan panik. "Tunggu sebentar ya, Kak."
Dia lalu berlari ke arah kasir sebelah yang baru saja menyelesaikan transaksi. Bukannya mencari leader kasir, dia malah bertanya pada temannya. Kesalahan terbesar dia adalah, dia meninggalkan pos kasir.
"Dia nggak bilang mau pakai kartu member. Nggak bisa direfund atau transaksi ulang ya, Mbak?"
"Berapa dia belanja?"
"Nggak banyak, cuma 70 ribu. Kalau pakai kartu member pun paling-paling cuma beda 3 ribu doang diskonnya. Pelit banget."
"Minta maaf aja dulu coba."
"Udah, tapi dia tetap mau pakai diskon kartu membernya. Coba Mbak aja deh yang ngomong sendiri, aku takut."
Di balik maskernya, Gahar tersenyum miring saat melihat kasir bertubuh kurus yang ditanyai itu menutup pos kasirnya dan berjalan menghampiri Gahar.
Tempat ini tidak tertolong lagi. Karyawannya tidak ada yang mematuhi SOP.
"Permisi, selamat siang, Pak, perkenalkan saya Puspa. Mungkin boleh ikut saja minggir sebentar, Pak, supaya tidak menganggu transaksi di belakang." Gahar sedikit melunak mendengar sapaan benar karyawan satu ini. Dimulai dengan sapaan, lalu memperkenalkan diri, dengan gestur luwes dan ramah.
"Kamu bukannya kasir?"
"Oh, saya kebetulan team leader customer service. Tadi bantu in charge di kasir karena kekurangan staff. Mari, Pak."
Gahar mengikutinya ke counter customer service di dekat pintu keluar-masuk. Gahar akui dia cukup sopan, tapi dia bisa memakai alasan lain selain kekurangan staf di depan customer. Itu akan menegaskan kalau perusahaan ini sedang tidak dalam kondisi baik.
"Sebelumnya mohon maaf, Pak, atas ketidaknyamanannya. Bagaimana pun memang salah kasir tidak menanyakan apakah Bapak memiliki kartu member. Jadi begini, Pak, untuk transaksi yang sudah selesai dilakukan tidak bisa diulang lagi."
"Lho, jadi saya nggak bisa dapat hak saya sebagai member Guna Mart?"
"Tentu saja bisa, Bapak. Tapi karena yang kali ini sudah terlanjur, saya atas nama Guna Mart mohon maaf atas kelalaian kami."
"Memangnya nggak ada opsi penyelesaian lain selain minta maaf?"
"Sebenarnya kami bisa menawarkan dua opsi, Pak. Tapi prosedurnya akan memakan waktu lumayan lama."
Gahar bergeser selangkah untuk duduk di kursi tunggu counter. "Saya punya banyak waktu. Jadi apa dua opsi itu?"
Bibir Puspa menyipis. Senyum yang semula masih nampak tulus sekarang terlihat terpaksa. "Mohon maaf, Pak, saya rasa waktu yang akan Bapak habiskan, nggak sebanding sama selisih uang yang Bapak keluarkan."
"Teman kamu saja tahu saya pelit, kok. 100 rupiah pun akan saya minta kembali hak saya."
Wajah Puspa memucat, dia tidak menyangka Gahar mendengar perkataan tidak sopan Liana tadi. Tapi Puspa enggan meminta maaf karena menurut sisi egonya customer ini memang pelitnya keterlaluan.
"Baik, jadi begini, Bapak. Kami tidak bisa melakukan r****d untuk barang yang sudah terbeli, kalau Bapak mau, Bapak bisa beli lagi barang senilai kelebihan uang itu. Atau opsi kedua, kita lakukan new transaction dengan mengisi berita acara yang ditandatangani oleh manajer saya dan security? Berhubung tadi Bapak transaksinya pakai credit card, pencarian diskonnya akan kami berikan cash."
"Menurut kamu baiknya yang mana?"
"Menurut saya yang pertama saja, Bapak. Bapak tinggal pilih barang seharga tiga ribu atau lebih, nanti harganya akan dikurani diskon yang tadi belum terpotong tadi, ditambah diskon baru dari kartu member. Jadi waktunya lebih singkat dan tidak banyak prosedur," jawab Puspa sangat sopan, berasa seperti customer service BCA.
"Oke, saya mau opsi yang ke dua kalau begitu."
Puspa mengerejap kaget, namun dia masih berpikiran positif, orang ini mungkin memang lemot kerja otaknya. "Yang cepat dan yang sederhana yang pertama, Bapak."
"Iya paham, kamu kira saya bodoh atau apa?" Gahar menyelak tersinggung dan tidak sabaran. "Yang lama dan ribet yang ke Kedua. Saya pilih itu, ada yang masalah?"
"Tapi, itu mungkin akan memakan waktu lebih dari 15 menit."
"Saya tunggu. Saya pengangguran."
Senyum Puspa kali ini sudah jadi ringisan, kesal tapi tidak berdaya. "Maaf, Pak, kita lakukan yang pertama saja. Karena--"
"Lalu buat apa kamu menawarkan dua opsi kalau sebenarnya kamu tidak bisa menjalankan keduanya?"
***
Mimpi apa Puspa semalam sampai bisa sesial ini. Pertama dipaksa masuk pagi dadakan padahal jadwalnya masuk shift siang, padahal dia baru pulang dari pesta temannya jam 3 pagi. Kedua, tiga orang kasir tiba-tiba berhenti kerja bersamaan tanpa pemberitahuan, dan sekarang harus berhadapan dengan customer menyebalkan.
Puspa menghembuskan udara lewat mulut, selama 7 tahun menjadi staff customer service dan berhadapan dengan ratusan complain, bentakan, hingga geretakan, tidak pernah sekali pun dia menemukan customer semerepotkan ini.
Lantaran tidak bisa melotot marah pada customer, Ulan jadinya melotot pada Erni, temannya itu sudah lirik-lirik sinis pada Gahar sedari tadi. "Siapin form new transanction!"
Erni langsung menacari-cari form yang dimakaud di folder-folder form cetak, dia sudah mencari di semua folder tapi tidak ada. "Mbak Pus, kayaknya habis deh."
Puspa memutar bola mata. "Ya udah, sana print lagi di office. Cari di form 2020. Cepetan."
Puspa mesem lagi pada Gahar saat Erni berlari ke tempat yang dimaksud. "Mohon ditunggu ya, Pak."
Gahar mengembuskan napas berat seolah ingin agar Puspa tahu kalau dia sebal.
Alih-alih sebal, Gahar sebenarnya sudah diambang batas kemarahan. Luar biasa dia masih bisa menahannya sekarang. karyawan lari di area toko saja sudah salah, itu akan membuat customer yang melihat panik dan menduga-duga ada hal tidak beres. Juga menghindari kemungkinan kecelakaan kerja. Tapi Puspa sebagai team leader membiarkan saja.
Puspa melirik jam tangannya selagi lagi, baru tiga menit Erni perg tapi rasanya sudah lama sekali. Perasaan itu tak lepas dari sosok mengintimidasi ini. Padahal segala yang menempel di tubuhnya tampak branded, ponselnya keluaran terbaru yang bahkan belum resmi masuk kerai ponsel Indonesia, dan bayar dua bungkus kondom saja pakai kartu kredit. Sayang kikirnya minta ampun.
Biasanya, orang akan bermain ponsel untuk membunuh jenuh. Sedangkan orang ini hanya mengenggam ponselnya dan lebih tertarik memerhatikan sekitar. Bukan seperti customer, dia lebih terlihat seperti tim penilai kinerja tahunan yang datang dari pusat. Makanya Puspa sampai merasa terintimidasi.
Ponsel di kantong Puspa bergetar, Puspa mesem lagi saat getaran ponselnya yang tidak seberapa kencang itu membuat Gahar menoleh.
"Kenapa, Er?"
"Mbak, aku nggak nemu foldernya. Di mana, sih?" Puspa berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang. Pantas saja Erni lama, kalau dia benar carinya, seharusnya sekarang dia sudah kembali.
"Di form 2021."
"Nggak ada."
"Ada, Erni," Puspa geregetan. Sesaat dia mesem lagi pada Gahar yang dengan tidak sopan terang-terangan penasaran dengan teleponnya. "Cari lagi pelan-pelan, atau suruh siapa pun di sebelah kamu bantu cariin."
"Adanya cuma folder form."
Rasanya Puspa ingin menjampak cepolan rambutnya sendiri saking kesalnya. "Ya. Ya itu maksud aku, kamu cari folder form, klik, terus cari folder 2021."
"Oh, iya iya, Mbak ini udah ketemu. Aku print sekarang."
Belum juga sambungan terputus, Puspa buru-buru menurunkan ponselnya saat seorang Ibu-ibu berjalan tergesa lurus ke arahnya sambil mendorong troly isi dua kantong belanjaan. Secepat kilat Puspa memasang topeng ramah. "Selamat siang, Ibu. Ada yang--"
Brak! Ibu itu menaruh satu bungkusan besar sabun cuci piring di atas meja counter. "Saya lihat ini di rak harganya 8 ribu sekian, kenapa di kasir jadi hampir 15 ribu?"
"Oh, di rak 8 ribu ya, Bu? Mohon maaf, saya izin cek dulu."
"Nggak usah!" Puspa urung meraih walkie talkie dan kembali memasang sikap siap melayani meski tahu ia akan habis dimaki-maki. "Gila ya, kamu kira saya ini bohong? Saya nggak masalain harganya, tapi tolong dong, bisnis yang bener. Mau nipu customer nggak gini caranya."
Menampung makian dengan senyuman adalah bagian dari pekerjaan Puspa. Jangan kira 7 tahun kerja sudab membuatnya kebal. Bagaimana pun juga Puspa adalah manusia biasa, kadang Puspa masih merasa makian itu ditujukan pada pribadinya. "Sekali lagi saya mohon maaf, Bu. Itu keteledoran staff kami."
"Ya udah, bilangin sama stafnya, kalau kerja itu yang benar. Pantas saja Guna Mart sepi. Udah mahal, pelayanannya payah lagi. Kapok saya belanja di sini," sembur Ibu itu sebelum pergi.
Maaf selalu jadi jalan keluar tercepat, setidaknya dia tidak dia cuma marah-marah dan tidak menuntut kembalian seperti customer yang makin terlihat kesal hingga alisnya nyaris menyatu ini.
"Kenapa nggak dicek dulu dan langsung mengakui itu kesalahan staf?"
"Maaf, Pak?"
Gahar memutar bola mata. "Bukannya kamu harusnya mengecek kebenaran complain customer tadi? Gimana kalau ternyata dianya yang salah lihat?"
Puspa mengerejapkan mata. Apa orang ini tim penilai yang sedang menyamar? Bagaimana dia bisa tahu prosedur yang harusnya Puspa lakukan?
Tidak mungkin, tim penilai sudah datang 2 bulan lalu. Makanya keluar keputusan penutupan toko.
"Itu..."
"Sebagai CS kamu nggak bisa dong biarin dia pergi tanpa penyelesaian. Iya kalau dia cuma ngomel-ngomel ke keluarganya, gimana kalau dia sampai ngeluh di sosmed?"
"Mohon maaf sekali, Pak, tanpa mengurangi rasa hormat, menurut saya Anda sudah keterlaluan." Puspa tidak tahan lagi. Dia Cuma customer tapi lagaknya seperti atasan.
“Bagian mana yang keterlaluan? Karena kamu sadar kalau semua yang saya katakan itu benar?”
Puspa terperangah dengan arogansi orang ini. Tapi sekali lagi, Puspa berusaha meredam emosi. Dia memejamkan mata sesaat, lalu membukanya bersamaan dengan memaksa kedua dudut bibirnya tertarik melengkung ke atas. “Terima kasih, Bapak. Saya anggap itu sebagai masukan membangun untuk saya dan Guna Mart agar lebih baik lagi kedepannya.”
Gahar berdecih sambil membuang muka. Sejurus kemudian Erni berlari tergopoh-gopoh, saat berbelok ke counter, dia nyaris terpeleset. Untung tidak jatuh, tapi kertas-kertasnya terlepas dari pegangan dan terbang berhamburan.
Puspa memijit kening. Gahar sampai berdiri kaget melihat kekacauan yang Erni buat.
“Ini form-nya, Mbak.” Erni menyodorkan satu kertas pada Puspa.
Puspa masih sempat melototi Erni, siapa pun tolong ingatkan Puspa untuk memberi Erni pelajaran habis ini.
Puspa menghadap Sabit lagi. “Mohon maaf, Pak, boleh saya pinjam KTP-nya? Kami hanya perlu nama dan nomor KTP saja.”
Kepala Gahar geleng-geleng lemah. Dia menatap Puspa, Erni, dan sekeliling sekilas dengan putus asa. “Nggak usah lah, kelamaan.” Dia mengibaskan tangan lalu melenggang pergi sambil mengantongi dua kotak kondomnya.
Di samping Puspa, Erni terbengong dengan napas masih ngos-ngosan. “Dia nge-prank kita ya, Mbak?”
Apa-apaan itu? Dia bilang kelamaan setelah membuat Puspa hampir kena tekanan darah tinggi. Amit-amit, jangan lagi-lagi Puspa bertemu customer seperti dia.