Hati Nadhira tak bisa tak gelisah, setiap hari di penuhi keburukan apalagi saat melihat Adam mengobrol dengan Elisa.
'Jangan berpikir buruk Nad!' batinnya terus mengingatkan. Namun, tetap saja pikiran Nadhira terasa kacau.
Sudah satu minggu sejak Nadhira tahu kebenarannya, dan tak satu hari pun Nadhira merasa tenang.
Nadhira bahkan melupakan bayinya yang harus diketahui Adam. Entah mengapa Nadhira justru bungkam, dan menyembunyikan tentang kehamilannya.
"Sayang, mas pulang." Seperti biasa setelah mengobrol beberapa saat dengan Elisa, Adam memasuki kamar.
Satu minggu ini Nadhira selalu memperhatikan gerak gerik Adam, dan pria itu selalu melakukan hal yang sama, yaitu menemui Elisa saat pulang kantor lalu bermain bersama Livia, hingga setelah satu jam barulah Adam memasuki kamar.
Nadhira tersenyum saat Adam mengecup dahinya "Mas mau mandi dulu atau makan?" Nadhira berusaha menekan rasa sakitnya mengingat kembali ke akraban Adam dan ibu tirinya.
"Mandi ya, Mas gerah,” ucapnya dengan melepas dasi di lehernya.
Nadhira bangkit dan pergi ke arah kamar mandi untuk menyiapkan peralatan mandi Adam.
"Udah siap Mas, aku siapin makan malam kalau gitu."
"Ya, makasih sayang."
Nadhira turun dari kamar menuju lantai satu dimana dia bisa melihat Ayah dan Ibu tirinya duduk bersisian dengan Elisa yang bersandar di pundak Galuh, keduanya tengah tertawa dan bercanda melihat Livia bermain di taman, "Hari- hati sayang." Elisa memperingati Livia yang berlari, baru saja kata itu terucap bocah itu terjatuh.
"Mas bilang apa, jangan di peringatkan, jadi jatuh beneran kan." Galuh tertawa.
Elisa mencebik sambil memukul bahu Galuh "Mas ih, untung Livia gak nangis." terlihat Livia kembali bangkit dan melanjutkan bermain.
Galuh, ayah Nadhira berusia 55 tahun, dia adalah pengusaha garmen, yang hingga kini masih berjalan, Pria itu nampak masih segar di tengah penyakit diabetesnya, dimana dia hanya perlu menjaga asupan makannya.
Jadi meski usianya tak muda lagi, pria itu masih nampak tampan hingga tak ada keraguan dalam diri Nadhira jika Elisa juga mencintainya.
Belum lagi Galuh yang menerima Livia, dan menyayangi Livia seperti anaknya sendiri, maka pantas Elisa juga menerima Galuh apa adanya
Itulah yang membuat Nadhira tak menaruh kecurigaan tentang hubungan antara Adam dan Elisa, sebab Elisa pun nampak harmonis dengan ayahnya, hanya saja Nadhira takut karena kedekatan mereka cinta diantara keduanya kembali bersemi.
Tak ingin mengganggu keduanya, Nadhira bergegas menuju dapur melanjutkan niatnya untuk memasak.
****
Saat Nadhira berkutat dengan persiapan makan malam, muncul Elisa bersama Livia.
"Mbak Nadhira masak apa?" tanya bocah itu dengan mendudukan dirinya di kursi makan.
"Mbak masak semur daging, Livia mau?" Livia mengangguk menjawab pertanyaan Nadhira.
"Mama mau bantu Mbak Nadhira dulu, Livia duduk disini," ucap Elisa yang bergegas pergi ke konter dapur.
"Gak papa kok, Ma. Mama bisa tunggu sama Livia."
"Ya, masa Mama gak bantu sih, Nad." Elisa meraih piring untuk dia siapkan ke atas meja makan.
Nadhira menuangkan semur daging ke dalam mangkuk besar untuk di sajikan di meja makan.
"Biar Mama yang bawa Nad," ucap Elisa dan langsung diangguki oleh Nadhira.
Sementara Nadhira kembali memasak menu lainnya, hingga terdengar bunyi pecahan dan jeritan dari Elisa.
Prang!
Akh!
Mangkuk semur ditangan Elisa terjatuh sementara dirinya mengaduh sebab tangan dan kakinya terkena tumpahan kuah semur tersebut.
"El, kamu gak papa?!" Adam segera membawa Elisa ke arah wastafel, dan membasuh tangan Elisa yang terkena siraman kuah panas.
"Aku gak papa Dam, emang kuahnya agak panas."
"Kamu ceroboh banget sih, El." Adam sibuk mengurusi Elisa tanpa menyadari di belakangnya Nadhira terpaku dengan apa yang sedang terjadi, di depannya suaminya sedang mengkhawatirkan mantan kekasihnya yang kini menjadi ibu tirinya.
Nadhira bahkan tak menyadari jika di depannya minyak sudah panas dan berapi hingga pekikkan Livia membuyarkan lamunannya "Mbak, Api!" teriaknya.
Adam dan Elisa menoleh dan terkejut saat di depan Nadhira api berkobar dari wajan berisi minyak.
"Nad, awas!" Adam menarik Nadhira menjauh sementara dia segera mematikan api kompor, dan membasahi kain lap untuk mematikan api di atas minyak.
Nadhira yang masih terkejut hanya bisa memejamkan mata saat Adam berhasil mematikan api "Kamu gimana sih, Nad. Biarin api nyala gitu! Ceroboh!" Nadhira berjengit semakin kaget mendengar teriakan Adam.
Hati Nadhira berdenyut perih mendengar bentakan Adam. Pria yang baru saja nampak khawatir dan berlaku lembut pada ibu tirinya, kini justru membentaknya.
Nadhira mengepalkan tangannya menatap nanar pada Adam, lalu dia pergi dari sana, meninggalkan Adam yang tertegun dan menyadari apa yang baru saja dia lakukan.
"Apaan sih, Dam. Harusnya gak perlu bentak Nadhira juga kan," ucap Elisa dengan nada kasihan.
Adam menghela nafasnya lalu mengusap wajahnya dengan kasar "Aku temui Nadhira dulu." Elis menggeleng pelan lalu merapikan sisa- sisa kekacauan yang baru saja terjadi.
"Ada apa?" Galuh muncul dengan wajah khawatir, "Aku lihat Adam kejar Nadhira tadi?"
"Gak papa, cuma salah paham."
***
Disisi lain Adam mengejar Nadhira memasuki kamar mereka, "Nad," panggilnya namun Nadhira acuh dan langung memasuki kamar mandi "Sayang," panggilnya lagi, "Maafin, Mas. Mas bentak kamu karena khawatir. Mas gak bermaksud marah sebenarnya, cuma Mas takut kamu kenapa- napa."
Di dalam kamar mandi Nadhira menghela nafasnya, rasa sakit saat melihat Adam memperlakukan Elisa dengan lembut sementara pria itu justru membentaknya terus menghantamnya.
Kekhawatiran apa yang Adam maksud?
Nadhira tahu apa yang terjadi padanya lebih berbahaya, sebab jika api itu terus menyala, bisa melalap seluruh rumah, tapi haruskah Adam juga berlaku seperti itu pada Elisa?
Pria itu mempelakukan Elisa seolah wanita itu bukan ibu mertuanya, tapi mantan kekasih yang masih dicintai.
Nadhira membasuh wajahnya untuk meredakan emosinya, diluar sana Adam masih mengetuk pintu dan tak menyerah untuk bicara.
"Iya deh, Mas salah, kamu mau apa Mas lakukan, asal kamu jangan marah."
Pintu kamar mandi terbuka menampakan Nadhira yang mengusap wajahnya dengan handuk.
"Sayang?"
Nadhira menghentikan langkahnya saat Adam menghadangnya "Kamu mau melakukan apapun, Mas?"
Adam mengangguk. "Kalau gitu aku mau kita pindah dari sini."
Dahi Adam mengeryit "Kamu kok gitu sih Nad, ini hal lain yang gak ada hubungannya."
"Ya udah, kalau gitu. Aku gak akan maafin kamu." Nadhira berjalan ke arah lemari.
"Nad, aku tahu aku salah bentak kamu tadi, tapi ini juga salah kamu karena ceroboh, aku juga marah karena khawatir."
"Kamu bilang kamu mau melakukan apapun kan?"
"Iya, tapi jangan kekanak-kanakan gitu dong, dan lagi kita udah bahas kalau pindah gimana sama ayah-"
"Ayah, ayah, ayah terus yang jadi alasan kamu Mas!" teriak Nadhira, dia bahkan melempar pintu lemari saking kesalnya, sementara Adam nampak terkejut dengan teriakan Nadhira.
"Selalu itu yang kamu katakan Mas. Tapi, apa kamu gak merasa bersalah terus menjadikan ayah sebagai alasan?"
"Kamu ngomong apa sih, Nad?"
"Jangan jadiin ayah alasan untuk menutupi keinginan kamu tetap disini karena Elisa,Mas."
Adam tertegun "Apa?"
"Kamu ingin tetap disini untuk terus berhubungan dengan mantan kamu itu kan?"