Pulang lebih awal?" Seseorang tiba-tiba berkomentar begitu melihat Ratu keluar dari lift sambil membawa barang-barangnya.
Wanita yang disinggung itu hanya mengangkat alisnya tanpa memedulikan orang yang baru saja berkomentar.
"Heh, Ratu! Aku ngomong sama kamu tahu!" Wanita itu menarik tas bahu milik Ratu.
Ratu memutar bola matanya, lalu menatap malas pada wanita di hadapannya. "Sinta ... Huuuft!" gumam Ratu sambil menggelengkan kepala.
"Semenjak diangkat jadi sekretaris CEO, kamu udah ngerasa kalau perusahaan ini milik kamu, ya?" omel Sinta yang selalu merasa iri terhadap apapun yang didapat oleh Ratu. "Pulang seenaknya! Bos-nya ditinggalin!" makinya lagi.
"Sudah?" tanya Ratu dingin.
"Kamu sombong ya! Awas ya, aku punya senjata bu--"
"Bu Sonya? Sudah mau pulang?" Ratu menghampiri direktur pemasaran mantan bos-nya.
"Eh Ratu, kebetulan kamu ada di sini ...!"
Sonya dan Ratu pun melanjutkan pembicaraannya, mengabaikan satu orang di sana yang terbakar amarahnya.
"Ratu ...," geram Sinta melihat Ratu yang pergi mengabaikannya. "Lihat saja, aku punya kartu As untuk hancurkan kamu!" ancam Sinta yang tidak terdengar oleh Ratu.
"Berkas tadi sudah kau berikan pada pak Harry?" tanya Sonya sambil menghentikan langkahnya karena menunggu Ratu.
"Sudah, dia masih mempelajarinya. Besok mungkin dia akan memberi keputusan." Ratu menjawab setelah ia berada di dekat Sonya. "Aku sangat merindukanmu hari ini. Apa kau ada waktu?" tanya Ratu sambil memelas.
"Sayang sekali, aku masih ada urusan. Kau tidak lupa dengan jadwalku hari ini, kan? Bukannya kau sudah menyusunnya sampai satu minggu ke depan?" Sonya balik bertanya.
Hal itu membuat Ratu semakin merasa sedih karena sudah tidak bersama Sonya lagi. "Bertemu dengan agen advertising?" tanya Ratu yang masih mengingat jadwal Sonya hari ini.
Sonya pun mengangguk. "Aku harus pergi. Kita harus ngobrol lain kali!"
"Ya! Aku pasti akan menyempatkan untuk itu!" jawab Ratu.
Wanita itu pun pergi menuju ke basement tempat mobilnya terparkir.
"Mobil Pak Harry sudah tidak ada, apa dia sudah pergi?" gumam Ratu saat melihat marka parkir di samping mobilnya kosong. Seharusnya itu parkiran khusus untuk kendaraan CEO.
Ratu pun memutuskan untuk langsung pulang.
*
Pulang lebih sore dari para karyawan memang kebiasaan seorang sekretaris. Meski tidak berada di kantor, tetap saja mereka yang menjadi sekretaris akan menemani bos nya ke mana pun sang bos pergi.
Melihat Ratu pulang lebih awal di hari pertamanya menjadi seorang sekretaris CEO, membuat Sinta panas. Ratu, seorang sekretaris yang selalu menjadi perbincangan karena performanya yang selalu menjadi andalan bu Sonya dulu kini diminta menjadi sekretaris dari seorang Harry Lesmana, sang CEO.
Sejak dulu, rasa iri telah bercokol di hati sekretaris Dirut Personalia ini. Terutama ketika atasannya, -bu Laras, memuji Ratu dengan terang-terangan di hadapannya. Bahkan terkadang, bu Laras sering bercanda pada bu Sonya, jika dirinya lebih baik berganti sekretaris saja dengan sekretaris bu Sonya.
Selama delapan tahun ia memendam amarah dan melakukan perang dingin pada Ratu, kini Sinta merasa ada titik terang. Bertemu dengan Jeslyn, seakan mempertemukannya dengan sosok yang akan memberinya jalan keluar untuk menjatuhkan Ratu, orang yang dibencinya setengah mati.
Berbekal kartu nama yang didapatkannya, ia menghubungi tangan kanan Jeslyn untuk membuat janji temu dengan wanita itu.
Lalu tak lama setelah ia menghubungi nomor pada kartu tersebut, dirinya mendapatkan sebuah alamat, yang sekarang membawanya ke sebuah lokasi rumah makan mewah nan klasik.
Di sini lah sekarang Sinta berada. Di sebuah restoran bergaya bangunan tua khas 80-an, dengan halaman parkir yang tidak terlalu luas.
Ia pun langsung masuk pada bangunan berwarna putih tulang dengan kusen yang dicat dengan warna abu-abu, khas rumah-rumah kolonial tempo dulu. Bagian depannya memiliki atap yang menyerupai kubah, lalu terdapat ornamen-ornamen klasik nan mewah yang menjadi simbol selamat datang untuk para tamu yang tiba.
"Selamat datang, Bu. Sudah membuat reservasi?" sambut seorang resepsionis wanita berbaju hitam dengan model kebaya jaman dulu.
"Ah ... eem .... I-iya, sudah! Saya datang ke mari karena ada janji dengan nona Jeslyn," jawab Sinta refleks. Ia bingung harus menjawab apa, karena dirinya tak merasa membuat reservasi untuk rumah makan ini. Namun berhubung Jeslyn yang mengajaknya ke mari, mungkin saja Jeslyn yang sudah melakukannya terlebih dahulu.
"Oh, baiklah! Reservasi atas nama nona Jeslyn, ada di lantai tiga." Sang resepsionis menjawab.
"Emm ... terima kasih," jawab Sinta.
"Mari, saya antar!" tawar seorang pelayan yang berdiri di depan pintu masuk.
Berbeda dengan bangunan di luar yang nampak kuno dan tua. Aksen di dalamnya justru terkesan sangat berkelas, dapat Sinta lihat sekilas saja, jika orang-orang yang sedang makan di tempat itu merupakan orang-orang kelas atas yang setara dengan bosnya, bahkan yang lebih dari itu.
Dengan menggunakan lift yang ada, Sinta bersama pelayan tersebut naik ke lantai tiga.
Kemudian dirinya diarahkan ke sebuah meja berwarna hitam dengan taplak putih yang tertata menggunakan gaya berkelas.
"Silakan!" Pelayan tersebut menarik sebuah kursi untuk Sinta duduk di sana.
Baru saja Sinta menyimpan tubuhnya di atas kursi, pelayan lain sudah tiba dengan menu pembuka di tangannya. Sinta meneguk ludah melihat makanan di hadapannya.
"Silakan dinikmati dulu, Nona. Nona Jeslyn sedang dalam perjalanan," ucap sang pelayan.
"Iya, terima kasih," jawab Sinta.
"Jika ada yang Nona perlukan, Nona bisa memanggil pelayan yang berdiri di sana atau di sana." Sang pelayan menunjuk pada tempat para pelayan lain berdiri. "Karena saya harus kembali ke tempat saya di depan tadi," lanjutnya.
"Ah, iya! Silakan! Terima kasih!"
Sinta pun duduk di sana sendiri sambil mengirim pesan pada nomor tangan kanan Jeslyn yang tertera pada kartu namanya tadi.
[Saya sudah tiba] ~ Sinta
"Lihat saja, Ratu! Aku sedang menggali lubang kubur untukmu!"
*
Sementara itu, dalam sebuah apartemen mengalun sebuah musik dengan suara lirih nan syahdu.
Laksana jentayu menantikan hujan, Ratu duduk sambil memegangi sebuah surat. Surat dengan warna tinta hitam yang sudah mulai membiru karena dimakan oleh waktu.
Wajah tampan, tubuh tinggi dan kekar, rambut pendek yang sedikit bergelombang, gambaran seorang pria yang selalu terekam dalam benak Ratu Dewi Basundari.
Diletakkannya kembali sepucuk surat itu ke dalam lokernya. Melangkah menuju ranjang, ia sandarkan punggung pada headboard berwarna putih. Berkali-kali mengembuskan napas panjang, Ratu tak bisa menyingkirkan bayang-bayang yang mengganggu angannya.
Ting tong
Suara bel di apartemennya berbunyi. Ratu turun dari tempat tidurnya menuju ke pintu.
"Pizza!" Suara teriakan dari luar terdengar.
Merasa tak yakin, Ratu terburu-buru membuka door viewer untuk mengintip siapa yang ada di balik pintunya.
Seorang pria berseragam merah dengan sekotak pizza di tangannya. Namun, bukan karena itu yang membuat Ratu ingin membuka pintu tersebut, melainkan wajah dan perawakan pengantar pizza itu merupakan proyeksi dari seorang pria yang selalu ada pada angan Ratu.
"Harry!" serunya begitu ia membuka. "Aku ... aku ...." Sulit bagi Ratu mengatakan rindu untuk pria di hadapannya. "Aku tidak memesan pizza, bodoh!" umpat Ratu yang sebenarnya ia sangat kegirangan.
Pria pengantar pizza itu tersenyum dan merentangkan kedua tangannya, membiarkan kotak pizza itu dipegang oleh sebelah tangan saja.
"Apa kau tidak merindukanku?" tanya pria itu karena melihat Ratu yang tak kunjung menghambur pada pelukannya.
"Aku sudah melupakanmu!" ucap Ratu dengan nada dingin.
Pria itu pun kembali menurunkan tangannya. Wajahnya menyiratkan kekecewaan, senyum yang sejak tadi terbit pun kini meredup.
"Apa aku pergi terlalu lama?" tanya pria itu lagi.
"Sudah sangat lama!" jawab Ratu dengan penuh penekanan.
"Aku hanya ... pergi selama empat tahun kau tahu?"
"Empat tahun tanpa kabar itu, sangat menyakitkan."
"Orang lain bahkan menunggu kekasihnya hingga puluhan tahu, Ratuku sayang," rayu Harry.
Ratu terdiam sejenak lalu menjawab. "Kalau begitu, jadikan saja orang lain sebagai kekasihmu!" jawab Ratu sambil berbalik masuk kembali ke apartemennya.
Harry mencekal tangan Ratu. "Ratu ... bukan begitu maksudku, tidak bisakah kau membiarkan aku masuk dulu dan beri aku kesempatan untuk menjelaskan semua padamu?"
Ratu menepikan tubuhnya, memberi ruang untuk Harry berjalan ke dalam apartemennya. "Silakan!"
Harry kembali tersenyum memperlihatkan lesung di pipinya. Dia pun berjalan ke arah Ratu dan masuk ke apartemen wanita itu.
"Masih sama," ujar Harry sambil mengedarkan pandangannya.
Membiarkan Harry masuk ke ruang tengah sendiri, Ratu pergi ke dapur untuk membuat minum.
"Aku sangat takut jika seandainya aku datang lagi ke sini dan mendapati poto seorang laki-laki terpajang dengan pigura yang sangat besar di apartemenmu!" oceh Harry sambil duduk pada salah satu sofa.
"Duduk dan minumlah!" titah Ratu.
"Terima kasih, Ratu," jawab tulus dari Harry.
"Jika tidak ada kepentingan segeralah kembali!" usir wanita itu pada pria yang bahkan baru saja meletakkan tubuhnya di atas kursi.
"Ratu ...? Kenapa menjadi tidak berperasaan begini dirimu!" protes Harry terhadap perilaku Ratu.
"Aku? Tidak berperasaan?" tunjuk Ratu pada dirinya sendiri.
"Iya! Ya, dari dulu dirimu memang tidak berperasaan padaku!" Harry beranjak dari tempat duduknya, melangkah dengan lesu ke arah pintu keluar.
"Harry ...?" panggil lirih Ratu yang menyiratkan rasa sesal telah berkata demikian pada pria itu.
"Iya?" Harry berbalik dengan tatapan berbinar.
"Habiskan minumnya," ujar Ratu bernada dingin.
"Ah, terima kasih! Tapi kau ingin aku segera pergi, aku jadi tidak berselera untuk minum sekalipun," jawab Harry dengan ekspresi yang dibuat sedih.
"Tidak begitu!" cegah Ratu. "Aaaa ... eeem ... maksudku, kau datang membawa pizza, dan aku sediakan minumnya. Kenapa kita tidak makan bersama-sama?" ujar Ratu yang kali ini membuat Harry bahagia.
Harry pun langsung menghampiri wanita yang bertubuh tidak terlalu tinggi. Lalu duduk di sampingnya.
Membuka kotak pizza, Ratu langsung mengambil satu potong dan memberikannya untuk Harry.
"Jadi ... ke mana saja kamu selama ini?" tanya Ratu mengawali pembicaraan mereka sambil memakan pizza yang dibawa oleh Harry.
"Aku ... aku selalu ada di sampingmu!"
"Jangan bercanda!"
"Aaw!" jerit Harry yang terkena cubitan dari Ratu.
"Katakan dengan benar, kau ke mana saja selama ini?" tanya Ratu sekali lagi.
"Aku benar-benar selalu ada di dekatmu!"
Harry mengambil sepotong pizza lagi dari atas meja lalu menyuapkan pada mulutmu.
"Jangan bercanda padaku Harry!"
"Aaaaaaa!" Harry mengalihkan pembicaraan dengan menyuapkan potongan pizza untuk Ratu.
Ratu menatap pada potongan pizza yang diarahkan ke dekatnya. Ia ragu-ragu akan maksud Harry dan tidak ingin terlalu percaya diri jika Harry berniat menyuapinya.
"Kau tidak mau?" tanya Harry.
Dengan tersenyum malu-malu, Ratu membuka mulutnya dan menggigit potongan pizza yang disodorkan oleh Harry.
Mengunyahnya perlahan, Ratu tak berani menatap pada Harry.
Dengan seksama Harry menatap Ratu yang sedang mengunyah pizza. Ia arahkan tangannya mendekati wajah Ratu.
Wanita itu semakin gugup saat mengetahui tangan Harry perlahan mendekatinya seperti yang hendak membelainya. Senyum malu-malu mewarnai pipinya dengan semburat merah. Wajah merona dari Ratu sungguh sangat memesona.
"Kau ingin tau di mana aku selama ini?" tanya Harry pada Ratu.
Wanita itu menjawab dengan anggukkan.
"Aku berada di dekatmu! Aku tidak berbohong!" tegas Harry menunjukkan kesungguhan pada perkataannya.
Ratu mengernyitkan dahinya.
"Bahkan aku tidak pernah jauh darimu. Mulai hari ini, esok dan seterusnya, kita akan selalu bekerja bersama-sama."
"Kau bercanda?"
"Aku serius. Kau ingin tau alasannya kenapa?"
"Kenapa?" ujar Ratu mengulangi pertanyaan Harry.
"Karena, karena aku ... adalah ... CEO-mu! Hahaha!"
Wajah Ratu pun tiba-tiba meradang, namun ia tak ingin marah dengan memperlihatkan tawanya.
"Haha tidak mungkin! Tidak mungkin!"
"Tidak mungkin! Hahahah."
"Harry kau bukanlah pak Harry CEO-ku! Hahaha!"
"Hahaha!"
Gubrak
"Aaaaw!"
Rambut berantakan, punggung terjerembab ke lantai dan kepala yang terantuk nakas.
"Ah, sial! Aku bermimpi!"
*
Bersambung~