Menghilang

1845 Words
Satya menyelesaikan makannya menyesap anggur di hadapannya hingga tandas. Ia menatap Kinan yang masih menghabiskan makanannya. Satya tersenyum menatap gadis itu, ia mengusap tangan Kinan yang duduk di hadapannya. "Aku tinggal sebentar ya ke toilet ya." Kinan mengangguk, menatap Satya pergi meninggalkannya. Ia menyudahi acara makannya, lalu mengambil ponsel dari dalam tasnya. Gadis itu menghidupkan ponselnya, melihat siapa yang menghubunginya. Hanya ada Mira dan Naya seperti biasanya. Kemana seseorang yang Kinan harapkan. Mengapa hati kecilnya berharap Romi menghubunginya, atau sedikit khawatir padanya dengan meninggalkan beberapa panggilan untuknya. Nyatanya tidak ada, Romi hanya membaca pesannya tanpa menghubunginya. Kinan memukul kepalanya merasa bodoh, apa yang tengah ia pikirkan. Romi pasti sedang menikmati waktunya tidak menjaga dirinya. Kinan menopang dagunya dengan tangan sambil menatap orang- orang yang tengah berada satu restauran dengannya. Kinan mengerutkan dahinya saat beberapa orang menggunakan setelan jas mendekatinya dan berdiri di hadapan Kinan dua orang pria. Lalu disusul seorang pria yang duduk di hadapannya. Kinan mengerutkan dahinya ia menatap datar pria yang ia ingat adalah bawahan mafia itu. "Maaf mengganggu makan malam anda Nona, bisa ikut dengan kami?" Kinan mengerutkan dahinya menatap pria di hadapannya bertanya dengan bahasa yang Kinan bisa pahami. "Kemana? Aku tidak mengenal kalian. Jangan menggangguku!" Kinan menatap pria lainnya yang tampak berjaga mengelilingi dirinya. Ia merasa takut dengan para pria ini. Kinan menatap Satya yang tidka kunjung datang. Gadis itu meremas tasnya merasa takut mulai menyelimutinya. "Nona mau ikut atau tidak, kami tetap akan membawa Nona. Nona ingin kami melakukan cara kami, atau ikut dengan kami secara baik- baik." Kinan membeku. Apa maksud pria itu ia tidak memiliki pilihan. Siapa para pria ini, mengapa mereka seakan ingin menculik Kinan. "Siapa kalian? Jangan mendekatiku, aku akan teriak." ancam Kinan sambil menatap arah toilet, namun Satya belum juga tiba. Kinan beranjak dari duduknya namun dengan cepat pria yang ada di belakang Kinan menahan pundaknya. Alex menyemprotkan cairan ke arah wajah Kinan, dalam beberapa detik Kinan tak sadarkan diri. Alex memerintahkan para asistennya untuk mengangkat Kinan. Ia meraih tas Kinan dan pergi dari tempat itu. Hanya sedikit informasi, restauran itu adalah milik keluarga Darko dan Samuel. Jadi, cukup mudah untuk mereka melakukan apapun disana. Tanpa ada yang menghalangi mereka, tubuh Kinan masuk ke dalam mobil dan bertepatan Satya keluar dari toilet mendekati meja mereka. Ia melihat Kinan tidak ada disana. Satya duduk di bangkunya, mungkin Kinan sedang berada di toilet. Ia akan menunggu Kinan sebentar. *** Romi sedang berada di sebuah bar menikmati minuman disana. Ia sedang menikmati kesendiriannya, ia akan menunggu hingga Kinan pulang. Romi melirik jam tangannya sudah hampir tengah malam. Kinan belum juga kembali, atau gadis itu sudah kembali tapi dirinya tidak tahu. Romi mencoba melihat radar yang mendeteksi keberadaan Kinan, yang berada di ponselnya. Ponsel Kinan sudah aktif dan berhenti di salah satu tempat yang cukup jauh dari kediaman mereka. Romi mengerutkan dahinya melihat hal itu, mengapa Kinan masih berada di tempat yang jauh. Bahkan ini sudah mendekati tengah malam, meskipun di negara maju, tapi Kinan berasal dari Indonesia. Dan itu membuat Romi beranjak dari duduknya keluar dari bar tersebut. Ponselnya berbunyi, Satya memanggil dirinya. Romi mengerutkan dahinya, Apa yang pria itu lakukan dengan menghubunginya. "Hallo." "Hallo, ini Romi, asisten Kinan kan?" Romi menjauhkan ponselnya menatap ponsel tersebut dengan dahi berkerut dalam. "Ya," "Loe pikir gue gak tahu, Kinan ada sama Loe kan?" Romi menghentikan gerakan tangannya yang hendak membuka pintu mobil. "Kenapa dengan Kinan?" pertanyaan itu keluar dari mulut Romi, ia tidak menjawab tuduhan yang Satya katakan untuknya. "Katakan, kemana loe bawa Kinan?" suara Satya terdengar tergesa- gesa disana. Romi mengepalkan tangannya memegang erat ponselnya lalu menutup panggilan itu. Ia melihat posisi Kinan terakhir kali, ponselnya masih aktif dan masih tetap berhenti disana. Ia masuk ke dalam mobilnya menuju tempat dimana ponsel Kinan menunjukkan arah. Ia melaju dengan kecepatan tinggi. Romi merasa takut, jika terjadi sesuatu pada Kinan, ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Sementara Satya menatap ponselnya kesal. Romi mematikan panggilannya secara sepihak membuatnya kesal. Pria itu benar- benar menjengkelkan, tidak saat bertemu langsung, bahkan saat di telepon pun ia sangat menjengkelkan. Satya masuk ke dalam mobilnya menjauhi restauran itu. Ia kembali ke apartemennya, tanpa tahu jika Kinan dalam masalah. *** Romi menghentikan mobilnya cukup jauh dari sebuah rumah yang terletak cukup jauh dari pusat kota. Rumah itu lebih terlihat seperti istana, besar dan lebar. Di kelilingi tembok tinggi yang membuat siapapun melewatinya tidak bisa melihat bagian dalamnya. Bangunan ini lebih terlihat seperti mansion, atau pentahouse. Romi mengusap dagunya berpikir. Mungkinkah Kinan memang berada disana, tapi mengapa Kinan bisa ada disana. Romi menatap pintu utama bangunan itu, banyak penjaga yang berjaga di luar. Jelas sangat sulit masuk ke dalam bangunan tersebut. Romi terdiam disana cukup lama, ia mengambil ponselnya kembali menghubungi Satya. Memastikan jika Kinan memang tidak bersama Satya. "Hallo." panggilan Romi langsung di jawab oleh Satya. "Ada apa?" jawab Satya kesal. "Apa benar Kinan memang tidak bersamamu?" ucap Romi bertanya memastikan. "Loe gila, ya iyalah. Kinan sama loe jelas aja dia enggak sama gue!" ucap Satya sambil meninggikan suaranya. Romi memijit pelipisnya pusing. Bagaimana jika Kinan memang benar ada di dalam mansion ini. "Dia tidak bersama saya, apa kamu tahu kemungkinan dimana Kinan berada?" pertanyaan itu membuat Satya terdiam cukup lama. "Maksud loe? Kinan enggak ada sama loe gitu?" tanya Satya terdengar panik. "Ya," "Jangan bercanda!" ucap Satya cepat. "Saya tidak bisa bercanda!" ucap Romi datar. "Jadi, Kinan dimana?" Romi menghela nafasnya kasar mendengar pertanyaan Satya. "Bukankah itu yang harus saya tanyakan padamu? Kamu yang membawanya, seharusnya kamu yang lebih tahu dimana Kinan sekarang!" jelas Romi membuat Satya terdiam. "Gue, gue juga enggak tahu dia dimana, saat kami sedang makan malam, gue cuma tinggal dia ke toilet sebentar. Setelah itu dia tidak ada disana, gue pikir loe pelakunya!" jelas Satya membuat Romi mengembuskan nafasnya berat. "Apa kamu bertemu dengan seseorang? Atau kamu punya seorang musuh disini?" tanya Romi memastikan apa yang terjadi. "Musuh? Ya enggak lah, gue juga baru di Itali!" jawab Romi jujur. "Tapi, tunggu_," Romi menegakkan tubuhnya mendengar ucapan Satya yang menggantung. "Apa?" "Gue bertemu dengan teman lama gue, kami berbincang sebentar. Dia juga bersama pamannya, hanya itu!" jelas Satya membuat Romi berpikir. "Siapa?" tanya Romi penasaran. "Maksud loe?" "Siapa teman kamu itu, apa mereka orang- orang penting?" Satya menghela nafasnya di ujung telepon. "Tentu saja, pamannya seorang mafia!" Romi mengusap wajahnya kasar, ia menghela nafasnya berat. "Kamu bisa datang ke alamat yang saya kirimkan sekarang?" Satya terdiam mendengarkan. "Alamat apa? Dimana? Apa Kinan ada hubungannya dengan ini?" "Akan saya kirimkan alamatnya, datanglah secepatnya!" Romi menutup panggilan itu mengirimkan lokasi dimana ia berada. Kemungkinan besar Kinan ada di dalam mansion itu. *** Kinan mengerjabkan matanya menyesuaikan cahaya yang masuk menyinari kedua matanya. Kinan merasakan kepalanya sangat pusing. Ia mendesis memegang kepalanya mencoba duduk bersandar. Ia menatap sekeliling ruangan itu. Kinan berada di dalam kamar, ia mengerutkan dahinya bingung. Mengapa ia bisa di dalam kamar, kamar yang tidak biasa. Seluruh kamar itu memiliki furnitur yang sangat mewah. Kamar luas itu membuat Kinan merasa takut memikirkan hal- hal buruk yang akan terjadi padanya. Kinan menatap sekeliling kamar, lampu kamar itu redup dan hanya memiliki satu lampu yang menyala di ruangan sebesar itu. "Kamu merasa pusing?" suara itu berasal dari arah kanan Kinan, suara pria yang tak terlihat mendekatinya. Kinan menatap lekat siapa yang ada di sana. Darko mendekati Kinan membuat Kinan melebarkan matanya menatap terkejut. Darko tersenyum smirk mendekati Kinan yang terlihat terkejut melihatnya. "Ada apa?" Kinan menarik selimut dan menutupi tubuhnya. Ia mendadak takut melihat pria yang Satya katakan adalah seorang mafia. "K-kamu, kenapa aku bisa ada disini?" Kinan menatap Darko dengan tatapan gugup. Ia merasa tubuhnya mulai bergetar takut karena Darko semangkin mendekatinya. "Selamat datang di istanaku, kamu juga bisa menganggap semua ini milikmu!" Kinan meremas selimut di pelukannya. Ia melihat sekeliling kamar itu mencari jalan keluar. "Aku tidak menginginkan semua itu, jangan mendekat. Aku ingin pulang, dimana pintu keluarnya?" Kinan mencari dimana pintu kamar itu. Ia bergerak mundur dan perlahan- lahan hampir menuruni ranjang king size itu. Darko mempercepat langkahnya menarik Kinan agar tidak lari. "Lepas, tolong .... tolong ..." teriak Kinan di dalam kamar itu. Darko hanya bisa terkekeh melihat Kinan teriak di hadapannya. "Jangan membuat dirimu lelah Honey, tidak akan ada yang mendengarmu!" Darko mengusap dagu Kinan, turun ke lehernya, dan terus turun hingga ke belahan dadaanya. Kinan menepis tangan Darko membuat pria itu tertawa. "Jangan menyentuhku, breengsek!" umpatnya tepat di hadapan Darko. Posisi keduanya saling berhadapan di atas ranjang. Darko masih menggunakan kemejanya, tanpa jas. Ia menggunakan kemeja hitam yang sudah terbuka setengah kancingnya hingga menunjukkan dadaanya yang berotot. Ada tato yang terlihat di bagian kanan tubuh pria itu, Kinan bisa melihatnya karena kemeja Darko terbuka. "Aku tidak butuh ijinmu, apapun yang aku mau, harus aku dapatkan. Dan kau adalah milikku!" Kinan meludahi wajah Darko karena ucapan pria itu. Darko mengusap wajahnya, lalu menjilatnya membuat Kinan menatapnya takut. Tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa takutnya. "Kamu semangkin sexy jika bersikap seperti itu. Baiklah, kita tidak perlu terburu- buru sayang, tidurlah. Aku masih banyak pekerjaan!" Darko mengusap pipi Kinan lalu menjauhi gadis itu. Kinan menutup tubuhnya dengan selimut tebal di hadapannya. Ia mencari tasnya, tapi ia tidak menemukannya di sana. Saat- saat seperti ini, Kinan sangat merindukan Romi. Ia takut sendiri disini, apalagi bersama pria dengan tatapan menakutkan itu. Kinan tidak bisa bayangkan apa yang akan pria itu lakukan. Kinan mengusap ujung matanya yang berair. Ia merindukan Naya dan Mira, mengapa hidupnya sesulit ini. "Mir, gue kangen, gue takut!" lirihnya sambil mengusap air matanya. Suara pintu terbuka membuat Kinan mengusap air matanya cepat. Ia menutup tubuhnya dengan selimut dan menyisakan kepalanya saja. Dua orang pelayan wanita masuk ke dalam kamar tersebut. Satu wanita membawa troller berisi makanan dan satu lagi menenteng paper bag cukup besar di tangannya. Dua wanita itu membuka paper bag itu mengeluarkan isinya. Kinan melotot melihat apa yang ada di dalam paper bag itu. Sebuah gaun tidur berwarna merah membara, lengkap dengan pakaian dalamnya. Kinan menatap horor kedua pelayan itu seakan meminta tolong pada keduanya. "Permisi, apa aku bisa meminta handphoneku?" dua pelayan itu hanya menatap Kinan, lalu menggeleng dan melanjutkan pekerjaannya. "Maaf Nona, kami tidak bisa memberikannya. Mr. Darko menyuruh kami untuk membantu Nona menggunakan pakaian ini." Kinan merasakan sesak di dadaanya ia seakan sulit bernafas melihat gaun tidur yang memang tidak terlalu sexy. karena gaun yang mereka bawa memiliki ukuran yang panjang. Namun di bagian dadaanya sangat rendah dan bagian lengannya hanya memiliki tali sebesar spaghetti. Kinan merasa semua ini benar- benar gila. Apa pria itu berpikir ia akan semudah itu untuk melayaninya. Kinan menghembuskan nafasnya kasar menarik gaun yang ada di ranjang itu lalu mengoyaknya dengan beberapa bagian. Dua pelayan itu menatap Kinan terkejut, ia melotot kepada dua pelayan wanita di hadapannya ini. "Pergilah, katakan pada Tuan mu, aku tidak akan memakai barang apapun darinya." teriak Kinan membuat kedua pelayan itu undur diri dari hadapannya. Kinan menatap makanan yang sudah di tata rapi di atas meja di dekat ranjangnya. Ia benci semua ini, Kinan merasa takut, mengapa ia tidak mengikuti apa yang Romi katakan. Kinan menunduk membenamkan wajahnya di antara kedua kakinya yang di tekuk. "Romi, aku takut!" lirih Kinan sambil mengusap air matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD