Part 10. Luka di Mata Anak Tiri

1380 Words
BAB 10. Luka di Mata Anak Tiri Rasanya dadaku ini seperti mau meledak. Aku sangat berharap Hamish akan ada di pihakku dalam menghadapi Yona, yang lincah dan licik, mendesis seperti ular. Menyusup lalu menebar racun yang mematikan kepada mangsanya. Sayangnya pembicaraan mengenai Bi Sumi kemarin, telah menciptakan jarak di antara kami. Sejak itu Hamish seperti menghindariku. Setiap kali pulang dari kuliah dia selalu langsung masuk kamar, dan mengunci pintu. Aku tidak memiliki keberanian untuk mengetuk dan menyapanya. Semalam aku tidak bisa tidur, hatiku gelisah. Ditambah, saat aku hendak mematikan alarm di ponsel Mas Gibran dini hari tadi, aku justru membaca pesan w******p yang dikirim Novita selepas isya kemarin. "Ayah" "Sekarang sudah di Gresik ta? "Besok ayah di rumah ta?" "Aku mau main ya, Yah." "Bisa jemput ta?" Sekarang kami sudah berjauhan, alasan Novita untuk minta dijemput tentu sangat logis, meskipun sebenarnya dia bisa naik angkutan umum, atau transportasi online. Aku tidak akan pernah bisa menolak atau mengolok Mas Gibran lagi jika hendak menjemput Novita, karena memang jaraknya memungkinkan. Aku mendesah berat. Begini amat rasanya menikah dengan duda cerai yang mempunyai anak. Jika saja ini terjadi sebelum Nadhira dan Nadhifa lahir, mungkin aku akan memilih melepaskan semuanya. Aku masuk ke ruang perpustakaan untuk menenangkan diri. Senyap. Jam siang begini anak-anak sedang tidur di kamar mereka. Mas Gibran juga sedang mendengkur keras di kamar kami. Sedangkan Bi Sumi, entah apa yang dia lakukan. Aku sedikit enggan masuk ke dapur, aku malas berurusan dengan dia. Hanya akan menambahku frustasi, karena status kami seperti terbalik, siapa yang majikan, siapa yang pembantu. Aku memilih satu bacaan yang belum pernah k****a. Lalu duduk di sofa. Saat itulah, kulihat ponsel Mas Gibran terbuka, sebuah panggilan masuk. "Novita." Gumamku. Hatiku berkecamuk, membangunkan Mas Gibran atau tidak? Belum lagi jernih otakku, suara di ponsel berhenti. Disusul dengan tulisan text di whatsappnya. "Kamu sudah gak mau mengangkat panggilan dari anakmu, Mas? Anak kandungmu sendiri? Terlalu sibuk ya sama gundik dan anak-anaknya itu!" Astaghfirullah, ini pasti Yona lagi. Keji sekali pilihan kalimatnya. Aku mengabaikan. Sayangnya dia mengirimkan pesan berikutnya, "Telpon balik, atau aku akan ke sana mengobrak-abrik seisi rumah itu? Lagian Novita juga punya hak untuk tinggal di rumah Mas kan? Dia ahli waris yang sah. Dia lebih berhak dibanding si Rizki anak tirimu itu!" Sekali lagi, aku mendesah berat. Amarahku kembali naik ke ubun-ubun. Otakku terasa mendidih. Sial sekali nasibku, masuk ke perpustakaan niat mau mendinginkan hati, yang didapat justru panas yang tak berkesudahan. Aku berdiri. Kubawa ponsel Mas Gibran ke kamar. Berniat menaruh di dekat telinganya, agar jika ponsel itu bunyi lagi, Mas Gibran mendengarnya. Begitu aku masuk, kulihat Mas Gibran sudah membuka kedua matanya. Tersenyum kepadaku. Untuk sesaat aku tertawan pada senyumnya. Memang manis, kata hatiku. Pantes saja si Yona tidak mau menyerah untuk merebutnya kembali. Tangan Mas Gibran menepuk bantal di depannya. Memberiku isyarat agar aku ikut tiduran di sampingnya. Lagi-lagi aku mendesah berat. Tidak tertarik pada ajakannya. Sebagai gantinya aku mengulurkan ponselnya. "Di mana?" Tanyanya. "Mas nyari?" Aku balik bertanya. Mas Gibran mengangguk. "Ada di perpus,” sahutku, "bukalah." "Ada apa?" Mas Gibran menatapku. "Novita minta dijemput, kok Mas gak jemput dia?" "Alah iya, Mas lupaa.” balasnya. Tidak terasa, dua puluh menit berlalu. Kami dikejutkan oleh suara klakson yang melengking tak tahu adab. Suara teriakan tetangga yang baru seminggu lalu anggota keluarganya melahirkan, terdengar sangat jelas. "Apa itu?" Buru-buru Mas Gibran meraih kaosnya. Dia memang suka tidur tanpa mengenakan kaos. Paling mentok ya kaos dalam. "Entah,” sahutku. Buru-buru kami keluar kamar, dan berlari ke depan rumah. Saat kami sampai, Hamish dan Haura sudah ada di sana. Begitu juga Bi Sumi yang berada di ambang pintu gerbang. Pasti dia baru membukakan gerbang. Sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan pintu pagar. "Ada apa ini?" Tanya Mas Gibran kepada Pak Imron, tetangga samping rumah. Pak Imron adalah orang tua dari Mbak Ambar, tetangga kami yang baru melahirkan seminggu yang lalu. "Maaf Mas Gibran. Mas Gibran dan Mbak Gita kan tahu, cucu saya baru lahir seminggu yang lalu. Tidurnya masih belum teratur. Terpaksa Ambar harus melek sepanjang malam. Ini dia baru bisa tidur sekitar lima menit, eh sudah dikejutkan oleh klakson bertubi-tubi dari mobil itu." Panjang lebar Pak Imron menjelaskan. Aku menarik napas berat mendengar itu, Yona memang tidak punya adab! "Oh iya, maafkan kami, Pak." Sahut Mas Gibran. Tampak jelas sekali rasa malu dan bersalah dari wajahnya. "Tolonglah, hargai kami. Kita sebagai tetangga saling menjaga,” lanjut Pak Imron, "kasihan cucu dan anak saya, mereka jadi terbangun lagi." "Iya, Pak saya mewakili semua keluarga, meminta maaf kepada Bapak dan keluarga. Kami berjanji tidak akan terulang. Maafkan kami." Sahut Mas Gibran. Pak Imron mengangguk. Sekilas matanya tajam menatap wanita yang ada di dalam mobil. "Yona, keluarlah, dan minta maaf." Panggil Mas Gibran. Yona hanya mendengus kesal. Dia keluar dari mobil, tetapi kemudian membanting pintu dengan kasar dan masuk ke rumah. “Astaghfirullah." Kudengar Pak Imron bergumam sambil mengelus dadanya. Aku bergidik, manusia laknat kayak Yona, bagaimana bisa Mas Gibran dulu menikahinya? Selang beberapa menit kemudian, kulihat Novita juga turun dari pintu mobil yang satunya. Langsung mengikuti jejak ibunya ke dalam. *** "Kamu keterlaluan sekali, Yona!" Bentak Mas Gibran setelah meminta Haura membawa anak-anak bermain di ruang keluarga. Seumur hidup, baru kali ini aku melihat Mas Gibran marah. Dia yang selalu lembut, ah sungguh tidak kuduga ternyata dia bisa marah juga. Mungkin karena Yona memang sudah keterlaluan. Kami hanya bertiga di ruang tamu. "Kenapa? Semua ini salahmu! Kenapa Mas mengabaikan telepon Novita? Mas bahkan tidak peduli lagi sama anak sendiri." Sinis, Yona menjawab. "Aku kurang peduli bagaimana lagi sih? Aku berkali-kali mencoba menghubungi Novita, bahkan ketika mau pindah pun mencoba meneleponnya, tetapi gagal semua karena nomorku diblokir." Sahut Mas Gibran. Dia benar. Sejak kejadian malam Yona mengirimi poto pamer d**a itu, nomor Mas Gibran memang diblokir dari nomor Novita. Dan itu dilakukan oleh Yona. "Terus kenapa Mas tidak datang ke sana? Kenapa Mas tidak mencari dia? Atau Mas kan bisa membuka blokiran nomorku?" Runtutan pertanyaan yang disertai emosi itu sungguh memekakkan telingaku. Oho… jadi itu maksudnya? Memblokir nomor Mas Gibran dari nomor Novita, agar Mas Gibran membuka blokiran nomornya? Dasar licik! "Ya ngapain, juga. Kalian-kalian sendiri yang memblokir kok!" Mas Gibran tidak kalah sengit. Tumben. "Fix! Mas memang sudah tidak peduli sama anak sendiri, sejak ada Gita dan anak-anaknya. Sibuk sih ya! Ampek kebutuhan anak sendiri diabaikan! Anaknya kekuarangan uangpun tidak peduli. Uangnya habis buat ngurusin anak orang sih. Lebih peduli anak orang memang ketimbang anak sendiri." Panjang lebar Yona nyerocos tidak jelas. Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya. Tetapi aku tetap berusaha menahan diri, selama dia tidak menyolekku secara langsung aku akan tetap begini. "Kamu jangan pura-pura tuli deh, Gita! Kamu harus adil! Rizki itu anakmu! Dia gak ada nasabnya sama Mas Gibran. Anak kandung Mas Gibran itu ya Novita! Dia yang lebih berhak atas nafkah dari ayahnya, bukan Rizki! Mestinya kamu tahu itu dong!" Tuding Yona. Telingaku terasa panas. Darahku mendidih. Ini saatnya, karena dia sudah berani menyenggolku kali ini. "Tahu apa kamu tentang anak-anak kami?" Aku menyipitkan mata menahan emosi. Aku tidak bisa diam lagi. Dia sudah mengusikku. "Ya tahulah!" "Aku sarankan ya, Yona." Desisku, "jangan pernah mengusik keluargaku, terutama anak-anak kami. Jika kamu berani melakukannya, aku tidak akan segan-segan bertindak!” tandasku, tegas. "Kamu mau apa? Dasar gundik!" Umpatnya. "Yona, stop ya!" Teriak Mas Gibran. "Sebaiknya kamu keluar dari rumah ini jika cuma mau cari masalah." "Mas kenapa belain dia sih? Aku kan benar, Mas!" Seru Yona. "Kamu sudah keterlaluan, Yona. Sekarang cepatlah keluar." Lanjut Mas Gibran, seraya tangan kanannya menunju pintu keluar. "Ayah?" Tiba-tiba Novita muncul. "Novita?" Desis kami hampir bersamaan. "Novita anak, Mama." Yona langsung menghambur dan merangkul bahu Novita. Wanita itu menangis di pundak putrinya. "Kamu lihat kan? Ayahmu itu sudah dikuasai oleh ibu tirimu. Sejak dulu, ibu tirimu itu memang jahat, Sayang." Yona semakin tergugu. "Kita pulang, Sayang. Ayahmu sudah dibutakan oleh wanita itu, sehingga tega mengusir Mama." "Kenapa Ayah melakukan itu?" Tanya Novita. Suaranya lirih hampir berbisik. Airmatanya menetes di kedua pipi mulusnya. "Novita?" Hatiku perih, dan gamang melihat anak itu tampak terluka. "Ini salah paham, Novita. Ini tidak seperti yang kamu lihat,” kata Mas Gibran, "Ayah akan jelaskan padamu." "Tidak perlu." Sahut Novita dingin, tanpa menatap ayahnya. Dia justru menatapku dengan sorot mata penuh kebencian. "Ayo Ma, kita pulang." Ajaknya kemudian kepada Yona. Tatapannya semakin sinis menghunjam jantungku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD