Part 9. Tinggal Serumah

1254 Words
Part 9. Tinggal Serumah Flash Back Beberapa Tahun Silam (POV 3) Sudah tiga bulan. Setiap hari Gibran harus pergi ke rumah Yona untuk mengiriminya makanan buatan Bu Hasna. Sejak itu pula, Bu Hasna selalu mewanti-wanti agar Gibran putranya, langsung pulang begitu makanan diterima oleh Yona. "Tidak perlu berhenti menemani Yona seharian Apalagi jika anak-anak, Hamish dan Haura, tidak ada yang bisa ikut. Tidak baik." Begitu Bu Hasna selalu menegaskan. "Tapi kan kasihan Bu, Yona sendirian di rumah besar begitu, gak ada keluarganya, tidak punya makanan." Sahut Gibran ngeyel. "Jadi Gibran harus menemaninya, terutama saat dia makan." "Pembantunya sudah tidak ada semua?" "Tidak. Tentu saja, kan sudah tidak ada yang menggaji." "Apa kamu nggak ada kenalan yang bisa ngasih dia kerjaan gitu? Biar ada kesibukan, dan punya biaya kebutuhan hidupnya sendiri." Tanya Bu Hasna. Kedua tangannya masih sibuk memasukkan nasi dan lauk ke dalam rantang. "Ibu ini ada-ada saja. Yona mana mau kerja. Dia kan tidak pernah bekerja sebelumnya." Sahut Gibran. "Lha tapi kalau kondisinya seperti ini, kalau dia tidak bekerja mau menggantungkan hidup ke siapa? Kamu? Kamu juga kan punya tanggungan Hamish dan Haura!" Sengit Bu Hasna. "Kamu awas ya kalau sering-sering dengan dia, lama-lama bisa jatuh cinta. Ibu tidak setuju kamu nikah sama dia!" Gibran tergelak menanggapi panjang kali lebar kalimat Bu Hasna. Mana mungkin dia jatuh cinta kepada Yona? Sepupunya sendiri. Nasi dan lauk sudah tertata dengan aman di rantang. "Nih antar ke Yona. Ajak Hamish atau Haura biar kalian tidak berdua-duaan." Cetus Bu Hasna. Gibran menurut. "Bilangin dia suruh cari kerja!" Kata Bu Hasna lagi saat Gibran mulai berjalan ke garasi. "Sudah pernah Gibran ajak kerja di Market kita Bu, tapi Yona menolak." Sahut Gibran tetap kalem. "Kalau tidak mau di tempat kita, ya cari di tempat lain." "Iya Bu, nanti Gibran bilangin,” balasnya. *** Di dalam mobil, Hamish kecil tampak diam saja. Selama ini dia selalu enggan jika ayahnya mengajak ke rumah Tante Yona. Tetapi kali itu nenek yang menyuruhnya ikut, terpaksa dia ikut. Hamish baru berusia tujuh tahun ketika itu, tetapi hati kecilnya sudah dipenuhi kekhawatiran, jika Tante Yona akan menggantikan posisi ibunya yang meninggal hampir dua tahun lalu. "Kenapa sih, Yah, kita harus mengantar makanan ke Tante Yona setiap hari?" Haura yang melihat kakaknya tidak nyaman, mewakilinya bertanya kepada ayahnya. Gibran tersenyum mendengar pertanyaan putrinya. "Karena, Tante Yona tidak punya makanan, Sayang. Jadi kita harus berbagi. Kasihan Tante Yona kelaparan." Balas Gibran lembut. Sebenarnya Yona memiliki kekayaan yang berlimpah, warisan dari kakeknya. Ayah Yona mewarisi peternakan ayam yang lumayan besar, sayangnya sejak kedua orang tuanya bercerai, peternakan tersebut tidak dikelola dengan baik, karena ayahnya sibuk membangun bisnis dengan istri barunya. Sedangkan ibunya juga sibuk sendiri, sehingga peternakan mengalami kebangkrutan. Sialnya, uang panen terakhir dari usahanya itu, sama Hariyanti, ibunya Yona, dipakai semua untuk membiayai usaha bareng calon suaminya di luar kota, yang ternyata gagal di tengah jalan. Tinggallah Yona seorang diri, tanpa uang tersisa padanya, sehingga dia tidak bisa lagi membayar gaji para pembantunya. Jangankan untuk membayar mereka, untuk makan sendiri saja tidak bisa. Yona bertahan hidup dengan kiriman makanan dari sepupunya, Gibran. Ya, Yona dan Gibran adalah sepupu jauh. Neneknya Yona dan neneknya Gibran adalah kakak beradik. "Kamu belum sarapan?" Tanya Gibran begitu sampai di rumah Yona dan melihat gadis itu tidak bersemangat. Yona menggeleng. "Tidak ada makanan sama sekali?" Tanya Gibran lagi. Yona mengangguk, air matanya menetes di pipi. "Uang?" Lagi-lagi Yona menggeleng. "Ya sudah jangan menangis, ini kubawakan makanan, yuk makan dulu." Dengan cekatan Gibran mengambil piring untuk Yona. "Terima kasih." Kata Yona saat Gibran mengulurkan piring dan sendok kepadanya. "Makanlah." Yona makan dengan pelan. Dia tidak pernah menyangka, hidupnya yang sejak kecil bergelimang harta, kini berbalik 180 derajat. Hidupnya yang biasanya ramai dengan kehadiran teman-temen dan kerabatnya, sekarang terasa sepi dan seorang diri. Hanya Gibran dan Bu Hasna yang peduli. Bahkan ibunya pun meninggalkannya, demi kekasihnya. Yona mendesah berat. Suap demi suap ia masukkan ke mulutnya dengan diiringi air mata yang berkali-kali jatuh ke pipinya. Melihat itu Gibran merasa tidak tega, diusapnya pundak Yona, yang justru semakin membuat gadis itu bergetar dan rapuh. “Jangan menangis, aku ada di sini untukmu.” Ucap Gibran pelan, tanpa memikirkan efek dari ucapannya. Seharusnya Yona merasa malu menerima perlakuan baik dari Gibran dan Hasna, karena selama ini, dia tidak pernah sekalipun peduli kepada mereka. Bahkan ibunya terkesan memusuhi. Selalu menjelek-jelekkan Hasna dan keturunannya, sehingga di benak Yona mereka pun orang jahat. Mana pernah dia menyangka ternyata justru mereka yang paling peduli dengan keadaannya sekarang? Selesai makan, Yona menyimpan sisa makanannya ke wadah yang tertutup dengan aman. Gibran mencuci rantangnya untuk dia bawa lagi saat pulang nanti. Sore kemudian, Gibran berpamitan pulang. "Tidak bisa kah kamu tidur di sini?" Pinta Yona. "Kenapa? Nanti ibu nyari kalau aku nginep." Sahut Gibran kalem. "Tapi kalau malam aku takut di rumah sendirian." Kata Yona. Dari wajahnya terlihat kecemasan. "Kalau gitu, kamu berkemas saja. Tidur di rumah kami saja." "Aku… "Kenapa?" Yona menunduk. Dia tidak memiliki keberanian untuk berbicara. "Apa?" Kejar Gibran. "Aku butuh uang untuk membeli kebutuhan wanita." Akhirnya Yona menemukan kata-kata yang tepat. Gibran tersenyum. Dikeluarkannya dompet dari dalam tas kecil di pinggangnya. Lalu mengeluarkan selembar uang seratus ribu Rupiah. Lalu mengulurkan kepada Yona. "Terima kasih. Jika nanti tanah bekas peternakan laku, aku akan mengganti semua uangmu yang kupakai." Katanya. Gibran tersenyum. "Kenapa kamu berpikir untuk mengganti? Kita ini saudara." Sahut Gibran. Dalam hati dia merasa trenyuh dengan nasib yang menimpa sepupunya itu. *** Bu Hasna merasa sangat kecewa melihat Gibran membawa Yona ke rumahnya. Sudah sebulan tinggal di sana, Yona selalu bangun di atas jam sembilan setiap pagi. Tidak peduli Bu Hasna masak sendirian di dapur. "Kamu nggak ingin kerja apa, Yon?" Tanya Bu Hasna di satu pagi siang, ketika mereka berada di meja makan. "Budhe apaan sih? Yona kan belum pernah bekerja, ya susahlah nyari kerja sekarang." sahutnya jengkel. "Ya terus kamu mau sampai kapan begini terus? Bangun siang, kamu itu gadis, biasakan bangun pagi." Kata Hasna. "Budhe kenapa sih? Mas Gibran aja nggak masalah kok. Jangan khawatir, Yona masih punya tanah bekas peternakan empat hektar. Kalau laku, kekayaan kalian juga gak ada apa-apanya, dibanding punya Yona. Tenang aja, Yona pasti akan ganti semua yang sudah Yona makan di sini!" Sahut Yona. Bu Hasna memilih diam. Sajak dulu memang begitu, Yona tidak pernah bisa dinasehati. Selalu membanggakan hartanya. Bahkan sudah jatuh miskin begitu rupa, tetap saja egois. Sama persis seperti Hariyanti, Ibunya. *** "Budhe sepertinya tidak suka sama aku" Yona menghempaskan pantatnya di sofa samping Gibran. Kini keduanya ada di ruang tamu. "Ibu hanya ingin yang terbaik buatmu." Sahut Gibran. "Tidak. Budhe Hasna memang tidak menyukai kami sejak dulu." "Kamu salah paham." "Tidak juga. Budhe memang tidak menyukaiku." Yona terisak. Gibran diam, sungguh tidak tepat membantah Yona yang sedang terluka. "Ah, mungkin memang lebih baik Yona terima saja siapa pun yang ngajak nikah!" Gumam Yona lagi, "jika saja Yona punya suami, pasti tidak akan begini nasib ini." Melihat itu, hati Gibran tersentuh. Dia memang paling tidak tega melihat wanita yang tengah terpuruk dan menangis di depannya. Tetapi membiarkan Yona menikah dengan sembarang pria, hanya untuk menyelamatkan dirinya, itu bukan pilihan tepat. Iya kalau dia bertemu pria yang tepat, jika sebaliknya? Tidak. Gibran tidak akan membiarkan sepupunya itu semakin terpuruk. *** Malam itu Gibran berpikir keras, bagaimana caranya agar Yona dan ibunya bisa berbaikan. Gibran tahu, Yona memang keras kepala, dan tidak menghormati ibunya. Sejak dulu keluarga mereka tidak pernah akur. Dan Gibran ingin mengakrabkan kembali tali persaudaraan mereka kembali. Tapi bagaimana? Tiba-tiba ide untuk menikahi Yona melintas di benak Gibran. Mungkin dengan menikahi Yona semuanya bisa diperbaiki.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD