Semua tetangga yang lewat depan rumah kami selalu menoleh ke arah rumah kami, mereka pasti bercerita tentang kami yang berhutang kepada juragan Danu di kampung ini. Aku tidak tahu mengapa Ummi dan Abih bisa berani seperti itu berhutang kepada Juragan Danu yang terkenal sangat emosional dan tidak ada sopan santun itu.
Aku duduk di hadapan Ummi dan Abih, sayangnya disaat Ummi dan Abih mendapatkan masalah hutang piutang seperti ini aku malah tak ada uang sepersenpun, bagaimana aku bisa memiliki uang disaat Mas Fikram memberiku uang nafkah hanya 300k, paling banyak 500k. Sementara uang itu habis untuk kebutuhan rumah.
Ditambah lagi aku kehilangan semuanya, rumah yang ku cicil di Korea ternyata tanah sengketa dan bermasalah, hingga ditutup dan digusur pemerintah, uang ratusan juta yang sudah masuk ke rumah itu pun tidak bisa kembali, uang tabunganku juga habis karena harus bertahan hidup dengan nafkah 300k.
Hatiku sangat hancur, dunia kerja yang sudah ku susun rapi hancur begitu saja, hubungan yang ku anggap akan baik-baik saja malah seperti ini, rumah yang ku anggap akan menjadi aset dikemudian hari malah bersamalah. Lalu hal apa lagi yang akan membuatku bahagia?
“Ummi, Abih, kenapa semua ini terjadi? Apa alasan Ummi dan Abih berhutang pada Juragan Danu? Kan Ummi dan Abih tahu dia itu seperti apa.” Aku menggelengkan kepala dan berusaha tenang memikirkan bagaimana caranya bisa membayar hutang kepada Juragan Danu.
“Abih yang salah, Nak. Abih ikut investasi bodong yang memberikan angan-angan besar untuk keluarga kita, Abih akhirnya menjual tanah, uang penjualan tanah gak cukup untuk ikut investasi, jadi Abih pinjam ke Juragan Danu agar Abi bisa membayarnya, namun ternyata semua itu salah, Nak. Abih ditipu,” lirih Abi, ada yang tercekik ditenggorokan Abih sehingga Abih tidak bisa melanjutkan apa yang ingin ia katakan.
“Apa? Jadi berapa yang ditipu?”
“180juta.”
“Jadi hutang Abih di Juragan Danu berapa?”
“80juta. Dan, 100juta adalah uang dari penjualan sawah, Nak.”
“Astaga. Abih kenapa bisa punya pikiran kayak gitu? Abih gak pernah mikir konsekuensinya? Jadi, orang yang nipu Abih itu dimana sekarang?”
“Masih dalam tahap pencarian, Nak.”
Aku tak tahu lagi harus bagaimana, aku tidak pernah tahu ada rahasia yang Abih dan Ummi simpan selama ini, mereka berhutang pada juragan Danu yang tidak punya hati itu, bahkan menjual satu-satunya tanah milik mereka. Mata pencaharian Abih hanya ada di sawah itu, tapi sudah terjual apalagi yang bisa dilakukan?
“Kita jual rumah ini aja, Bih,” ucap Ummi yang sudah pasrah oleh keadaan, karena kami hanya punya rumah ini, meskipun rumah ini di jual pun setengah 10 persen dari hutang Abih ke juragan Danu tidak akan bisa terbayar.
Bahkan jika aku bekerja pun tidak akan dapat mengumpulkan uang sebanyak itu. Ya Allah, berat sekali ujianku, ditinggal suami, dihancurkan oleh keadaan dan kini dihancurkan lagi oleh kenyataan.
Aku menundukkan kepala, aku tak punya uang, jangankan 180juta, 1juta saja aku tidak punya.
“Lalu kita mau tinggal dimana, Ummi?” tanya Abih dengan tatapan putus asa.
***
Pagi menunjukkan pukul 10, aku sudah mencari banyak pekerjaan di sosial media, bahkan aku juga sudah tanya beberapa teman yang sekiranya dapat memberikanku pekerjaan, aku juga sudah menyebar beberapa surat lamaran kerja online dan mengisi link dibeberapa universitas yang ada di Surabaya dan berharap salah satunya diterima.
Aku harus bangkit dan aku tidak boleh terus menerus berada dititik terendah, Nada dan Mas Fikram saja sudah bahagia, sementara aku masih meratapi nasib.
“Nak, ini minum dulu,” kata Ummi memberikanku segelar teh hangat.
“Makasih, Ummi.”
“Kamu lagi apa, Nak?” tanya Ummi.
“Lagi nyari kerjaan, Ummi.”
“Emang bisa nyari kerjaan di hp?”
“Sekarang jamannya sudah gampang, Ummi. Serba online.”
Satu-satunya harapanku adalah ponselku yang masih bisa digunakan, ponsel yang cukup mahal dan ku beli lima tahun yang lalu sebelum aku menikah dengan Mas Fikram, hanya ini yang ku miliki. Jadi, aku mencari pekerjaan melalui ponsel ini.
“Kamu kan ada laptop, Nak. Kenapa gak pake laptop?” tanya Ummi lagi.
“Laptopnya udah usang, Ummi. Udah gak digunakan juga dari lima tahun yang lalu, pas tadi Syafa mau nyalain emang udah mati total.”
Ummi mengangguk dan tersenyum, lalu membelai rambutku. “Maafin Ummi dan Abih ya, Nak. Karena kami, kamu jadi kepikiran masalah hutang, tapi tenang saja Abih masih cari cara kok, Ummi juga akan telepon saudara Ummi yang dapat bantu Ummi.”
“Semoga saja saudara Ummi dan Abih gak lupa dengan kebaikan Ummi dan Abih ya, karena Ummi dan Abih suka membantu mereka juga dulu.”
Disaat aku sukses, aku memang bisa membeli apa saja, bahkan Ummi dan Abih pun dikenal sudah berkecukupan oleh semua orang di kampung, saudara-saudara Ummi dan Abih juga bergantung kepada kami, aku juga pernah punya mobil tapi sayangnya aku ikhlaskan mobil itu dan mengembalikannya dileasing karena kreditnya belum lunas.
Entah apa yang merasukiku dulu, kenapa dengan mudahnya ku lepas karirku dan menjadi wanita yang tidak punya apa-apa didepan Mas Fikram.
“Ummi, ada balasan dari tempat Syafa daftar jadi guru les, Syafa di suruh sejam lagi ke kota,” kataku dengan senyum yang mengambang.
“Masya Allah. Semoga keterima ya, Nak.”
“Iya, Ummi. Kalau memang kerjaan ini dulu yang Syafa temukan berarti rejeki Syafa hanya ada di sini, Syafa juga udah sebar lamaran kerja lagi di semua universitas di Surabaya, semoga salah satunya menerima Syafa ya, Ummi. Doain Syafa supaya Syafa bisa kayak dulu lagi.”
“Aminn Allahumma Aminn. Iya nak, pasti,” ucap Ummi mengelus rambutku.
“Ya udah, Syafa siap-siap dulu ya, Ummi.”
Ummi mengangguk.
Untungnya kampung halamanku cukup dekat dengan kota, hanya 20 menit perjalanan sudah tiba di kota, jadi aku bisa pulang balik kota desa setiap hari.
Aku mengenakan pakaian yang cukup casual dan rapi, masih banyak pakaian di lemariku, pakaian yang lima tahun lalu ku kenakan, aku tidak semua membawa pakaianku di Jakarta, masih banyak di sini.
Masih ada satu jam untuk bertemu, jadi aku harus bersiap.
Aku harus mempersiapkan mentalku juga, andai aku keterima, artinya ini pekerjaan pertamaku setelah menjadi seorang janda.
Semangat ya, Syafana. Kamu punya banyak mimpi dan beban dipundakmu, cari lah kerja demi orangtuamu dan kehidupan yang kamu impikan.
Aku memutar dan melihat penampilanku dicermin, lalu terbersit kenangan indah dengan Mas Fikram dulu, aku segera mengusap wajahku dan menghapus kenangan itu lagi, aku harus berusaha menepis pikiran apa pun mengenai kenanganku dengan Mas Fikram.