Aku akhirnya memilih meninggalkan Jakarta dan kembali ke Surabaya. Kini aku duduk disalah satu kursi kosong yang ada di kereta api menuju Surabaya. Aku sudah tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan suamiku, biarlah aku pergi meninggalkan suamiku bahagia dengan istri dan anaknya.
Aku menunduk sesaat dan akhirnya airmataku luruh. Aku sudah berusaha menahan airmata agar semua orang tidak bertanya-tanya, namun ketika aku duduk di kursi ini airmataku tumpah karena pada akhirnya aku yang mengalah dan aku yang kalah.
Beberapa saat kemudian peluit berbunyi, pertanda kereta akan diberangkatkan. Beberapa pengantar turun dari kereta. Berdiri melambaikan tangan bersamaan dengan bunyi bel stasiun kereta api.
Aku tak dapat menahan keinginan untuk memandang keluar. Sebab semuanya baru dan asing bagiku. Ya ini pertama kalinya aku naik kereta setelah usiaku dewasa, dulu aku sering naik kereta ketika ikut Ummi ke Bandung ke rumah Bibi, namun saat itu usiaku baru 5 tahun.
Beberapa penumpang mulai berjalan di dalam gerbong kereta dan mencari kursi yang kosong, sementara aku duduk sendirian di sini dan berharap tidak ada yang duduk dan mengganggu, tapi ternyata harapanku tidak menjadi kenyataan, ada seseorang yang datang dan duduk disebelahku.
Aku menoleh dan ternyata seorang pria, kami duduk sangat dekat namun aku berusaha tidak perduli dan santai saja. Aku menoleh melihat ke arah keluar, melihat pemandangan yang seolah bergulir melewati kereta. Aku mengusap airmataku lagi, ya aku tidak bisa menahan airmataku, selalu saja tumpah tanpa aku sadari.
Ketika melihat kereta api berangkat, aku jadi sadar bahwa tidak ada lagi hari dimana aku bahagia, tidak ada lagi hari dimana Mas Fikram mengecup keningku, tidak ada lagi kesempatan dan tidak ada lagi tempat untukku dihati Mas Fikram.
Selama lima tahun menikah, aku bukan orang yang mudah untuk jenuh pada pernikahan, aku yang selama lima tahun ini mengabdi pada Mas Fikram dan keluarganya tidak pernah sekalipun menangis ataupun mengeluh pada hal itu. Aku tidak pernah menuntut Mas Fikram untuk memberiku bahagia dan nafkah yang cukup. Selama menikah dengannya, yang memainkan peran dalam rumah adalah Ibu dan Mbak Mila. Semuanya mereka yang atur, aku pun mau masak apa diatur mereka.
Aku mengusap airmataku lagi, aku benar-benar cengeng. Pantaskah Mas Fikram membuatku menangis? Terlihat lemah dan menumpahkan segalanya diperjalanan tidak masalah kan, aku sangat berharap setelah tiba di rumah aku tidak menumpahkan hatiku yang patah pada Ummi dan Abi.
“Berisik,” ucap pria disebelahku.
Aku mengusap airmataku lagi, karena sesenggukan aku berisik, aku lupa kalau ada orang yang duduk disebelahku. Aku memejamkan mata, perjalanan kali ini akan sangat panjang, hampir 13 jam jika tiba di Surabaya.
“Menangis saja. Pasti berat, ‘kan?” pria disebelahku itu mengatakan hal yang ingin ku dengar, dan aku menoleh melihatnya, pria itu memejamkan mata dan berbicara kepadaku. Aku sampai menoleh ke arah lain siapatahu saja bukan aku yang dimaksudnya.
“Maksudnya saya?” tanyaku menunjuk diri.
Pria itu membuka matanya dan menoleh melihatku, kepalanya masih bersandar dikursi.
“Siapa lagi yang berisik jika bukan kamu?” tanya pria itu.
Pria itu sangat tampan, dilihat dari pakaiannya sepertinya dia bukan orang sembarangan, tapi aku tidak boleh tertipu pada penampilan saja, bisa saja itu hanya mau menipu wanita sepertiku.
“Maaf jika saya berisik,” ucapku.
“Tapi tidak apa-apa jika kamu mau menangis,” kata pria itu.
Aku menoleh kembali dan tersenyum simpul, lalu ku sandarkan kepalaku dikepala kursi, sesekali menoleh melihat keluar, perjalanan yang akan memakan waktu yang cukup panjang.
Aku mencoba mengabaikan pria disebelahku.
Harusnya ini menjadi hal yang menyenangkan menempuh perjalanan dengan kereta api, namun sayangnya hari ini menjadi hari paling sedih yang pernah aku lalui, tidak ada hal yang lebih menyenangkan selain menjadi istri dan orang pertama yang menerima suaminya, tapi sayangnya semua itu sudah berakhir.
Bahagiaku yang singkat dan pengabdianku yang lama akhirnya berakhir.
Akhirnya rasa kantuk menjemputku.
***
Aku bergerak gelisah, ku buka pejaman mataku dan ku lihat diriku yang masih duduk di kursi kereta. Aku menoleh dan tidak melihat pria disampingku, lalu ku lihat lagi ke arah keluar dan ternyata kereta api berhenti, aku melihat beberapa kursi yang masih terisi dan ada yang tidur, dan bercerita.
Aku meraih botol minumanku dan melihat airnya sudah habis, kebanyakan menangis jadinya aku haus terus. Aku hendak berdiri, namun pria yang duduk disebelahku menyodorkan sebotol air mineral dan sebungkus roti. Aku mendongak dan menatap wajahnya, dia baik juga. Aku mengira dia merasa terbebani aku duduk disebelahnya.
Dia kembali duduk disebelahku dan meneguk air mineral dibotol itu, ku lihat jakunnya yang bergerak, aku menggelengkan kepala dan berusaha menyadarkan diri, aku berusaha membuka tutupan botol itu, namun ternyata sulit, lalu pria yang tidak ku tahu namanya itu langsung merebutnya dari tanganku dan membuka tutupnya dengan gampang, setelah itu kembali memberikannya padaku.
Hanya dengan begini saja aku malah tersentuh, aku menggeleng dan meneguk air putih itu.
“Makan saja roti itu, kelebihan soalnya,” kata pria itu.
Aku mengangguk dan berkata, “Terima kasih, ya.”
Pria itu mengangguk lalu kembali memejamkan mata. Entah sudah berapa lama kami berhenti distasiun ini.
Aku kembali mendengar suara peluit yang menandakan jika kereta akan kembali berangkat, aku segera memperbaiki posisi dudukku dan kembali menyamankan diri, ku raih sebungkus roti yang pria ini berikan, lalu ku gigit sedikit-sedikit dan memakannya.
Aku memang tak menyentuh apa pun setelah aku diusir pergi oleh Mas Fikram. Aku juga tak bertemu siapa pun ketika aku meninggalkan rumah, ketika aku ingin pamit dan menelpon mereka semua, tidak ada satupun yang menjawab teleponku, meskipun mereka melihatnya tapi mereka semua memilih mengabaikan.
Akhirnya ku tutup kisahku dengan Mas Fikram, juga keluarganya yang sudah ku anggap keluargaku sendiri.
Kereta kembali berjalan laju dan aku kembali menatap ke arah luar.
Aku meraih ponselku, dan dengan bodohnya masih berharap Mas Fikram menghubungiku, namun harapanku malah sia-sia, aku malah menyakiti diri sendiri dengan mengharapkan hal yang tidak akan pernah aku dapatkan seperti telepon dari Mas Fikram.
Aku melihat wajahku di layar ponselku dan ternyata kedua mataku bengkak, bagaimana aku bisa bertemu dengan Ummi dan Abi dalam keadaan yang tak memungkinkan seperti ini, mereka pasti akan terkejut melihatku pulang dengan kedua mata bengkak ini.
Ku raih kembali botol minuman yang sudah pria ini berikan dan aku menempelkan badan botol itu ke mataku.
"Pasti berat sekali ya masalah kamu?" tanya pria itu.
Aku menoleh dan mengangguk pelan. "Berat sekali dan hanya saya yang merasakannya."
"Semua masalah pasti ada jalan keluarnya, jika tujuanmu dulu menjadi boomerang artinya akan ada tujuan baru yang lebih menyenangkan," kata pria itu, meskipun ekspresinya datar tapi aku tahu dia berusaha menguatkanku. "Semua orang pasti memiliki masalah yang berbeda-beda." Pria itu menoleh dan menatapku.
Aku mengangguk dan tersenyum. Ya meskipun begitu, aku senang karena masih ada orang yang berusaha menguatkanku ketika aku sedang hancur sehancur-hancurnya.
Aku kembali menangis didepan pria itu, aku menjadi cengeng sekali.