Hari-hari ku lalui dengan wajah pilu, kehilangan adalah hal yang paling menyakitkan apalagi ditinggalkan pada saat sayang-sayangnya. Bukan dunia yang kejam, tapi Mas Fikram yang seenaknya. Menghancurkan hatiku dan menggantikanku dengan orang yang baru.
Musuhku itu adalah move on, aku sulit untuk bangkit dari sedih dan terpuruknya hati ini. Aku terkadang ingin menangis dan berteriak, kenapa semua ini harus ku hadapi? Kenapa bukan orang yang sanggup saja yang hadapi ini semua?
Aku terus menerus berkurung diri di kamar, bahkan Ummi selalu memohon kepadaku untuk mencoba melupakan semuanya, aku pun berusaha untuk bangun dan memulai aktifitas di rumah.
Aku tidak bisa terus menerus seperti ini, sudah empat bulan berlalu setelah aku bercerai dengan Mas Fikram, dan sudah empat bulan juga aku berkurung diri di rumah dan tidak bergaul diluar sana, padahal aku juga punya banyak teman di kampung ini.
Aku menghela napas panjang, wajahku terlihat senduh dan mata pandaku terlihat, aku memang sulit untuk tidur semenjak aku pulang ke kampung halamanku ini.
Ummi yang melihatku keluar dari kamar langsung membantuku memperbaiki rambut, jika seperti ini aku selalu merasa seperti masih anak kecil. Aku tersenyum menatap wajah Ummi, Ummi mengusap wajahku dan menggelengkan kepala. “Bagaimana? Apakah kamu sudah berdamai dengan hatimu, Nak?”
“Syafa terus berusaha mencobanya, Ummi,” jawabku.
“Baiklah. Jangan paksakan diri ya, kalau memang belum berdamai dengan hatimu sendiri, kamu bisa berusaha melakukannya tanpa maksain diri.” Ummi mengusap wajahku lagi. “Ummi tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita cintai. Jadi, Ummi akan selalu memahamimu, Nak.”
“Ummi, sedih rasanya hati ini.”
“Iyaa. Sedih itu gak ada yang larang nak. Semua orang bisa sedih. Tapi, ingat kesehatan ya.”
“Ummi, apakah kalau Syafa misalkan berkarir lagi, bisa melakukannya?” tanyaku.
“Bisa nak, tapi kamu tahu sendiri kan memulai semuanya dari 0 adalah hal yang sulit, jadi kamu harus memulainya dari bawah lagi, dulu kamu meninggalkan karirmu yang berada diatas puncak, jadi sudah saatnya kamu berusaha kembali ke titik itu.” Ummi mengelus punggungku.
“Apakah aku bisa dan mampu, Ummi?”
“Tentu saja. Kamu pasti bisa dan mampu.”
“Jujur saja, Syafa menyesal gak pernah mendengarkan perkataan Ummi dan Abih yang menyuruh Syafa berpikir bagaimana nasib karir Syafa,” kataku lagi.
“Semua sudah terlanjur nak, gak ada lagi yang bisa kamu lakukan. Selain menerima semua ini dengan hati yang lapang.”
Aku menganggukkan kepala, dan berkata, “Ummi dan Abih dukung Syafa kan?”
“Iya, Nak. Kami mendukungmu.”
Aku tersenyum dengan membuang napas halus, setidaknya aku punya rumah untuk pulang, setidaknya ada seseorang yang menganggap aku adalah yang terbaik.
“Mulai sekarang jangan khawatirkan apa pun, semua yang terjadi adalah takdir dari Allah dan sebagai manusia kita hanya bisa menerimanya.” Ummi menatapku senduh, ada semangat hidup yang ku lihat ditatapan Ummi, elusannya juga membuatku sangat tenang dan damai.
“Ummi, nanti Syafa mau nyari kerja juga.”
“Iya, Nak. Ummi dan Abih akan mendukungmu selalu, apa pun yang ingin kamu lakukan.” Ummi mengelus rambutku. “Kamu sudah shalat?”
“Sudah, Ummi. Barusan,” jawabku.
“Ya sudah. Sekarang sarapan dulu, ya. Ummi udah siapin makanan kesukaan kamu.”
“Makasih, Ummi,” ucapku lalu duduk didepan meja makan.
Meskipun hatiku masih terluka, jiwaku masih berusaha sembuh, meskipun duniaku masih hancur, meskipun pikiranku selalu mengudara, tapi Ummi dan Abih menjadi orang yang paling aku butuhkan disaat semua hal kini ku rasakan.
Aku selalu bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah aku akan bahagia?
Ketika sedang mengunyah makananku, perlahan airmataku luruh, meskipun empat bulan telah berlalu, tapi aku masih sangat cengeng, setiap hari yang ku ingat adalah kenanganku dengan Mas Fikram yang tidak seberapa lama itu, karena sisanya aku mengabdi dengan sangat baik oleh keluarga itu.
Beberapa saat kemudian ku dengar suara salam dari arah pintu, Ummi keluar dan menghampiri pintu. Aku yang juga tidak nafsu makan langsung bangkit dari dudukku dan menyusul langkah Ummi, ternyata yang datang adalah kedua orangtua Nada.
Aku memang berkurung diri di kamar selama ini, tidak ada yang tahu jika aku sudah kembali ke kampung halamanku termaksud paman dan bibi yang saat ini berdiri menatapku.
Aku menundukkan kepala, aku takut pertanyaan dari keduanya keluar.
“Gun, ayo duduk dulu,” kata Ummi pada Paman Guntur. “Kamu juga, Sul.” Ummi kembali menyebut nama Bibi Sulaiha.
Aku pun ikut duduk, Ummi menatapku dan berkata, “Kamu gak habiskan makananmu, Nak?” tanya Ummi.
“Udah habis, Ummi,” jawabku.
“Kok cepet sekali?”
“Syafa makan dikit aja, Ummi.”
Ummi mengangguk, ia lalu duduk dihadapan di hadapan paman dan bibi, aku memilih diam.
“Ada apa kalian ke sini? Kenapa wajah kalian sangat panik?” tanya Ummi.
“Kenapa kamu ndak bilang kalau Syafa udah pulang? Kalau saya ndak denger di pasar ibu-ibu yang lagi omongin, kami ndak akan tahu kalau Syafa udah lama baliknya.” Bibi Sulaiha menatapku.
“Apa kami ini masih sodara mbak?”
“Bukan maksud Mbak kayak gitu, Gun, tapi ini ada masalah yang menimpa Syafa, makanya Mbak ndak ada bilang tentang itu.” Ummi mulai menjelaskan.
“Kami udah lama ndak denger kabarnya Nada, gimana kabarnya? Kalau kamu balik ke kampung, kenapa dia gak ikut balik?” tanya paman yang menatapku senduh.
Ada istilah ‘Jangan siksa orangtuamu dengan kerinduan’ itu lah yang dirasakan Paman dan Bibi yang sudah lima tahun tak bertemu anaknya.
“Ngomong dong, Syafa. Kamu ndak kasihan kan sama kami? Kami ini paman dan bibimu. Kami juga nanyain anak kami, bukan orang lain,” sambung Bibi sedikit memaksa.
“Maaf, Bibi, Paman, maafin Syafa karena gak ada ngomong masalah ini ke Bibi dan Paman. Sebenarnya ada sedikit masalah yang menimpa pernikahan Syafa dan Mas Fikram, karena itu Syafa berkurung diri di rumah karena masih sangat terpukul atas kejadian ini.” Ku tatap wajah tua mereka yang sudah keriput.
“Apa yang terjadi? Nada mana? Kenapa dia ndak ikut pulang?” tanya Paman lagi.
“Nada udah nikah, Bibi, Paman.”
“HA? Udah nikah? Apa maksudmu, Syafa? Kami ndak ada di undang ke acara nikahannya, masa dia nikah ndak undang kami sih.”
Aku menunduk lagi, sanggupkah aku mengatakannya? Apa yang akan terjadi ketika paman dan bibi tahu? Ya Tuhan, kuatkan aku.
“Mas Fikram menjatuhkan talak kepada Syafa itu karena Mas Fikram sudah menikahi Nada, Ummi, Paman, Bibi.” Aku menunduk lagi, lalu ku lihat ekspresi wajah Ummi yang ikut terkejut karena tak tahu jika Mas Fikram ternyata mendua dengan Nada, lalu ku tatap wajah tua paman dan bibi yang sangat syok mendengarnya.
Apakah bisa ku lanjutkan omonganku ini? Aku tak tega.
“Apa maksudmu, Nak? Kenapa kamu mengatakan itu?” tanya Ummi menyentuh bahuku.
“Maaf, Ummi, Syafa sangat takut mengatakan ini, tapi karena Bibi dan Paman udah di sini, jadi Syafa mau mengatakannya sekarang. Jadi penyebab keretakan rumah tangga Syafa dan Mas Fikram adalah Nada, Nada adalah orang ketiga di pernikahan Syafa.” Aku melanjutkan.
Paman dan Bibi seolah tak bisa berbicara lagi, mereka terkejut mendengar penjelasanku. Nada sudah menyiksa kedua orangtuanya dengan kerinduan, dan aku malah memberikan kabar buruk bagi mereka.