Seperti sebuah magnet bertemu dengan besi begitu pula yang dirasakan oleh Mayang ketika Erwin memandanginya dengan lekat. Perlahan ia membuka matanya dan melihat seorang pria berdiri di depannya. Kemudian ia melihat pria itu tersenyum manis membuat Mayang mengerutkan alisnya. Apakah ia mengenalnya? Perasaan tidak. Mayang adalah wanita yang lebih suka bekerja sehingga teman-temannya hanya berasal dari tempat dia melakukan kegiatan saja.
“Apa ada yang aneh pada saya?” tanya Mayang pada pria tinggi di depannya.
“Tidak ada yang aneh padamu, tapi aku seperti mengenalmu…Mayang bukan?” tanya pria itu mengejutkan.
Kerutan di dahi Mayang semakin dalam menyadari pria itu mengenal namanya sementara dia sama sekali tidak mengenalnya. Siapa dia, apa mereka pernah bertemu sebelumnya? Mayang tidak mau terjebak oleh kalimat yang bisa membuatnya terhipnotis dengan mengikuti semua ucapan dari pria yang tidak dia kenal.
“Tergantung siapa Anda. Kadang saya dipanggil Mayang kadang dipanggil Puspa. Jadi mana yang Anda pilih?”
“Aku lebih suka memangilmu May atau Ayang, karena lebih menarik,” jawab pria itu dengan senyuman serratus volt yang bisa berakibat fatal.
Dalam ingatan Mayang hanya seorang yang memanggilnya dengan nama May atau Ayang dan dia adalah siswa pria yang menjadi idola di sekolahnya dulu dan menjadikannya sebagai taruhan.
Erwin memperhatikan ekspresi wajah Mayang yang berubah-ubah. Dia yakin Mayang sudah mengingat dirinya karena di masa sekolah dulu dia adalah satu-satunya siswa pria yang berani menantang Mayang menjadi kekasihnya ketika wanita itu mengetahui kalau dirinya dijadikan taruhan.
“Sayangnya aku tidak merasa panggilan tersebut menarik. Apa kabar, aku tidak mengira anak sultan sepertimu naik bus subsudi pemerintah daerah. Apa yang terjadi denganmu? Mencoba untuk merakyat atau ada tujuan lain?” tanya Mayang setelah cukup lama terdiam.
“Seperti yang kau tahu aku selalu menyukai kenyamanan. Hari ini sopirku berhalangan mengantarku sementara mobilku sendiri berada di tempat temanku,” jawab Erwin dengan sifat angkuh yang kadang tidak disadarinya.
Mayang menanggapi ucapan Erwin hanya dengan senyuman. Tidak ada kewajiban baginya untuk meneruskan obrolan ini. Hubungannya dengan Erwin sudah berakhir ketika pria itu pindah sekolah dengan sebuah kejadian yang membuat dirinya juga terpaksa pindah sekolah.
Erwin memperhatikan wajah wanita yang pernah menjadi kekasihnya walaupun dalam waktu yang sangat singkat ketika ia berhasil memenangkan taruhan dengan temannya. Mayang wanita pintar dan pendiam. Mereka para siswa pria bertaruh apakah dengan menjadi kekasihnya bisa membuat Mayang berubah menjadi gadis yang bisa mengikuti keinginannya, menjadi gadis metropolitan yang menarik.
Erwin masih memperhatikan wajah Mayang saat dia mendongat dan mata mereka bertemu. Mayang telah berubah, dia bukan lagi wanita yang bisa diintimidasi. Menurut Erwin wanita yang duduk di depannya adalah wanita yang memiliki pendirian yang sangat kuat. Mungkin sedikit keras kepala.
“Ada apa? Masih tertarik padaku?” Mayang tersenyum dengan saat mengucapkan pertanyaan tersebut.
“Aku tidak tahu kalau kau masih membuka kesempatan padaku. Sudah berapa lama kita berpisah?” balas Erwin balik bertanya setelah tawanya terdengar.
“Aku tidak pernah menghitungnya. Aku mempunyai kegiatan yang lebih berarti daripada menghitung berapa lama dari terakhir kita berpisah,” jawab Mayang dengan mengangkat bahunya.
“Kau benar. Pernah mendengar kabar keadaan teman yang lain?”
“Tidak. Seperti yang kau tahu, aku bukan gadis yang mempunyai banyak teman saat itu apalagi aku juga pindah sekolah tidak lama setelah kau.”
“Kau pindah sekolah, kenapa?”
Mayang terkesiap, Erwin tidak tahu alasan dia pindah padahal semuanya bersumber padanya? Bagaimana dia bisa bicara tanpa merasa bersalah sama sekali? Erwin telah membuat dirinya mendapat julukan sebagai gadis karaoke setelah foto mereka tersebar di sekolah. Erwin telah membuatnya tidak mempunyai pilihan selain meninggalkan sekolah tersebut.
Mayang melihat sekeliling mereka. Ia tersenyum tidak percaya kalau pembicaraan mereka telah menarik perhatian penumpang lain untuk ikut mendengarkan. Terlihat dari sikap ingin tahu dan menunggu dari beberapa orang yang bisa mendengar kata-kata mereka.
Mayang begitu jengkel pada mereka yang penasaran, tetapi dia tidak mungkin menyalahkan mereka karena dia dan Erwin yang salah.
“Kau punya waktu untuk kita bertemu lagi?” tanya Erwin setelah dia melirik jam mahal yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Waktuku mungkin lebih banyak daripada kamu. Jadi silahkan selama aku tidak merugikan orang lain,” jawab Mayang.
“Berikan ponselmu!” perintah Erwin membuat Mayang mengerutkan alisnya.
“Kenapa bukan kau yang memberikan ponselmu?” tanya Mayang.
“Karena aku kesulitan mengeluarkan ponselku,” sahut Erwin singkat.
Mayang memperhatikan posisi berdiri Erwin dan ia tahu apa artinya sehingga membuatnya mengalah dengan memberikan ponselnya pada Erwin.
Erwin menatap penuh kekaguman melihat wallpaper di layar ponsel Mayang, wajah cantik alami yang bisa membuat pria terhanyut dalam pesonanya. Mayang memang selalu memiliki penampilan yang menarik meskipun dia tidak pernah berusaha membuatnya terlihat.
Setelah mengagumi wajah Mayang, dia segera mengetik nama dan nomornya kemudian membuat panggilan di ponsel tersebut sampai terdengar nada panggil yang berasal dari dalam tas Erwin.
“Aku sudah menyimpan nomorku di kontak personmu. Semoga kau tidak menolak kalau aku menghubungi kau nanti,” beritahu Erwin saat dia mengembalikan ponsel Mayang pada pemiliknya.
“Insya Allah,” jawab Mayang membuat Erwin mengerutkan alisnya. Apakah Mayang bermaksud mempermainkan dirinya dengan ucapannya tersebut?
Setelah Erwin mengembalikan ponsel ke pemiliknya, mereka seperti kehabisan kata, masing-masing sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga Mayang memecahkan kebisuan tersebut dengan suaranya.
“Kau turun dimana? Aku turun di halte depan,” beritahu Mayang tanpa diminta.
“Boleh aku mengantarmu?”
“Hah? Kau serius mau ngenter aku pulang?” tanya Mayang heran.
“Tentu saja. Sudah lama aku tidak bertemu denganmu. Apakah ada yang melarangmu menerima tamu?”
“Ini sudah malam. Bukan orang lain yang keberatan aku menerima tamu pada jam seperti ini, tetapi diriku sendiri yang tidak pernah mengijinkan ada tamu pria kenalanku yang berkunjung ke rumah,” jawab Mayang tegas.
Mayang tidak peduli dengan penilaian Erwin tentang dirinya. Baginya yang bisa menjaga nama baiknya adalah dirinya sendiri. Dia tidak peduli dengan Meliana yang sudah terkenal nakal oleh tetangga mereka, tetapi Mayang berusaha untuk menjaga nama baiknya sendiri agar dia tetap diterima dilingkungan mereka.
Erwin tersenyum lalu menundukkan wajahnya hingga mendekati telinganya, “Tapi aku pernah melihatmu bersama dengan seorang pria paruh baya di salah satu hotel di luar kota,” bisiknya begitu pelan hingga lidahnya terasa menyentuh dauh telinga Mayang. Membuatnya terkejut bukan saja karena ucapannya tetapi juga dengan yang dilakukan Erwin padanya.
“Terkadang yang kau lihat bukan orang yang kau kenal. Apa kau lupa kalau aku mempunyai saudara kembar. Kau tidak ingat dengan Meliana, kakak kembarku?” jawab Mayang mengingatkan Erwin.