Kabar Buruk

1374 Words
Satu bulan sudah Ryco hidup sederhana tanpa kemewahan yang sejak kecil selalu memanjakannya. Kini pria yang memutuskan untuk merubah identitasnya menjadi Ryan Ellison itu pun tampak sedang memburu waktu di bawah terik matahari untuk mengantarkan sebuah paket. Ya, saat ini Ryco bekerja sebagai kurir di sebuah jasa ekspedisi dan pria itu mendapatkan tugas untuk pengantaran domistik. Beruntungnya, Ryco juga mendapatkan fasilitas sepeda motor selama bekerja di sana. "Aku harus cepat karena hari ini masih ada beberapa paket yang masih harus aku antar." Ryco mulai memacu kecepatan motornya, melewati beberapa mobil di depan. Sebelum akhirnya, Ryco mulai berbelok ke arah kanan. Namun tiba-tiba, sebuah mobil menyenggol sepeda motornya hingga terjatuh. "Hai, hati-hati dong! Apa Anda tidak bisa lihat jika aku berbelok? Lagipula di sana itu 'kan lampu merah?" Ryco mengabaikan rasa sakit pada kakinya, pria itu mendekati mobil yang tepat berhenti tak jauh dari tempatnya terjatuh. Mendengar kemarahan Ryco, seorang wanita tampak keluar dari mobil mewah tersebut. Wanita yang terlihat mengenakan blazer berwarna merah itu bernama Valeri Kalley. "Nona, Anda itu membahayakan pengguna jalan lain. Harusnya supir Anda mengendarai mobil dengan hati-hati!" tegur Ryco dengan suaranya yang lantang. Di sela-sela protesnya, wanita itu menyodorkan beberapa lembar uang dollar kepada Ryco. Namun, pria itu malah menolaknya. "Maaf, Nona. Apa Anda pikir semua masalahnya akan selesai dengan uang? Mana etika Anda. Apa Anda tidak merasa bersalah?" "Apa kurang? Baiklah, tidak perlu diperpanjang. Ini saya tambahkan lagi uangnya." Valeri kembali mengambil beberapa lembar uang dan menyodorkannya lagi pada Ryco. "Dasar orang kaya tidak punya etika. Apa Anda pikir semua bisa selesai hanya dengan uang? Jangankan minta maaf, Anda seperti tidak merasa bersalah atas semua kejadian ini. Kalian orang kaya hanya bisa hidup karena mengandalkan harta dari kedua orang tua kalian. Kalian tidak akan bisa bertahan hidup di luar sana tanpa harta itu. Kalian hanya orang-orang manja yang beranggapan bahwa uang bisa membeli semuanya." Ryco mengatakannya dengan suara yang terdengar lantang. Bahkan suara tersebut sampai terdengar ke dalam mobil yang memiliki kaca hitam di setiap jendelanya. Membuat mobil tersebut tidak terlihat bagian dalamnya bila dari luar. "Saya tidak ada waktu menanggapi ocehan kamu ya. Kalau kamu memang tidak mau saya mengganti rugi kerusakan motormu, terus kamu mau apa?" Valeri malah menantang balik. Wanita itu pun mulai tersulut amarah setelah mendengar semua perkataan Ryco. "Kalau Anda bukan seorang wanita, aku pasti sudah memberikanmu pelajaran!" kecam Ryco menahan amarah yang saat ini memenuhi dirinya. "Sudahlah, kamu ini hanya membuang-buang waktuku saja!" Dengan wajah yang angkuh, Valeri menghamburkan uang dari genggamannya, lalu pergi begitu saja meninggalkan Ryco yang saat ini terlihat sangat kesal. "Anda memang tidak punya etika sama sekali ya. Aku bertaruh jika orang seperti Anda tidak akan bisa hidup tanpa harta dari orang tua. Anda itu hanya anak manja yang selalu memandang segala hal dari uang. Bahkan kemewahan sampai membuatmu lupa bahwa sebenarnya kata maaf itu jauh lebih penting daripada uang." Wanita itu masih tetap tak memedulikan perkataan Ryco yang terdengar keras, meskipun di tengah keramaian lalu lintas. "Dasar pria bodoh!" Valeri masuk ke dalam mobil dengan membuka pintu mobil bagian belakang kemudi. Setelah masuk ke dalam mobil, sang sopir pun mulai melajukannya. Meninggalkan Ryco yang masih sempat menendang bumper belakang mobil itu. "Dasar orang kaya! Kalian tidak akan pernah bisa mengerti kesusahan orang-orang kecil seperti aku ini! Kalian itu hanya contoh orang-orang yang selalu memandang rendah seseorang dari tingkat ekonominya saja!" teriak Ryco meluapkan amarah yang kian membuncah dalam dirinya. Sekembalinya Ryco ke tempat di mana motornya masih terjatuh di aspal, pria itu mulai mengambil beberapa lembar uang yang masih berserakan di sekitarnya. Namun, beberapa lembar uang ada yang terbang jauh ke tengah jalan karena hembusan angin dari beberapa kendaraan yang melintas di jalan itu. Ryco pun hanya mengambil beberapa sambil terus menggerutu di dalam hatinya. "Wanita itu benar-benar mengingatkan aku pada Daddy. Angkuh dan sombong. Apa semua orang-orang kaya memang seperti Daddy? Tidak pernah bisa menghargai orang kecil dan hanya memandang sesuatu dari kedudukannya saja. Mereka bahkan tidak memedulikan moral dan etika. Hanya uang yang jadi tolak ukur mereka dalam berpikir!" Ryco meremas beberapa lembar uang dalam genggamannya. Mengingat kembali akan masa di mana kemewahan telah merenggut kebebasannya untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Di tengah-tengah ingatan masa lalunya, Ryco kembali teringat akan pekerjanya. "Oh ya, aku harus cepat mengantar paket itu." Pria itu mulai membangkitkan sepeda motornya dengan cepat. Setelah duduk kembali di motor, Ryco langsung melajukannya. Meninggalkan tempat yang membuatnya teringat akan sosok Jeff Bernard, ayahnya. "Seandainya Daddy mau mengerti dan membiarkan aku memilih jalan hidupku sendiri, pasti aku tidak akan pernah berada dalam situasi seperti ini. Walau semakin hari, terasa semakin berat, tapi setidaknya aku punya kebebasan yang tidak pernah aku dapatkan dulu. Sekarang juga tidak ada lagi yang mengaturku dan meminta aku melakukan ini, itu yang tidak aku sukai." Ryco semakin menambah kecepatan motornya. Membelah lalu lintas kota Tennessee yang kala itu tampak renggang di waktu siang. Tanpa terasa, waktu terus berlalu hingga senja mulai terlihat mengindahkan langit. Kala itu, Ryco yang tengah merasa lelah karena seharian bekerja, tampak sedang merebahkan tubuhnya di ranjang. Ranjang kecil yang sangat jauh berbeda dari miliknya, saat masih tinggal di rumah orang tuanya. "Kenapa ya aku merasa hidup yang aku jalani saat ini benar-benar lebih menarik ketimbang dulu? Padahal dulu itu, aku selalu bisa memiliki apa pun yang aku inginkan tanpa harus berjuang sekeras ini." Di tengah pemikirannya, tiba-tiba dering ponsel mulai terdengar. "Siapa ya?" Ryco pun mulai meraih benda pipih miliknya yang tergeletak di atas nakas di samping ranjang tidur. Setelah menggenggam ponselnya, Ryco melihat layar pada benda pipih itu yang memperlihatkan nama Bill tertera di sana. "Akhirnya setelah satu bulan, dia menghubungiku juga." Tanpa menunggu lama, Ryco langsung menjawab panggilan telepon tersebut. "Ya, halo Bill. Kau ke mana saja? Kenapa kau menghilang dan tidak memberi kabar padaku?" tanya pria itu mengawali sambungan teleponnya. "Maaf, Tuan. Ponsel saya sempat rusak karena waktu itu dibanting oleh Tuan Jeff hingga pecah layar LCD-nya. Makanya, saya sempat kehilangan nomor Tuan." "Pantas saja kau tidak pernah menghubungiku dan nomormu juga tidak bisa aku hubungi." "Tuan, Anda harus pulang sekarang. Tuan Jeff sakit dan sedang dirawat di rumah sakit. Beliau ingin sekali bertemu dengan Anda. Saya khawatir jika Tuan Jeff tidak punya banyak waktu," ucap Bill coba mengutarakan tujuannya menghubungi Ryco. "Tidak, Bill. Aku tidak akan pulang. Paling nanti juga dia akan sembuh." Walau sempat terkejut, Ryco tetap bersikeras menolak permintaan sang asisten. "Bagaimana kalau Tuan Jeff benar-benar tidak akan sembuh? Apa Anda tidak ingin bertemu dengannya untuk yang terakhir kalinya? Saya tidak tega melihat Nyonya Lauren, dia terus menangis dan berulang kali ingin Tuan kembali." Seketika raut wajah Ryco tampak sendu. Ada rasa sedih yang benar-benar mengusik ketenangannya. Terlebih saat Bill memberitahu kondisi Lauren. Seorang wanita yang begitu berarti dalam hidupnya. "Bagaimana ini? Apa aku harus kembali pulang? Sudah payah aku mendapatkan kebebasan ini. Lantas aku lepas begitu saja. Tapi, bagaimana jika apa yang dikatakan oleh Bill benar? Bagaimana jika Daddy ternyata tiada? Aku pasti akan sangat menyesal karena tidak sempat menemuinya," gumam Ryco mempertimbangkan segala sesuatunya sebelum memutuskan apa yang harus dilakukannya. "Tuan, saya mohon! Pulanglah, Tuan! Kalau Anda berat untuk melakukan itu demi Tuan Jeff. Paling tidak Anda melakukannya demi Nyonya Lauren. Saya benar-benar tidak tega melihat kondisinya. Beliau begitu merindukan, Tuan. Ditambah lagi sejak Tuan Jeff sakit." Perkataan Bill seolah menampar wajah Ryco hingga menggoyahkan pendiriannya. Pendirian yang mulai goyah karena rasa cemas kini mulai memenuhi pikirannya. "Baiklah, Bill. Aku akan pulang malam ini juga." Setelah bergelut dengan keraguannya, Ryco pun menjawab yakin untuk kembali pulang dan menemui Jeff yang tengah terbaring sakit. "Syukurlah, Tuan. Apa saya perlu menjemput Anda?" tanya Bill dengan perasaannya yang lega. "Tidak perlu, Bill. Aku akan pulang sendiri." "Baiklah, Tuan. Terima kasih karena Anda sudah mau pulang. Nyonya Lauren pasti akan sangat bahagia bisa bertemu lagi dengan Anda." "Tidak perlu berterima kasih, Bill. Aku melakukan ini demi Mommy. Aku tidak ingin sampai kondisi Mommy memburuk." "Baiklah, Tuan. Saya akan menunggu Anda." Setelah mengakhiri sambungan teleponnya, entah kenapa Ryco masih merasa ragu akan keputusannya. Namun, pria itu tak punya pilihan. Hal yang semata dilakukannya hanya untuk Lauren, ibunya. "Walaupun aku membencinya, tapi aku tidak ingin Daddy pergi secepat ini. Pasti Mommy akan sangat terpukul jika itu terjadi. Aku harus segera pulang untuk menguatkannya." Ryco pun bangkit dari posisi duduknya. Menuju sebuah almari untuknya mulai berkemas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD