Tingg!
Terdengan notifikasi pesan masuk pada ponselku, aku melihat jam di sudut kanan atas layar handphone, 11.35. Kurapikan draft pesanan bu Anne dan mengirimkannya via email. Setelah pesan sukses terkirim, aku menghembuskan napas lega dan menyandarkan punggungku yang sedari tegang.
Sambil mengistirahatkan otak dan otot, aku membuka smartphone, siapakah gerangan yang mengirim pesan. Rupanya Gerry yang mengirim pesan. Dia bertanya mengenai barangku yang tertinggal di bagasi motor Bima. Aku pun memberitahunya bahwa aku akan menangani hal itu sendiri, dia hanya perlu fokus dengan pekerjaannya yang super padat itu.
Meski sempat khawatir dan berusaha membantuku untuk mengambilkan barang milikku, akhirnya Gerry menyerah dan membiarkanku mengurusnya sendiri.
Ada yang aneh dengan Gerry, tapi aku tidak tahu apa. Terkadang, aku membenci diriku yang sangat tak acuh pada keadaan sekitar maupun karakter seseorang. Bagiku, sulit menebak isi pikiran orang lain.
Namun, aku cukup bisa meraba mengenai Gerry yang terkadang terlihat sedikit berlebihan dalam mempedulikanku. Seolah, dia ingin menunjukkan pada orang – orang bahwa kami memiliki hubungan, tapi setiap kami hanya berdua sikapnya akan jauh berbeda.
Kadang dia bersikap dingin dan tak acuh. Bahkan terkadang, aku merasa Gerry memperlakukanku seperti sahabat saja. Aku sempat berpikir, Gerry hanya terpaksa memintaku menikah dengannya.
Sepertinya, perempuan adalah hal terakhir yang ada di pikiran Gerry. Mungkin dia hanya ingin menyenangkan orangtuanya. Entahlah.
What would I do without your smart mouth..
Suara John Legend dari ponselku berbunyi. Telepon masuk dan nama kontak Milky way tertera di sana.
"Hallo." Jawabku dengan suara parau yang gugup.
"Hallo, Allea."
"Hai Bim, ada apa nih?"
"Aku ganggu?"
"Enggak, sebentar lagi waktu makan siang kok."
"Bisa ketemu? Sore nanti aku ke Bandung. Kalau bisa ketemu sekarang, kamu keberatan?"
"Kantorku di Gatot Subroto, reachable enggak dari tempatmu sekarang?"
"Beri alamatnya, makan siang bareng ya."
"Ii.. Iyaa.."
"Sampai ketemu nanti."
Klik, aku mematikan sambungan.
Mimpi apa aku semalam. Bima mengajakku makan siang bersama. Aku segera mengambil tas make up dan memeriksa riasan. Tidak ingin tampil buruk di hadapan Bima, aku kembali memulas riasanku.
Ponselku berbunyi lagi. Dari Reina.
"Halo.."
"Al, gue lagi di gedung sebelah lo nih. Lunch bareng yuk!!"
Waktunya tidak tepat.
"Duh sorry Rei, gue udh janji sama orang lain. Dia lagi otw kesini."
"Siapa? Gerry? Gak boleh gue ikut kalian?" Bisa kubayangkan bibirnya yang dimajukan ketika dia merajuk, di seberang sana.
"Bukan, tapi sorry gue gak bisa ajak lo. Next time ya."
"Iya deh."
Klik, dia mematikan sambungan lebih dulu. Kupelototi ponsel yang tak bersalah.
Sorry Rei, ini Bima yang ngajak makan. Aku penasaran dengannya.
Aku sudah menunggu di kafetaria belakang gedung, juga sudah kukirim alamatnya pada Bima. Sambil sesekali bercermin pada layar ponsel. Tidak lupa jaket Bima yang telah kubungkus rapi dalam paper bag, tergeletak manis di kursi sebelahku.
Bima datang, melambaikan tangan sekilas kepadaku. Tangan kirinya membawa goodie bag yang ketinggalan semalam.
"Hey. Sudah lama nunggunya?" Bima menduduki kursi di hadapanku.
"Enggak kok. Pesan dulu Bim." Aku memberikan menu padanya.
Setelah Bima memesan, kami pun mulai mengobrol. Semalam tadi, jam 11 dia sampai rumah. Hanya sempat bertanya tentang nomorku ke Gerry dan langsung tidur, dia malah lupa mengabarkan pada Gerry dan yang lain. Aku bilang padanya, Gerry sudah menghubungiku untuk bertanya tentangnya.
"Terus tadi kamu telepon Gerry juga mau anter ini?"
"Iya. Ada telepon mendadak dari Bandung. Mau langsung berangkat nanti dari sini. Takutnya kelupaan." Bima memberikan bungkusan itu dan mengambil jaketnya.
"Bandung tempat siapa?"
Duh kok aku kepo banget sih.
"Aku memang dari Bandung, Al." Dia tersenyum, menatapku.
Dalam beberapa detik. Aku terpaku.
"Oohh." Mulai grogi. "Jadi kamu disini tinggal sama siapa?"
"Sendiri." Dia kembali tersenyum.
Konsentrasi Allea. Konsentrasi.
Hidangan kami datang, to be honest aku sudah tidak nafsu makan. Hanya ingin melihat Bima lebih lama dan senyumnya saja, aku rasa cukup membuatku kenyang.
Tapi culun banget gak sih? Aku pun makan pelan-pelan.
"Di grup, anak-anak chat tentang liburan bareng tuh. Gerry sudah bilang?"
"Belum. Grup apa?"
"Grup obrolan kita, Pecahan Meteor namanya. Rizky yang beri nama."
"Pecahan Meteor bukannya cuma kamu?"
"Ahahaha. Aku kan Galaksi, mereka sekumpulan Planet dan pecahan meteornya."
"Hehehe, liburan kemana?"
"Belum tahu, aku ikut saja."
"Akrab ya kalian."
"Mumpung ada Gerry, lama enggak nongkrong bareng."
"Memang akrab dari dulu?"
"Iya begitu. Hehe." Bima meneguk minumannya. "Rencana bulan apa meritnya?"
Pertanyaan ini yang tidak kuharapkan dari Bima.
"Gerry bilang ya? Hehe belum bahas masalah tanggal sih." Bingung mau jawab apa. Bima mengaduk-aduk minumannya, seperti ada yang mau dibicarakan tapi ragu. Ia menoleh kepadaku, dan tersenyum.
Oke, aku pasrah. Let it flow.
"Kamu hobi banget senyum, Bim. Ada rencana bikin aku diabet ya?" Spontan Bima terbahak.
"Hahaha, tebar pesona aja. Barangkali kamu khilaf." Jawabnya masih dengan senyum.
Oke Bima, apakah ini undangan untukku?
"Ah pacarmu banyak." Ini bagian dari strategi untuk mencari tahu tentang dia secara tidak langsung.
"Pacar? Hehehe." Responnya hanya cengiran lebar.
"Siapa itu yang disebut Rizky semalam?"
Hatiku tidak ingin berhenti begitu saja.
Bima berhenti mengaduk minumannya dan menatapku sambil menangkupkan kedua lengan di atas meja.
"Kamu perhatian ya? Jangan Allea! Jangan buat aku nekat!"
Nekat?
"Yasudah, mungkin kita harus belajar jaga pandangan—dan—gak tebar pesona."
Oke aku mulai kesal.
"Aku bisa. Kamu mana bisa." Dia meremehkan.
"Enggak bisa apa?" Aku mulai kesulitan mengontrol nada tidak suka pada suaraku.
"Tidak bisa tidak mempesona."
Jantungku mulai berdetak tidak normal.
Bima stay cool. Melihat jam tangannya dan berdiri.
"Aku langsung ya, biar aku yang bayar. Terima kasih sudah bawakan jaket dan dengarkan permintaanku." Ia mengambil dompet dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu.
"Permintaan yang mana?"
Jangan pergi dulu dong Bim.
"Untuk tidak mencuci jaketnya." Dia tersenyum
"Ooh. Kenapa memang?"
Karena ada puisinya kah?
"Mau lihat saja kamu ikutin atau enggak pesanku. Hehehe." Ngelawak, Pak? "Pamit ya, kamu jangan kangen. Nanti aku enggak bisa tidur. Hehehe."
Kok enggak bisa tidur? Lama kah disana?
"Ih! Paling juga kamu yang kangen aku nanti." Aku terkejut sendiri mendengar kalimat ini dari mulutku.
Inget Gerry, Allea!
"Itu sih pasti. Hehehe biar kamu kepikiran aku terus."
Rasanya aku ingin teriak 'kamu menang Bim, sudah sukses bikin aku mikirin kamu dari pertama bertemu'. Tapi itu semua tertahan dalam kepalaku yang sibuk.
"Iih curang! Yasudah hati-hati kamu." Dia tersenyum, mengangguk.
Membawa serta paper bag berisi jaketnya.
"Daghh." Katanya dan berjalan pergi. Aku memandangi punggungnya yang menjauh.
Punggung itu, ada perasaan yang menjalar di hatiku seperti rindu ingin memeluknya dari belakang. Perasaan yang aneh.
"Mbak. Mbak, kejar kalau enggak rela ditinggal Mbak." Terdengar bisikan kecil di telingaku, aku menoleh dan mendapati Reina tersenyum iseng di sebelahku. "Oohhh makan sama si manis tooh, pantesan gue enggak boleh ikut."
Aku pukul pantatnya. "Berisik lo!" Reina segera menarik diriku duduk lagi
"Bima yang semalem kan? Kok gue ngerasa familiar ya. Lo lagi ada affair sama dia?" Reina memulai sesi interogasi.
"Enggak Reiii, temennya Gerry itu."
"Eh tunggu, lo sama Gerry itu seriusan?"
"Serius lah."
"Alleandra, gue lihat tatapan lo ke Bima tadi. Lo kayak yang mau narik dia ke kamar gitu. Lo sama Gerry pake perasaan?" Aku mendelik.
Narik ke kamar? Dasar m***m!
"Lo tahu lah Rei. Gue harus gimana sama Gerry? Terlambat gue nolak, dia udah bela – belain pulang untuk ngurus pernikahan." Aku menunduk. "Kentara banget ya gue ke Bima? Padahal baru tiga kali ketemu."
"Banget Al, gue yakin Bima juga sadar. Kentara banget njirrr. Eh tapi gue yakin, enggak asing deh sama Bima. Pernah liat dimana ya." Reina mengetuk-ngetuk meja dengan kukunya yang habis di manicure.
"Semalem, Neng. Di nasi goreng." Jawabku, sambil memeriksa ponsel. Ada pesan dari Bima.
Milky Way
Maaf Al, baru saja aku merindukanmu.
Aku baca pesan itu berulang-ulang, ini Bima sungguhan yang mengirim pesan? Mengirim pesan seperti ini, dengan kesadaran penuh tidak ya? Entah harus balas apa, aku abaikan saja. Reina memukul-mukul meja, meminta perhatianku.
"Hellooooo Bu Allea, gue ngomong dari tadi lo denger gak sih?!" Reina ngomel, membuyarkan lamunanku.
"Eh..iya.. Ngomong apaan lo tadi?" Aku memasukkan ponselku ke dompet.
"Bima SMA-nya dimana?" Tanyanya
"Yaa enggak tahu gue. Baru ketemu tiga kali, belum ada pikiran nanya alumni mana. Kalau kuliahnya, sekampus dengan Gerry." Jawabku. Reina ber-ooh ria.
Kulirik jam tangan, jam 2 kurang seperempat. Aku harus segera kembali bekerja.
"Yuk ah, gue mau balik ke kantor." Seruku pada Reina.
Dia mengikuti berdiri dan berjalan bersamaku.
Kuhembuskan napas perlahan, Bima sudah melemparkan undangan untukku.
Haruskah aku menyambutnya?