8. Pembullyan

984 Words
Tangis pilu, pecah dari bibir ranum Kara yang bergetar. Sekujur tubuhnya juga bergetar hebat. Rasa sakit di pipi, tangan, kaki, dan juga kepalanya. Berkecamuk menjadi satu. Untuk pertama kali nya, Kara di bully sekejam ini. Kara tak tau apa kesalahan yang dibuatnya. Hingga dirinya harus di bully separah ini. Sangat menyakitkan. Kara seperti berada di neraka dunia. Tatapan sendunya menatap lemah tiga siswi yang menatapnya benci dan jijik. Badannya yang sudah ambruk ke lantai gudang yang kotor. Tambah membuat Kara tampak begitu mengenaskan. Rambutnya yang semula di kepang, kini berantakan sudah tak karuan lagi. "A-aku salah apa, sama kalian.... kenapa kalian jahat banget sama aku." Isak Kara. Air matanya sudah seperti hujan yang tak ada hentinya. "Najis.... jijik gue liat muka nya." Ketus satu siswi dengan bandana di rambutnya. Kara beringsut untuk duduk namun tangannya yang menjadi tumpuan badannya, malah di ijak. "Aarhhh.... sakit." "Rasain lo. Ck.... gue gak habis pikir, orang kumuh kaya lo, bertahan di sekolah elit ini. Yang gue tau, lo gak dapet beasiswa. Terus, dapet uang dari mana lo sampe sanggup sekolah disini?" Sinis siswi, yang menginjak tangan Kara tadi. "Yaelah Ter, zaman sekarang cari duit gampang kali. Misalnya, JUAL DIRI!" Ujar siswi lainnya, dan tertawa sinis. Ketiga siswi itu adalah Tera, Fena, dan Syika. Para siswi yang dikenal dengan sebutan Queen Bullying disekolah mereka. Kara menggelengkan kepalanya. Bukan, dirinya bukan orang seperti itu. "Cih.... rendahan banget, gak aneh sih, banyak yang benci sama lo." Ketus Syika, siswi yang mengenakan bandana. Dan dengan tanpa belas kasihan menendang bahu Kara dengan kasar. Kara mulai kehilangan kesadarannya. Kepalanya terasa ingin pecah. Badannya seperti remuk tak berdaya. Sekujur badannya benar-benar terasa sangat sakit. Gelap. Kara mulai kehilangan kesadarannya. "Bangun lo, gak usah so pingsan." Ketus Tera, tangannya menjambak kasar rambut Kara. Tidak ada pergerakan sama sekali. Ketiga siswi itu saling pandang, kemudian tertawa lepas. "Mati aja sekalian.... hahahaha." "Sampah!" BRAKK!! Pintu gudang di buka dengan kasar. Membuat ketiga orang yang sedang menertawai Kara, terkejut. Wajah semua nya menjadi pucat pasi. Disana berdiri gerombolan Samuel dan juga dua guru killer, dengan tatapan yang entahlah, sangat sulit di deskripsikan oleh kata-kata. "Tera, Fena, Syika. Apa-apaan kalian!" Murka Bu Ina, pada anak didiknya. Tiga siswi itu dibuat mati kutu, karna prilaku mereka tertangkap basah. "Kalian seperti tak di didik. Memalukan." Ucap Pak Ratman, marah. "Ayo ikut saya, sikap kalian sungguh tak bermoral sebagai seorang siswa." Marah Pak Ratman. Menggiring ketiga siswi itu menuju ruangannya untuk diintrogasi. Melihat keadaan Kara, yang menganaskan dilantai. Membuat darah Samuel seperti mendidih. Samuel segera menghampiri Kara, menatap setiap inci wajah Kara yang lebam, lalu menggeram marah. Samuel membuka baju seragamnya, memakaikannya pada Kara yang seragamnya sudah tak layak di pakai. Samuel tak memusingkan badannya yang bertelanjang d**a. Saat ini yang berada dipikirannya adalah Kara. Bu Ina ikut mengecek keadaan Kara dan terkejut, melihat keadaan Kara yang benar-benar menganaskan. "Samuel tolong cepat bawa dia ke rumah sakit, saya akan menyusul dengan guru lainnya." Perintah Bu Ina, ikutan panik. Samuel segera menggendong badan lemah Kara. Dan membawanya keluar gudang diikuti Bu Ina dan teman-temannya. Banyak tatapan mata yang mengintip dibalik jendela. Separuh dari siswi yang melihat itu, menjerit histeris. Melihat badan atlentis Samuel yang tak terbalut seragam. Bu Ina sudah pergi ke kantor, untuk memberitau guru lainnya. Kini hanya tinggal Samuel dan teman-teman nya. "Dav. Anterin gue kerumah sakit." Ucap Samuel pada Dava yang kebetulan, membawa mobil kesekolah. Dava mengangguk. "Kita gimana Sam?" Tanya Jino. "Terserah kalian." Balas Samuel sebelum menutup pintu mobil Dava. "Kita ikut aja deh. Lumayan juga, bisa bolos dari pelajaran si dukun." Ujar Jino. Di setujui saja oleh yang lainnya. Ke empat Cowok itu, langsung naik ke atas motor masing-masing. Dan menyusul mobil Dava, yang sudah melaju pergi. ****** Samuel berkali-kali memukul kasar tembok rumah sakit, diruangan inap Kara, dengan membabi buta meluapkan amarahnya. Samuel sangat merasa kecewa dengan dirinya sendiri karna tak bisa menjaga keselamatan tunangan nya. "Sam. Tenang coy.... napa dah, disini lo gak salah apa-apa, gak perlu kaya gini." Ujar Bagas. Merasa aneh dengan tingkah Samuel, yang melukai dirinya sendiri. Samuel tak menggubris ucapan Bagas, mata elangnya menatap satu persatu temannya. Kelima cowok itu, memang masih setia menemani Samuel sedari tadi. Padahal saat para guru datang tadi, mereka sudah diperintahkan untuk kembali kesekolah. Namun karna memang dasarnya ingin bolos, ya jadinya stay terus disana menemani Samuel. Hari sudah sore, namun Kara tak kunjung membuka matanya. Semenjak pingsan tadi. Samuel menatap lekat, tubuh tak berdaya Kara yang berbaring lemah, dengan banyak perban yang menutupi lukanya. Dan juga wajah pucatnya yang lebam, hingga menimbulkan bekas kebiruan. Pemandangan yang begitu, menyesakan hati Samuel. "b**o. Harusnya gue bisa jagain dia." Gumam Samuel. Menggeram kesal dengan tangan yang terkepal kuat. "Sumpah demi neptunus bikinibatem, gue gak ngerti sama lo. Sejak kapan lo care sama cewek?" Tanya Jino. "Ada hubungan apa lo sama dia.... kalian pacaran?" Tanya Dava. Karna Dava sangat yakin Samuel memiliki hubungan khusus dengan Kara. "Ngaco lo, mana mungkin Samuel pacaran sama nih cewek." Timpal Fares. Kemudian menatap lekat wajah Kara. "Tapi.... kalo diliat-liat, nih cewek cantik juga. Cuman ketutup sama kecamata bulet, yang sering dia pake aja.... gila bulu matanya cetar badai." Lanjut Fares. Kagum. Sontak Jino, Bagas, Adi dan Dava. Ikut menatap lekat wajah Kara. Mereka kompak mengangguk menyetujui. Alis yang tak terlalu tebal, bulu mata yang panjang dan lentik, hidup mancung, bibir tipis yang kini terlihat pucat. Dan juga terdapat belahan pada dagu Kara. Terlihat sanga perfect. "Iya. Baru sadar gue." "Ternyata dibalik penampilan nerdnya, ada kecantikan yang luar biasa." Samuel mendengus. Bisa-bisanya para temannya ini, menatap Kara dengan tatapan memuja. Samuel tak menyukai itu. Samuel berdeham keras. "Mata lo semua, minta gue keluarin pake linggis hah?!" Geramnya. "Ck. Lo kenapa sih, aneh tau gak?!" Tanya Jino, bingung. "Au nih. Salah apa ya, kita menikmati kecantikan titipan tuhan.... ah, atau jangan-jangan, lo suka lagi sama nih cewek?" Tanya Bagas, menebak-nebak. Samuel memejamkan matanya, menghela nafasnya yang terasa sangat lelah. Kemudian menghembuskannya secara kasar. "Dia.... tunangan gue."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD