Akibat kejadian tadi malam. Suasana meja makan menjadi sangat canggung. Hawa nya pun sedikit berbeda dari biasanya. Seporsi nasi goreng dengan tambahan telur dan sosis, sudah habis dilahap oleh Samuel.
"Arga." Panggil Kara. Samuel yang hendak bangun dari kursinya, berhenti. Menatap Kara sejenak dengan alis yang terangkat. Seolah berkata 'apa'.
"Emm.... m-makasih." Ucap Kara pelan. Samuel terdiam. Kemudian, ingatannya kembali pada kejadian semalam.
Flashback on.
Setengah jam berlalu setelah Samuel keluar dari kamar Kara. Dan setengah jam itu pula, Kara berusaha menahan rasa nyeri pada perutnya, dengan kembali berbaring dalam posisi meringkuk. Tak peduli, dengan kasurnya yang kotor akibat darahnya.
Mata Kara yang tadinya terpejam. Spontan terbuka kembali, saat pintu kamarnya di buka oleh Samuel, yang baru datang dengan menenteng plastik bertuliskan alfamart. Samuel mendekat dan memberikan plastik alfamart itu pada Kara. Seraya berdeham pelan. Menghilangkan rasa gugupnya.
Manik sayu Kara, menatap wajah tampan Samuel yang terlihat memerah di bagian pipi nya. "Gue gak tau lo pake yang mana. Jadi.... gue beli aja semuanya." Ucap Samuel tanpa eksfresi namun nada bicaranya terdengar sangat kaku.
Kara mengalihkan pandangannya pada isi plastik alfamart itu dan tertegum. Ternyata Samuel membelikannya pembalut dengan merk yang berbeda-beda. Ada sekitar lima bungkus pembalut di dalam pelastik itu. Dan juga, ada sebotol obat pereda nyeri dengan merk 'kiranti'. Entah bagaimana Samuel bisa tau tentang obat itu.
Kara masih tak menyangka. Tadinya ia pikir, Samuel tidak akan mau membelikannya. Tapi ternyata, suami berandalannya itu tak seburuk apa yang dirinya kira. Samuel rela menurunkan sedikit rasa gengsinya. Demi dirinya?
Jujur saja. Di dalam hati nya seperti ada sesuatu yang mau meledak. Hatinya merasa begitu seneng. "Arga.... ma--" Belum selesai Kara berbicara, Tapi Samuel sudah melengos pergi meninggalkan kamarnya.
Flashback off.
Samuel berdeham dan menatap wajah cantik Kara yang belum terhalangi kecamata bulat nya. Bulu mata panjang dan lentik itu bergerak dengan gerakan yang begitu pelan, hingga terasa seperti ada sengatan listrik yang menjalar dalam diri Samuel.
Seolah ada alarm yang berbunyi di kepala Samuel. Dengan cepat, Samuel mengalihkan pandangannya dari Kara. Menatap ke arah lain, untuk mengalihkan fokusnya.
"Arga. Wajah kamu merah." Ucap Kara dengan begitu polosnya, melihat wajah Samuel yang tiba-tiba memerah. Samuel merasa pipinya tambah panas dan kencang. Harga diri sebagai seorang berandalan. Runtuh.
"Sialan!" Umpat Samuel dalam hatinya. Merutuki dirinya sendiri.
******
Siang ini, tepat jam istirahat ke dua. Samuel bersama teman-temannya pergi ke rooftop tempat favorit mereka ketika menghindari para musuh mereka (Para guru killer) ataupun membolos, menghindari jam pelajaran yang tak mereka sukai.
Samuel menatap setiap gerak-gerik Fares, yang terlihat khawatir, seperti mencemaskan sesuatu. Berkali-kali, cowok dengan warna rambut hijau Army itu, mengusap wajahnya bimbang. Tak tau sedang memikirkan masalah apa. "Ada masalah apa, lo?" Tanya Samuel. Kompak semua mata menatap kearah Samuel, lalu berganti menatap Fares.
Semuanya diam, menunggu jawaban Fares. Fares menatap semua temannya dengan bergantian. Helaan nafas lelah begitu berat di keluarkan, Fares. "Gue.... ngebuntingin anak orang."
"Hah!" Syok semuanya. Jino yang tadinya bermain game di ponselnya, jadi gagal push rank karna fokusnya teralihkan pada ucapan nyeleneh Fares.
"Yang bener, g****k?!"
"Ah becanda lo mah."
"Setan. Gue jadi gagal push rank. Bangsul!"
"Lo serius ngebobol anak orang, Res?" Fares tak menggubris semua ucapan temannya. Raut wajahnya yang lelah karna kurang tidur, akibat memikirkan masalah yang menimpanya saat ini, yang terus menghantui pikirannya. Membuat jawab tersendiri untuk pertanyaan yang di tolontarkan teman-temannya. "Tiga hari, gue gak bisa tidur karna masalah ini." Ujar Fares. Lalu Membaringkan badannya, dan menaruh satu tangannya di atas keningnya.
"Sejak kapan woy! Kenapa baru bilang sekarang. Lo maen dimana? Siapa yang lo buntingin?!" Semprot Bagas. Cowok terbawel yang selalu membuat semua orang jengkel dengan mulut Bagas yang tak pernah ingin bungkam.
"Kalo hamil. Tinggal nikahin aja, apa susahnya." Ucap Dava begitu enteng. Dava, cowok blasteran inggris dan jawa.
Memiliki tingkat ke pekaan yang tinggi dari cowok lainnya. Jino menyimpan ponselnya ke dalam kantong celana abu nya, dan ikut nimbrung. "Nah.... gue sejalan sama Dava. Kalo bunting, tinggal lo kawinin aja." Timpal Jino.
"Nikahin onyon. Kawin sama nikah, itu beda. Jangan disamain." Ucap Bagas. Meralat ucapan Jino. Yang terkesan ambigu.
"Gue bingung.... gue juga gak siap nikah." Ucap Fares bimbang.
"Mau gak mau, lo tetep harus tanggung jawab. Karna salah lo juga, kenapa gak pake pengaman pas ngelakuinnya. Kalo udah kaya gini, ya.... terima resikonya." Ujar Samuel dengan raut wajah datarnya. "Tau lo Res. Mangkannya kalo mau ngebobol. Pake kon-- ekhem.... maksudnya pengaman. Biar ujungnya gak jadi gini. Mampus deh lo, jadi papah muda." Ledek Jino tertawa.
Fares mendengus. "Gue juga gak nyangka bakalan lepas keperjakaan gue kali. waktu itu keadaannya bener-bener maksa gue. Mana sempet gue kepikiran pake pengaman." Cetus Fares.
"Siapa cewek yang lo hamilin?" Tanya Samuel. Membuat ke tiga cowok itu ikutan kepo dan menatap Fares. Fares menggaruk pipi kanannya. Merasa kurang yakin dengan jawabannya sendiri. "Emm.... kalo gak salah waktu itu, gue liat nametag seragamnya.... Firna sya apa gitu, gue lupa kepanjangannya."
"Sekolah dimana?"
Glek.
Fares tersenyum kikuk. Untuk menjawab pertanyaan Samuel kali ini. "Wah. Jangan-jangan Fares ngebuntingin, tante girang?" Celetuk Bagas. Dibalas geplakan kasar dari Fares, pada kepalanya.
"Nyeleneh lo kalo ngomong."
"Ya terus?"
"Ini yang bikin gue pusing. Dia.... cewek yang gue buntingin, ternyata.... masih SMP!"
"Astaga toge."
"Gila."
"Astagfirallah."
"Parah!" Fares membuang nafasnya dengan pelan. Memijat pelan pangkal hidupnya. Pikirannya tambah mumet binti pusing. Fares sungguh di landa galau. Bingung akan apa yang harus dilakukannya. Jika menikahi cewek itu, rasanya masih kurang dewasa. Fares takut rumah tangganya nanti malah berantakan.
"Woy.... lo semua. Buruan ke gudang sekolah. Ada pembullyan besar-besaran! Gak ada guru, yang tau!" Teriak seseorang dari arah pintu. Sontak ke lima cowok itu menoleh dan menjumpai Adi yang nampak ngos-ngosan. Ke lima cowok itu langsung berdiri dari posisi masing-masing. Dan berlarian menuju gudang sekolah yang sangat jarang di kunjungi. Kecuali para pembully.
"Siapa lagi yang di bully kali ini?" Tanya Dava di sela-sela berlari mereka. "Gue belum sempet liat. Tapi kata Awes, cewek dari kelas XII IPA5, namanya Tara.... eh bukan Kara, iya namanya Kara." Jawab Adi. Lupa-lupa ingat. Mendengar nama dan kelasnya. Membuat Samuel tambah mempercepat lari nya. Di kelas XII IPA5, hanya ada satu nama Kara. Dan itu adalah Kara tunangan nya.
Panik.