14. Keluarga Kara

1259 Words
Setelah kejadian di kantin tadi, Kara jadi merasa risih sendiri saat semua mata terus saja tertuju padanya, ingin sekali Kara segera beranjak pergi dari lapangan basket, namun melihat tatapan tajam Samuel membuat Kara tidak bisa berkutik di tempat nya. Kara terus menundukan kepalanya, masih terasa canggung dan tidak terbiasa dengan penampilannya yang sekarang. Kara sadar, dengan penampilannya yang sekarang pasti semakin banyak orang yang membencinya terlebih lagi saat mereka tau kalo dirinya adalah pacar Samuel, sang berandalan tampan pujaan hati mereka. Untuk saat ini dan kedepannya Kara berharap kejadian yang menimpanya dibeberapa hari yang lalu, tidak akan terjadi lagi untuk kedua kalinya. Berharap saja Samuel akan selalu melindungi nya nanti. "Hei." Kara terlonjak kaget saat tiba-tiba seseorang duduk di sampingnya dan menepuk pelan bahu nya disertai senyuman. "Ah, hai." Balas Kara canggung, ini pertama kalinya ada siswi yang menyapa nya dengan lembut di sekolah. "Nama lo Kara, kan?" Tanya siswi dengan bandana putih di rambutnya itu. "Iya." Balas Kara se-adanya lalu kembali menundukan kepalanya, Kara merasa canggung untuk menanya balik siswi itu. Siswi itu tersenyum kemudian mengulurkan tangannya pada Kara. "Gue Firna." Ucap siswi yang bernama Firna itu. Dengan ragu, Kara membalas uluran tangan Firna dan tersenyum kecil lalu melepaskan nya kembali. "Lo pendiem banget ya." Ujar Firna. "Aku baru pertama kali kenalan sama temen perempuan di sekolah, jadi agak gugup. Takut bikin kamu gak nyaman." Jelas Kara. Namun malah membuat Firna tertawa. "Santai aja kali. Mulai sekarang lo jadi temen gue, gak boleh ada kata gugup." Ucap Firna setelah berhenti tertawa, lalu merangkul bahu Kara. "Ta--" "Etss, gue orang baik, murah hati dan tidak sombong, jadi gak ada alesan buat lo nolak jadi temen gue." Serobot Firna sebelum Kara menyelesaikan ucapannya. "Aku ga--" "Gue orangnya pemaksa, lo mau jadi temen gue atau.... gue gantung diri di tiang bendera, terus mati, terus viral, terus lo di tuduh jadi penyebab kematian gue dan masuk penjara abis itu muncul berita. "Seorang siswi mati gantung diri di tiang bendera dikarnakan ditolak oleh seorang si--" "Oke cukup.... Aku temenan sama kamu." Potong Kara cepat, saat Firna tidak memberikan jeda pada ucapannya yang seperti mobil tanpa rem. Mendengar itu Firna langsung tersenyum dan mengajak Kara untuk berdiri kemudian memeluk nya. Mendapat pelukan mendadak dari Firna cukup membuat Kara kaget untuk beberapa saat. "Ini pelukan tanda pertemanan kita." Ucap Firna setelah melepaskan pelukannya. Kara masih bingung harus merespon apa pada Firna. Dari tingkah dan sikapnya dapat Kara simpulkan, jika Firna ini adalah sosok cewek yang humoris, penuh semangat dan cerewet pastinya. Dan itu sangat bertolak belakang dengan sikap Kara. "Oy beb. Dah dateng." Ujar seseorang membuat Kara dan Firna langsung mengalihkan pandangan mereka pada orang itu, yang tak lain adalah Bagas yang baru selesai bermain basket bersama Samuel dan Adi. "Dari tadi." Balas Firna dengan senyuman nya. Lalu memberikan sebotol air minum pada Bagas. "Tau aja gue lagi aus." Ucap Bagas lalu mengacak-acak rambut Firna. Kara yang melihat interaksi Firna dan Bagas langsung mengkerutkan alis nya bingung, satu pertanyaan yang muncul dipikirin Kara. Mereka pacaran? "Jangan liatin mereka, sini, gue haus." Ujar Samuel lalu mengambil botol minum yang di pegang Kara kemudian membuka tutupnya dan langsung menenggaknya hingga setengah. "A-arga, itu udah aku minum, aku belum sempet beliin minum buat kamu." Kaget Kara, karna secara tidak langsung mereka sudah berciuman lewat botol itu. Samuel hanya melirik Kara lalu menutup kembali botolnya dan bergumam pelan. "Sama aja, cuman rasanya lebih beda." Gumamnya, lalu memberikan kembali botol minum itu pada Kara. "Air minumnya masi ada teh? Mau atuh Adi." Ucap Adi. "Tinggal sedikit lagi bekas Arga. Nih." Ucap Kara seraya menyodorkan botol minum nya pada Adi. Baru saja Adi akan menerima nya, tapi tangan Samuel lebih dulu mengambil botol itu kemudian meminumnya kembali hingga habis, seolah tak ikhlas berbagi dengan Adi. "Arga kok diabisin. Itu Adi minta." Ucap Kara. Namun di acuhkan oleh Samuel yang langsung kembali ke lapangan basket dan bermain lagi. "Gakpapa teh, lagi timburu dia tuh pasti." Balas Adi sedikit berbisik pada Kara. "Timburu?" Tanya Kara bingung, karna Adi menggunakan bahasa daerahnya yaitu Sunda. Dan Kara cukup bingung dengan artinya. "Cemburu maksudnya teh." "Di, cepetan!" Teriak Bagas. "Bentar." Balas Adi, lalu segera berlari menghampiri Bagas dan yang lainnya. Kara termenung setelah mendengar ucapan Adi. Apa iya tadi Samuel cemburu? Tapi mana mungkin, Adi kan sahabat Samuel sendiri. ****** "Ayo cepetan naik." Perintah Samuel pada Kara agar segara naik ke atas motor nya, setelah selesai memakai helmnya. Tidak ingin ucapan Samuel terulang kembali, Kara langsung naik ke atas motor sport milik Samuel dengan sedikit kesusahan. Samuel menghela nafasnya pelan, kemudian langsung menjalan motor setelah Kara benar-benar duduk dengan nyaman. Diam-diam Kara mencuri pandang Samuel lewat kaca spion motornya, kemudian langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain saat tatapannya bertabrakan dengan mata elang Samuel yang sadar dengan pandangan dirinya. "Lo laper?" Tanya Samuel tiba-tiba. "Hah. Kamu bilang apa?" Tanya Kara kurang mendengar jelas ucapan Samuel, seraya mencondongkan badannya kedepan. "Gue laper. Kita makan dulu." "Yaudah, gimana kamu aja." Balas Kara kemudian kembali memposisikan duduknya seperti semula. Kara mengkerutkan alisnya saat jalanan yang sedang mereka lewat terasa tidak asing bagi Kara. "Ar. Kita mau makan dimana?" Tanya Kara mulai was-was, namun Samuel malah diam tak menjawabnya. Jantung Kara tiba-tiba berdegup kencang saat Samuel memarkirkan motornya di sebuah rumah makan yang sangat familiar baginya. Kara segera turun dari motor Samuel dengan perasaan ragu, tangannya mulai berkeringat dingin. "Kenapa kita kesini?" Tanya Kara pelan. "Makan." Balas Samuel singkat. "Tapi kan bisa ditempat lain." Beo Kara, namun tidak didengar Samuel. Saat Samuel melangkah kan kakinya, Kara malah tetap diam ditempat nya. Kaki nya terasa terpaku disana, ada rasa takut dan khawatir dibalik ekspresi wajah itu. Samuel yang melihat Kara hanya diam, kembali menghampiri dan menghela nafasnya sejenak. "Gakpapa. Percaya sama gue." Ucap Samuel meyakinkan Kara. Lalu menggenggam tangan Kara dengan lembut. "T-tapi, mereka. Ak--" Ucapan Kara terhenti saat Samuel meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Kara. "Lo cukup percayain ini sama gue. Dan semua bakal baik-baik aja." Ucap Samuel kemudian berjalan masuk ke dalam rumah makan itu. Suara lonceng berbunyi saat Samuel membuka pintu dan masuk kedalam. Semuanya masih biasa saja, sampai mereka duduk di salah satu meja yang masih kosong. "Mas sama mbak nya, silahkan mau pesan apa?" Tanya seorang pegawai wanita seraya memberikan buku menu, pada Samuel dan Kara. "Sate maranggi, cumi bakar kecap pedas, dua avocado jus." Ucap Samuel. Tanpa meminta pendapat Kara terlebih dahulu. "Baik. Mohon ditunggu sebentar, saya ambilkan dulu." Ucap pegawai itu lalu pergi setelah menerima kembali buku menu nya. "Ar. Kenapa kamu bisa tau aku mau pesen itu." Bingung Kara. "Asal nebak." Cuek Samuel. Sekitar lima menitan mereka menunggu akhirnya makanan mereka datang. Namun kali ini bukan pegawai tadi yang mengantarkannya. "Permisi. Pesanan mej--- Kak Kara!" Pekik orang itu spontan, saat melihat sosok Kara yang sudah lama tidak dilihatnya. "Ini seriusan Kak Kara?.... Bunda, ada Kak Kara!" Teriak orang itu. Seketika mata Kara terbelalak kaget saat mendengar teriakan orang itu. Rasa khawatirnya kembali menyudutkan dirinya. Tidak, Kara tidak sanggup. "Ar." Panggil Kara lirih. Mendengar teriakan putri nya, seorang wanita setengah baya langsung menghampiri mereka dan terkejut melihat keberadaan Kara yang tiba-tiba ada di sana. Mendadak semuanya hening. Namun beberapa saat kemudian wanita setengah baya itu langsung pergi begitu saja meninggalkan mereka tanpa sepatah kata pun, setelah pandangan matanya bertemu dengan tatapan teduh Kara yang menyorotkan kesedihan. "Bun. Bunda." Panggil gadis berusia lima belas tahun itu pada bundanya yang pergi begitu saja. Kara menundukkan kepalanya tak berani mendongak. Hati nya sakit, pikirannya kacau. Entah apa yang harus di lakukannya agar semuanya bisa kembali seperti semula, Kara tidak bisa terus lari seperti ini. Kara tidak bisa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD