Hal biasa yang di lakukan Kara setiap pagi setelah bangun tidur dan mandi, adalah pergi ke dapur menyiapkan sarapan untuk dirinya dan juga Samuel. Setelah itu pergi ke kamar Samuel untuk membangunkannya. Kamar mereka memang terpisah, karna satu yang di takutkan Kara jika mereka satu kamar. Takut Samuel khilaf, hanya itu.
Samuel adalah laki-laki normal, tentu saja bisa khilaf ketika tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Ibaratkan ikan di letakan di depan seekor kucing, pasti tak mungkin di sia-sia kan, bukan.
Terlebih lagi hubungan mereka hanya sebatas bertunangan saja. Dan hubungan mereka saat ini seperti sayur tanpa garam. Tidak ada rasanya. Jadi biarkan saja waktu yang menentukannya, mereka hanya cukup menjalaninya saja.
Selesai menyiapkan sarapan, kini Kara tinggal membangunkan Samuel dan menyiapkan baju seragamnya.
"Arga. Kamu udah bangun?" Panggil Kara setelah mengetuk pintu kamar Samuel.
Arga. Adalah panggilan yang di berikan Kara untuk Samuel, yang di ambil dari nama belakang Samuel, Argandara. Menurut Kara, nama itu sangat cocok untuk Samuel yang memiliki sikap berandalan.
"Arga." Panggil Kara, lagi. Ketika tidak mendapat sahutan dari sang pemilik kamar.
Satu menit, dua menit, hingga hampir lima menit menunggu, dengan terpaksa Kara membuka pintu kamar Samuel dan berjalan mendekat pada kasur yang masih di huni oleh si pemilik.
"Maaf aku lancang masuk ke kamar kamu. Ini udah hampir jam tujuh, kalo aku nunggu kamu bangun mungkin bakalan telat. Aku udah siapin sarapan, dan buat seragam kamu aku siapin sekarang ya, aku ada piket hari ini jadi harus buru-buru." Ucap Kara panjang lebar sembari menyiapkan seragam milik Samuel dengan lengkap bahkan Kara sampai menyiapkan buku pelajaran yang akan Samuel bawa hari ini.
"Semua nya udah siap, nanti sarapannya jangan lupa di makan. Aku pergi dulu." Pamit Kara lalu mengambil tangan besar Samuel dan menciumnya, setelah itu pergi keluar meninggalkan suara detak jarum jam yang mendominasi kamar itu.
Memastikan keadaan sudah aman. Samuel segera membuka kedua kelopak mata nya dan menarik senyuman tipisnya.
******
Kara berusaha menulikan telinga nya, seperti biasa. Ketika sudah sampai di kelasnya, Kara langsung duduk di bangku paling belakang dan menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangannya.
Ingin rasanya memiliki teman sejati untuk mencurahkan segala keluh kesahnya selama ini yang selalu di pendamnya sendirian. Tapi, dengan dirinya yang seperti ini, mana ada yang mau berteman dengannya, sekali pun mendekati dirinya pasti hanya untuk di manfaatkan.
Sekolahan yang ditempati Kara adalah sekolah elit dan bergengsi, hampir 90% dari semua murid berasal dari kalangan kaya yang menjadi mayoritas utama di sekolah itu.
Banyak yang menyimpulkan bahwa Kara berasal dari kalangan miskin, yang memiliki keberuntungan masuk ke sekolah itu lewat jalur beasiswa. Jika mereka melihatnya dari penampilan saja.
Namun cover belum tentu sama dengan isi bukan? Karna cover, bisa saja menipu.
Untuk sedikit menghilangkan rasa kesepiannya, Kara mengeluarkan sebuah n****+ ke sayangannya yang berjudul 'My Husband Is My Cold Teacher' karya dari Queennamshaa. Yang baru satu bulan ini Kara beli di toko online s****e, setelah Kara baca cerita nya di aplikasi kesukaannya, w*****d.
Kara sangat menyukai n****+ itu, karna di setiap waktu kesepiannya akan selalu ditemani oleh n****+ itu atau n****+ lainnya.
Hampir setengah n****+ itu, Kara baca. Tapi karna sudah ada guru yang datang, terpaksa Kara harus menyudahi acara membacanya dulu. Kara melirik jam tangan tosca nya dan menatap keluar jendela kelasnya, berharap hari ini Samuel masuk kelas dan tidak bolos lagi.
******
"Ada balapan, hadiahnya lumayan, bisa ganti motor baru." Ujar salah satu teman Samuel ketika mereka sedang berada di warung pinggir jalan, tempat biasa mereka nongkrong.
Hari ini Samuel kembali membolos, sebenarnya ketika di apartemen Samuel sudah niat akan masuk sekolah tapi melihat gerbang yang sudah di tutup, membuat niat Samuel langsung ambyar kemana-mana dan karna sudah malas, Samuel lebih memilih nongkrong bersama para temannya, yang padahal sudah duduk adem ayem di kelas, tapi karna di ajak bolos oleh Samuel, mereka langsung kabur dari sekolah melalui gerbang belakang yang kurang pengawasan guru.
Sungguh solidaritas yang harus di berikan jempol.
Samuel yang sedang menghisap rokok menggangguk pelan, kemudian membuang puntung rokoknya dan menginjaknya.
"Kalo gitu, gue terima. Lo atur aja waktu nya." Ucap Samuel membuat para temannya tersenyum misterius.
"Hadiahnya kita bagi dua, 50% buat gue dan 50% lagi buat kalian." Ucap Samuel, lagi. Mengerti dengan arti senyuman yang ditunjukan para temannya.
"Baek bener dah, abang gue. Kalo kaya gini kan gue bisa beliin pacar gue hape baru." Ujar laki-laki yang usia nya satu tahun lebih muda dari mereka, dia adalah Adias. Adik kelas Samuel yang cukup akrab dengan Samuel, walaupun kelas mereka beda. Tapi mereka selalu bersama.
"Matre." Gumam Samuel pelan, mengasihani adik kelasnya itu yang memiliki pacar yang ke matreannya sudah tingkat akut.
"Dia bukan matre, cuman minta hadiah kecil aja sama gue, soalnya dia ulang tahun. Gue gak enak kalo gak ngasih." Ralat Adi, mendengar gumaman Samuel.
"Hadiah kecil apaan tongo. Sebelas juta lo kira dikit, apa!" Cetus Fares, teman sebangku Samuel yang memiliki hobi gonta ganti warna rambut dengan warna yang selalu nyentrik. Padahal sudah sering kali di rajia sampai rambutnya hampir botak. Tapi Fares tak pernah kapok sekali pun.
"Nah bener, lo kira beli hape Ipone semurah beli kuaci. Kalo semurah itu dari jamannya siti ropeah juga udah gue beli, tuh hape." Setuju Jino, teman Samuel yang paling ganteng sejagat kolong jembatan, dengan tingkat ke pedean yang sudah dalam masa akut, dan juga ucapan yang kadang-kadang sedikit nyelekit dan membuat panas hati dan kuping.
"Gini nih, orang sirik mah beda. Mangkannya punya pacar, biar ngerasain gimana rasanya jadi gue." Ucap Adi pada kakak kelas sekaligus sohibnya itu.
"Pacar matre lo manjain, keluarga lo udah belum." Cibir Jino.
Seketika Samuel langsung melirik perlahan Jino, bak seorang psikopat yang sedang mengintai mangsanya.
Jino yang sadar akan ucapannya langsung berdeham pelan dan mengusap lehernya canggung.
"Gue duluan, pelajaran ke dua ada ulangan." Ujar Adi pada ke tiga laki-laki itu lalu berdiri dari duduknya dan pergi dari warung itu dengan wajah yang sedikit muram.
Jino menatap Adi yang pergi, kemudian beralih menatap Fares yang hanya membalas dengan menganggkat kedua bahunya.
"Sakit yang dia rasain, bisa gue rasain juga, kami sama-sama anak broken home. Jadi hati-hati kalo bicara tentang keluarga." Ujar Samuel dengan tenang, namun menusuk.