4. Kilasan masalalu

627 Words
Setelah membereskan semua buku nya kedalam tas, Kara segera pergi dari kelasnya dengan langkah yang terburu-buru. Karna kelasnya sudah sepi tak ada orang lagi selain dirinya sendiri. Saat bel pulang tadi, Kara di paksa untuk mengerjakan semua tugas milik Valen. Dan parahnya Valen tak membiarkan Kara mengejarkannya di rumah dan mau tak mau Kara harus menurutinya. Melihat lingkungan sekolah sudah sepi, membuat Kara tambah mempercepat langkahnya hingga melewati gerbang sekolah yang belum di kunci oleh satpam. Dengan nafas yang tak beraturan, Kara menatap kanan dan kiri jalanan mencari kendaraan umum, untuk mengantarkannya pulang. Kara melirik sejenak jam tangannya dan menatap langit yang nampak terlihat mendung, seperti akan turun hujan. Tak ingin membuang waktu hanya untuk menunggu, Kara lebih memilih berjalan untuk pulang karna jika terus menunggu belum tentu akan ada angkot yang lewat. Langkah kaki Kara mendadak mundur ketika manik mata nya yang terhalangi kecamata bulat menatap lurus seorang gadis yang di kerumuni oleh beberapa laki-laki di sebuah gang yang sedang di lintasinya. Kilasan beberapa bayangan hitam langsung terlintas di dalam pikiran Kara. Kara menggelengkan kepalanya beberapa kali berusaha menghilangkan bayang itu. Dengan mata yang mulai memanas, Kara segera berlalu dari sana dengan sedikit berlari. Ingatan yang selama ini dikuburannya dengan susah payah kini muncul kembali dengan mudahnya setelah melihat gadis yang di kerumuni laki-laki di gang sempit tadi. Karna tak fokus, Kara menyebrang jalan tanpa melihat kanan dan kiri terlebih dahulu hingga tak sadar jika akan ada sebuah motor yang akan melintas disana. Saat bunyi kelakson motor itu berbunyi, Kara baru sadar dan segera menghindar dengan melempar dirinya sendiri ke pinggiran jalan, hingga membuat sikut dan lututnya terluka dan mengeluarkan darah. "Punya mata dipake, jangan dijadiin pajangan doang!" Teriak pengendara motor itu lalu pergi begitu saja tanpa membantu Kara. Kara menggigit pelan bibir bawahnya, menahan sakit pada lutut dan juga sikutnya. Perlahan Kara berdiri dan berjalan tertatih-tatih menuju apartemennya yang jaraknya masih lumayan jauh. Namun baru lima langkah Kara berjalan, kaki nya mendadak keram dan terasa sakit, hingga Kara kembali terjatuh. Kesal dengan keadaan yang menimpanya, Kara melempaskan kecamata yang dipakainya dan melemparnya asal. "Kenapa Tuhan, kenapa kamu selalu memberikan cobaan seperti ini." Teriak Kara pada langit yang sudah mendung. Kara menutup wajahnya dan menangis. Menumpahkan segala kekesalan dalam hati nya yang sudah sampai ke tingkat paling tinggi. Isakan demi isakan terdengar dari bibir Kara. Batinnya terasa begitu menderita, saat ini. "Lemah. Bangun, lo kaya gembel duduk di situ." Ucap seseorang dengan nada sinis. Kara mendongakan kepalanya, menatap si pemilik suara yang begitu familiar di telinga nya dan kembali menundukan kepalanya untuk menghapus jejak air mata di pipi nya, sebelum berdiri mensejajarkan tubuhnya dengan Samuel, pemilik suara tadi. "Kamu kenapa disini?" Tanya Kara dengan suara yang sedikit serak. "Bentar lagi hujan, cepet jalan. Gue gak bawa motor." Ujar Samuel lalu berjalan terlebih dahulu, tak memperdulikan pertanyaan Kara terhadanya. Kara tak kunjung berjalan menyusul Samuel, karna kaki nya masih terasa sakit saat dilangkahkan hingga yang bisa di lakukannya hanya diam menunduk. Samuel yang merasa Kara tak mengikutinya langsung menoleh ke belakang dan mengusap wajahnya pelan. Kemudian bertanya dengan kesal. "Kenapa?" "Kaki aku sakit." Cicit Kara. Melihat lutut Kara yang terluka membuat Samuel menghela nafasnya pelan, lalu berjalan ke depan Kara dan berjongkok. "Naik." Kara menatap sejenak punggung tegap Samuel dan berucap pelan. "Maaf." Ucapnya lalu mengalungkan tangannya di leher Samuel dan melingkarkan kaki nya di pinggang Samuel. Tak ada balasan dari Samuel. Ia hanya diam dan mulai berjalan dengan menggendong Kara yang berada di punggungnya. Kedua sudut bibir Kara terukir membentuk senyuman tipis. Ini untuk pertama kali nya Kara berada dalam jarak sedekat ini dengan Samuel. Dan itu sungguh membuat jantung Kara berdetak tak karuan di dalam sana. "Makasih, Ar." Ucap Kara pelan, tepat di samping telinga Samuel. "Nyusahin." Balas Samuel datar, namun tak menghilangkan senyuman Kara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD