3. Siap Jualan

1238 Words
Tampang tak selalu menjanjikan. Sebuah tindakan adalah jawaban untuk membuktikan. -Kang Dani Seblak- Memilih keluar sebelum datang pertanyaan dan berakhir mendapat ancaman. Sesuai alamat yang tertera di sebuah kartu nama. Bernama Dahlan, sosok yang akan memberikan pertolongan di saat Dani bingung harus berjalan dari arah mana untuk memulai usahanya sebagai tukang seblak. Ditemani tukang ojek online, Dani sampai di depan rumah megah bertingkat. Memiliki pagar menjulang sebagai penyekat bagi siapa pun tamu. Harus melapor ke pos satpam, sebelum dapat izin masuk ke dalam. Meskipun bisa dibilang anak desa. Dani termasuk alumni SMK yang milenial, tahu tentang dunia luar dan bebas, termasuk alat canggih yang jarang ditemuinya di desa. Seorang lelaki dengan seragam satpamnya, segera menerima kartu nama yang kemarin diberikan. Bukan dengan kedua bola mata telanjang untuk pengecekan, alat khusus dapat menyortir keasliannya. Berakhir mengangguk, meminta Dani menunggu. "Baik, saya akan mengantarkannya," putus satpam tersebut melalui handie talkie. Satpam bernama Darso itu mempersilakan Dani untuk masuk. menemui langsung Dahlan yang sedang duduk ditemani secangkir teh hangat. Beruntungnya Dani datang di saat waktu luang. Menciptakan awal pertemuan dengan basi-basi cukup panjang. Menjelaskan asal dari mana, bertujuan datang ke Bandung untuk apa. "Jadi, kamu hanya butuh tempat saja?" "Iya, kalo modal Alhamdulillah, dari jauh hari saya udah punya," jelas Dani. Dahlan yang tak asing akan dunia perbisnisan mengetahui apa yang harus diberikan, mengingat pertolongan Dani kemarin. Tadi ia menjelaskan dengan senang, awalnya ingin mempekerjakan Dani di sebuah toko material yang ia punya ada sepuluh cabang. Namun, mengetahui Dani sudah punya niat berdagang seblak, tawaran lain dilontarkan. "Gampang, saya kasih kios kosong di depan SMK, bagaimana?" tawar Dahlan. Dani tersenyum tak menyangka. "Jangan ngasih, Kek, gimana kalo saya bayar separuhnya setiap bulan?" Dahlan menggeleng lemah menolak. "Saya kasih, kamu tabung saja uangnya, Dek," tolaknya sudah menganggap Dani sebagai kerabatnya sendiri. Lagi, Dani menolak. Ia enggan berurusan dengan orang asing yang membuatnya berhutang. Walaupun dapat dilihat jelas, Dahlan adalah orang baik. Salah satu anak Dahlan yang menitipkan sang cucu, menatap Dani tak suka. Sudah banyak manusia yang menikmati kesempatan kebaikan dari Dahlan. "Minjem uang atau dikasih?" Pertanyaan Darma anak ketiga Dahlan membuat Dani mengerutkan kening dalam. Dahlan yang mendengar segera menimpal, "Darma, jaga ucapanmu. Dani, orang baik yang menolong anakmu kemarin." Darma tersenyum kecut. "Ayah, masih aja percaya sama tampang dipoloskan macam, Dia!" Dani berdiri, berhadapan langsung dengan orang yang membuatnya sulit mengontrol emosi. "Maaf, saya datang dengan baik-baik ke sini, sesuai apa yang Pak Dahlan berikan kartu namanya. Lagian saya teh gak minjem uang, punten pisan." "Sudah, Dani, ikut saya sekarang," ajak Dahlan seraya berdiri dengan susah payah. Berakhir masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh sopir pribadi. Dahlan segera menjelaskan tentang Darma tadi. Anak bungsunya itu memang paling beda di antara kedua saudaranya. Entah iri atau memang tidak merasakan kasih sayang dari seorang ibu yang telah lama meninggal. "Dulu dia itu paling pendiam, setelah saya lama sendiri karena ditinggalkan almarhumah istri. Memang kerap datang anak seumuran kamu untuk meminjam uang. Darma tahu, tidak semua peminjam membayar sesuai janji yang diucapkan," jelas Dahlan sambil memainkan ponsel di tangan. "Dari kejadian itu, Darma semakin sibuk mengurusi hidup saya." "Saya gak mau, Kek, malah jadi semakin rumit hubungan bapak sama anak nanti." Dani mulai serba salah. Dahlan menepuk bahu Dani menenangkan. "Baik, sesuai apa yang kamu inginkan dari awal. Hanya meminta mencarikan tempat, seperti biasa setiap bulan tagihan harus kamu bayarkan." "Alhamdulillah, gitu dong. Makasih, Kek!" Dani memeluk Dahlan dengan erat. Sesampainya di tempat tujuan, Dahlan mengajaknya turun. Mendekati sebuah kios kosong. Halaman depannya sangat kotor tak terurus. Tepat di depan, sebuah gerbang tinggi dengan gapura menjulang. Bertuliskan nama sekolah SMK Sayang. Dahlan bilang ada banyak penjual yang ingin menyewa kios tersebut, tetapi Dahlan selalu menolak. Dulu sempat disewakan, sayang penyewanya sangat jorok. Tidak pernah mementingkan kebersihan ruangannya. Namanya juga laki-laki, lebih mementingkan pekerjaan yang gampang dan banyak diminati. Berakhir, membuat Dahlan mencabut masa kontrak. Bukan hanya selalu kotor, di dalam ruangan pula penuh coretan ala anak remaja. Sekarang. Dinding yang kembali dicat putih bersih tak meninggalkan jejak coretan, membuat Dani senang. Ia tak perlu mengeluarkan tenaga untuk membersihkan ruangan. Hanya menyapu dan mengepel saja. "Enak kalo di sini, semua siswa tertuju langsung ke kios kalo pulang sekolah, kalo yang nunggu jemputan di halte kemungkinan mampir ke sini dulu kalo jualan makanan," jelas Dahlan sembari menyingkap kain putih yang menutupi sebuah sofa panjang. "Bismillah, mudah-mudahan nanti jualan seblak di sini laku," harap Dani, menatap keadaan sekitar yang penuh lalu lalang kendaran. Hanya satu ruangan kecil, cukup untuk para pembeli memenuhi ruangan. Jadi, Dani harus mencari kontrakan untuknya hidup di Kota Bandung. Tawaran Dahlan menemani mencarikan kontrakan, ditolak Dani. Terpaksa Dahlan menurut saja. Lima lembar uang berwarna merah, dilipat kecil lalu diselipkan ke dalam saku celana Dani. Tentu saja terasa, Dani segera merogoh apa yang Dahlan masukan. Sebelum ia berkomentar, mobil yang membawa Dahlan sudah melaju kencang. Sebuah pesan masuk, Dani membacanya dalam hati. Dahlan memberikan lembaran uang itu sebagai tanda terima kasih. Seharusnya Dani yang harus memberi uang muka kios, tetapi ini sebaliknya. "Panjang umur, Kek," gumamnya. Setelah bertanya ke sana ke mari sebuah kontrakan murah. Dani mendapat satu kamar yang jauh dari kiosnya. "Gimana? Kalo gak mau, ada banyak orang yang mau masuk soalnya," ucap si pemilik kontrakan. Dani mengernyit bingung. "Ya udah, gak ada pilihan lain," balasnya menyetujui tawaran yang diberikan. Selanjutnya, ia akan mengkredit motor sebagai kendaraan sehari-hari. Untuk sementara sesuai jawaban google yang ia tanyakan, Dani sampai di sebuah gedung megah dengan deretan motor dan mobil yang memiliki satu merek terkenal. Santai dan penuh pertimbangan, Dani menuju salah satu pekerja di sana. Menjelaskan kedatangannya. "Biasa, Mas, ada DP dulu, ya. Mari ikuti saya," ujarnya. Dani mengikuti, menulis apa yang diperintah. Sampai mengeluarkan uang DP yang dia siapkan dari jauh hari. "Sesuai alamat, kami akan mengantarkannya langsung, Mas." Anggukan senang menjadi awal Dani akan merintis usaha. Setelah membeli alat mandi dan barang lain yang dibutuhkan Dani langsung melaksanakan salat duhur. Selanjutnya kembali dengan sebuah angkot menuju kios yang akan menjadi tempat berdagangnya. Sesuai catatan di dalam bukunya, besok adalah hari di mana ia akan mencari bahan, wewadahan juga membuat banner apa yang akan ia jual. Dani segera membersihkan ruangan, beruntung terdapat satu kamar mandi. Jadi, ia dengan gampang bisa langsung mengambil air untuk mengepel lantai. Tidak terasa, kumandang azan asar terdengar jelas dari arah hilir, dengan cepat ia mengunci kembali kios. Berjalan lurus, menemukan sebuah masjid. "Dagang di kios depan, Kang?" Dani menoleh. "Iya, Kang, Insyaallah," balasnya. Pedagang es kelapa muda yang lama nongkrong di depan gerbang SMK itu melempar senyum. "Gak salah, nih? Akang, sambil kuliah di sini?" Bagaimana tidak menganggap Dani seorang pedagang saja? Lihatlah rupanya! Sebelum komentar lain terlontar Dani hanya menggeleng lemah, menjelaskan bahwa ia hanya akan berdagang. Selesai salat, Dani memilih tiduran merasakan rasa lelah yang dihabiskan membersihkan kios. Rasa kantuk datang, ia pun memasang alarm berniat menghabiskan waktu selama satu jam  penuh. Telentang dengan wajah sengaja ditutupi jaket, tak terasa suara alarm terdengar membangunkan. Tepat pukul empat sore ia terbangun, segera mencuci muka. Keluar dari dalam masjid. "Waduh, pada bubar, tuh?" tanyanya sambil berjalan ragu. Gerombolan siswa siswi dari dalam SMK Sayang memenuhi trotoar. Bersantai duduk di halte tepat di samping kios yang akan Dani isi. Jadi, ia akan melewati para siswi di sana? "Anjir! Cogan, woi!" seru salah satu siswi yang memakai rok ketat. Dani mulai bingung, siapa cogan yang dimaksud siswi di sana? "Bright Vachirawit!!!" Siapa? Bright Vachirawit? Tubuh Dani semakin panas dingin. Tidak salah lagi, mereka semua sedang memerhatikan gerak geriknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD