Percaya. Akan ada orang yang selalu mengulurkan tangan untuk kita. Meyakinkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
-Kang Dani Seblak-
Ciuman dalam seorang ibu yang menenangkan takkan gampang terlupakan dalam sekejap. Meskipun perjalanan panjang sudah dilalui, keringat panas habis membasahi baju kaus oblong berwarna abu tua. Di luar sana, terlihat jelas orang pergi dengan kendaraan yang berbeda-beda. Bagaimana level kehidupannya. Termasuk cara berpakaiannya.
Mengembuskan napas kasar, menelan pahit kenyataan. Sekarang, kedua kaki telah menjejak Kota Bandung. Ciri khas dengan udara segar, pegunungan. Masih banyak orang memilih berjalan kaki, merasakan udara dalam-dalam, saling bergenggaman. Diiringi tawa bahagia. Kecuali manusia dengan raut wajah anehnya.
Putih bersih, memiliki hidung tegak menantang. Kedua alisnya menaut, tidak memercayai di mana sekarang ia berada sekarang. Hanya sebuah coretan di atas kertas lusuh, sebuah alamat perumahan menjadi tujuan. Tas tangan berisi baju dan keperluan penting, tetap dijinjingnya santai.
"Ke mana, Kang?"
Lelaki yang diperkirakan umur 40 tahun itu bertanya. Perawakannya tambun, berisi. Memiliki kumis tebal, hampir menyeramkan. Lelaki yang merasa ditanya hanya mampu tersenyum, lalu menggeleng lemah.
"Enggak, Mang. Saya tinggal jalan kaki, doang!" jawab Dani.
Sopir angkot itu mengelus kumis tebalnya. "Ya udah, mangga atuh."
Dani mengangguk mengiyakan. Ia kembali berjalan, lalu lalang manusia tetap berada dalam jalannya. Sebuah tikungan mengakhiri perjalanan panjangnya. Tepat pukul lima sore, Dani berhasil menemui teman masa kecil yang lama merantau di Kota Bandung. Memutus pendidikan karena ekonomi keluarga, dipaksa belajar dari nasib buruk menghampiri kehidupannya.
Menghalalkan apa yang dia tahu bahwa semuanya haram. Rambut gondrong, kaus oblong dengan warna hitam yang pudar. Sesungging senyum hangat mengawali pertemuan. Dani menjabat tangan temannya itu. Dono. Umurnya sama, baru menginjak 21 tahun, tetapi tampang sangarnya membuat Dani ciut. Apakah ia mampu bertahan bersama temannya?
"Anjing! Lu, Dani? Gila, keren kayak orang Belanda!"
Ah, ngaco nih anak. Mana ada Dani mirip orang Belanda? Dari lahir juga, semua orang sudah memberi label kepadanya, sebagai blasteran Indonesia dan Thailand. Lalu, Belanda yang dimaksud Dono itu dari mananya? Mungkin dia lupa karena banyak main judi? Tidak mampu membedakan mana mirip Thailand dan Belanda?
Sudahlah, sangat tidak penting. Jadi, Dani hanya mengiyakan saja. Padahal penampilannya jauh dari kata buluk. Sepatu sekolahan, dengan dua tali menjuntai terseret tanah basah. Celana levi's yang selalu dipakai kapan pun dan di mana pun. Belum lagi, jam tangan miliknya. Karena semua orang hanya tertuju menatap wajahnya saja, sampai lupa tidak mengintai jam tangan melingkar. Nyatanya, Dani memakai jam tangan mati dari satu tahun lalu.
"Hidup sendiri, Do?"
Dono terkekeh, lalu menimpuk bahu Dani keras. "He! Jangan manggil gua, Do ato Dono lagi. Gak level, anjing!"
"Lah, emang itu nama kamu dari kecil juga. Osok aneh," balas Dani seraya duduk lesehan di sebuah karpet kotor.
"Gua kasih tau, nih, nama gua di sini bukan itu!" Dono mengeluarkan satu botol air mineral dari sebuah kotak, tepat di ujung ruangan. "Panggil, Damian!"
Damian? Dani tak mampu menahan tawa, bahkan ia dengan beraninya menjitak kepala Dono teman masa kecilnya itu yang sekarang sudah menjadi ketua brandalan.
"Jauh pisan eta ngaran, Dono jadi Damian! Ah, gak pantes!" ejek Dani, sambil terpingkal-pingkal.
Tidak biasa, bahkan melampaui batas. Damian alias Dono mendekati Dani yang masih tak mampu menahan tawa. Mencengkeram paksa kerah kaus yang basah karena keringat. Seketika sentakan tangannya, membuat Dani terkejut. Menghadap langsung wajah penuh kotoran di hadapannya itu.
"Lu, kalo ngomong dijaga, ya. Di sini cuma nampung, tau batesan! Gua bukan anak Garut lagi, gua penguasa jalan Dangdut di Bandung!"
Meskipun menekan kata-katanya penuh ancaman juga pelototan sang teman yang kentara marah. Dani malah salah fokus di saat Damian berkata jalan Dangdut. Semakin aneh saja temannya itu. Selanjutnya, Damian menyentak keras kerah kaus Dani. Berjalan cepat menuju pintu belakang. Semua rahasia berada di sana. Hanya orang tertentu yang bisa masuk.
"Dia teh udah berubah mungkin, ya? Kok, serem-serem, tapi lucu," gumam Dani.
Belum sempat kedua kakinya berjalan untuk menyusul, Damian masuk ke dalam lagi. Memberitahukan kamar untuk Dani. Menuju lantai dua, di mana keadaan ruangan satu-satunya bak kapal pecah. Bekas minuman keras berserakan. Pecahan gelasnya menjadi hal biasa, berada di penjuru ruangan. Sebuah sofa ambruk di tengah ruangan. Tidak ada ranjang tidur.
Sebuah jendela terbuka lebar, bergerak sesuai irama angin sore. Suasana kota nampak terlihat jelas dari atas. Deretan mobil terparkir rapi, ribuan lampu rumah, tempat belanja dan apartemen mulai menyala. Menandakan, waktu Dani untuk beristirahat akan dimulai. Namun, apakah ia mampu tidur di ruangan yang berantakan dan bau pesing itu?
"Terserah, mau tidur apa enggak juga. Gua cuma punya ruangan ini buat elu," jelas Damian seraya membereskan beberapa botol minuman keras ke pinggir.
Dani mengangguk pasrah. "Nanti kamu tidur di mana?"
Damian menoleh. "Gua gak bakal tidur di sini, ada jadwal balapan liar. Lu mau ikut?"
Sontak Dani menolak, "Gak! Saya mau istirahat aja."
Anggukan bodoamat mengakhiri pertemuan. Damiam berjalan cepat menuruni anak tangga. Tinggal keheningan penuh sesak udara kotor. Bukan hal biasa bagi Dani. Namun, kali ini ia harus melakukan apa pun demi masa depannya. Sengaja ia tidak langsung mencari kontrakan. Niatnya hanya ingin beristirahat sebelum esok hari, tetapi nyatanya ia harus membersihkan dahulu tempat itu.
Dani mulai mencari sebuah sapu. Sayang, tidak ditemukan di lantai bawah. Terpaksa, Dani menyapu debu dan bekas pecahan botol kaca dengan kain lapuk di sana. Entah selimut lama atau kain dari jalanan, menjadi alat bantunya. Sampai, langit sore terganti hitam gelap. Secepat kilat, segera mencari sakelar untuk menyalakan lampu di ruangan itu.
Sial. Dani tidak menemukan. Baru tersadar, di atas plafon yang lapuk, tidak ada tanda bahwa sebuah lampu terpasang di sana. Senter dari ponsel menjadi jawaban. Bingung akan duduk beralaskan apa, Dani memilih membersihkan sofa yang reyot dimakan usia. Duduk pelan-pelan. Mulai membaringkan tubuh jangkung tegapnya.
"Astagfirullah!" Dani terduduk, mengingat kewajiban sebagai muslim hampir ia tinggalkan.
Salat magrib harus dilaksanakan. Dani pun memutuskan menuruni anak tangga. Menggunakan senter dari ponselnya. Keadaan di lantai bawah, diterangi lampu temaram yang hampir mati. Bingung mencari kamar mandi. Hanya dua pintu yang Dani temukan. Satu pintu masuk, satu lagi pintu di mana Damian tadi masuk.
"Mungkin, itu kamar mandi, ya?" Dani bersiap mendorong pintunya.
Terkunci. Dengan pasrah, Dani berbalik. Menatap keadaan sekitar yang sepi dan kotor. Ia pun memutuskan berjalan menuju pintu keluar. Sepi lagi. Lorong panjang menjadi jalan keluar, ia menutup kembali pintu, berjalan lunglai menuju gang yang tadi ia masuki. Menemukan lalu lalang para manusia. Lupa akan kewajibannya sebagai muslim. Lihatlah, perempuan berjilbab sedang asik berjoget ria.
Sebuah ponsel menjadi hal wajib di hadapan kelima muslimah di sana. Tidak perlu ditanya, sedang apa mereka berjoget ria tak mengenal waktu. Dani terus berjalan. Tujuannya mencari sebuah masjid atau mushala. Saat kakinya siap melangkah menuju tikungan kanan, sebuah toko perbelanjaan besar menjadi objek para manusia yang banyak masuk dan keluar.
"Ohh, iya. Biasanya 'kan suka ada musala, ya?"
Sebelum kakinya melangkah, menyeberangi jalan yang penuh lalu lalang kendaraan. Dari arah hilir, seorang lelaki yang menginjak usia 70 tahun terlihat kesulitan menarik seorang bocah kecil. Dani segera menghampiri, mengulurkan tangan mengajak bocah berusia 5 tahun itu untuk ikut dengan kakeknya.
"A ...! Gak mau, Dede pengin balon!" rengeknya, menangkis tangan Dani.
"Ayo, salat dahulu sama, Abah, De ...!" tegas lelaki yang mencoba menarik cucunya itu.
"Nanti, abang belikan, ayo!" seru Dani mengejutkan keduanya.
Lelaki bernama Dahlan itu tersenyum senang. Dani pun menggendong bocah kecil itu, lalu menuntun Dahlan untuk menyeberangi jalan.
"Om siapa? Kenapa gendong, Dede?"
Dani tersenyum kecil. Sampai di depan tempat perbelanjaan, ia menurunkan bocah yang kebingungan itu.
"Makasih, Dek," ucap Dahlan sambil menepuk tangan Dani.
"Sama-sama, Kek." Dani dengan cepat pamit masuk, sedangkan pertanyaan yang dilontarkan bocah kecil itu belum dijawabnya.
"Kek, Om tadi siapa? Kok gendong, Dedek, hum!" Wajahnya ditekuk masam.
Dahlan mengacak rambut cucunya. "Sudah, ayo kita pergi ke musala," ajaknya.
Di tempat yang sama. Saat Dani selesai melaksanakan kewajibannya. Sosok Dahlan menunggu di belakang. Mengulurkan sebuah kartu nama.
"Saya tahu, kamu lagi butuh kerjaan, kan?"
Dani tergagap, "L-loh, Kakek kok tau, ya?"
"Sudah, jangan dipikirkan. Datanglah ke alamat yang tertera di kartu nama itu," putusnya, lalu menuju saf depan bersama cucunya yang memberikan senyum lebar.
"Dah, Om!"