Dicintai, tapi enggan membalas untuk mencintai. Kadang kesempatan emas itu disingkirkan tanpa berpikir ulang, lalu berakhir penyesalan.
-Kang Dani Seblak-
Melayani dengan senang hati, pasti bayarannya hanya dengan puluhan pujian tak henti. Dani tersenyum senang, melihat penggemarnya bahagia. Media sosial sudah dipenuhi beberapa fotonya yang tak secara langsung meminta atau sembunyi-sembunyi. Memakai hastag Bright KW Bandung. Kembali sebuah senyuman dipaksakan, tetapi Tuhan selalu memberikan jalan terbaik dalam kesulitan.
Lewat rupa yang menggegerkan dunia maya, Warung Seblaknya sudah dipenuhi puluhan kaum hawa. Bukan karena terlalu posesif ingin merasakan seblaknya, dengan niat khusus mengabadikan momen berdua lalu upload ke mana-mana. Tidak butuh waktu lama, di luar dugaan tentunya. Pendapatan dalam seminggu, membuat tukang es kelapa muda di seberang sana melongo.
"Itu lima kali lipat, Kang!" serunya, tak memercayai sewaktu Dani sengaja menutup kios demi menghitung uangnya.
"Jangan merendah gitu atuh, masa lima kali lipat?" tanya Dani.
"Terserah, saya mau ngingetin. Wajah, Akang, pembawa berkah."
Dari percakapan itu, Dani bisa mengenal sosok Darman. Selain sering menyapa setiap kali menjelang jualan, ia juga sering membantu saat Dani kewalahan melayani pembeli. Tanpa sadar, beberapa siswi juga kadang membeli es kelapanya dibanding hanya minuman dingin dari warung Dani.
Selama satu bulan penuh, semua penghuni SMK Sayang sudah tidak asing lagi dengan Kang Dani Seblak. Dapat dibedakan mana siswi penggemarnya dan tidak. Terlihat di sebuah kelas lantai atas, yaitu XI Akuntansi I Hanya beberapa manusia berwujud perempuan dengan heboh berdatangan membeli seblak, kebanyakan yang lain fokus dengan mata pelajaran.
Termasuk, gadis kutu buku alias Patung Dayana. Sudah puluhan kali, Desi teman sebangku mengajaknya makan seblak, tetapi Dayana selalu menolak. Dilihat dari depan kelasnya juga, warung seblak di luar sana nampak takkan bosannya ramai dari perempuan centil. Jangan lupakan Denis dan Dena sudah dicap sebagai siswi yang keluar duluan dan masuk terlambat saat istirahat demi membeli seblak.
"Apa bedanya, sih, sama seblak lain? Mereka aja yang kecentilan deketin manusia biasa itu," cetus Dayana, masih fokus membaca lembaran n****+ di tangannya.
Desi menoleh. "Menurut gua enak, bumbunya punya ciri khas gitu. Pertama gua beli, anehnya itu pakek timun sama irisan daun jeruk. Menurut lo aneh, gak?"
Memikirkan hal di luar pelajaran? Bukan Dayana! Dengan malas ia menggeleng lalu memilih keluar dari kelas. Akhir-akhir ini, pengganti manusia berisik di kelasnya kebanyakan memuji manusia kerap dipanggil Kang Dani. Cowok yang tanpa sengaja pernah ia lihat, memang ganteng, tetapi ada yang lebih darinya. Dayana tak tahu siapa dan tidak peduli dengan fakta di tahun ini.
Beberapa guru keluar dengan cepat, Dayana melihat sosok Kepala Sekolahnya juga berada di rombongan itu. Mau ke mana mereka? Niat awal Dayana pergi ke toilet urung, ia mengikuti langkah kelima gurunya. Berakhir keluar gerbang, menyeberangi jalan. Masuk ke dalam warung Kang Dani Seblak.
"Para guru, sempet-sempetnya datang ke sana?" pikir Dayana.
Posisinya sebagai juara umum setiap tahun menjadi penasaran. Ada apa di sana? Apa sesuatu yang tidak diperbolehkan, tetapi halal digunakan di sana?
"Zaman gini, masih ada perpeletan?" gumamnya, lalu memilih berbalik kembali menuju niat awal.
"Ahai, Neng Dayana gak niat beli seblak?"
Dayana menoleh, mendapati Dikri alias Daki teman sekelasnya. Panggilan menggelikan itu diciptakan oleh Denis, manusia yang merubah nama orang dengan seenaknya tanpa persetujuan, tetapi teman sekelasnya nyaman-nyaman saja. Tentunya dengan terpaksa.
"Gak!" ketus Dayana kembali berjalan lurus.
Sudah biasa orang-orang menanggapi sikapnya. Bukan sombong atau tidak peduli, tetapi ia akan berbicara seadanya. Jika tidak penting, pasti akan melewatinya karena hanya membuang waktu saja. Dikri meringis, lalu menaiki anak tangga menuju kelasnya.
Di dalam toilet, terdengar ocehan para senior yang mencaci Denis sebagai pengganggu. "Sok cantik juga, ngapain, sih, tu manusia main pepet mulu! Heran udah dapet Danu, malah ngejar Kang Dani!"
"Tauk, kalo kita kerjain tuh l***e. Bisa-bisa nyokapnya datang kek dulu."
Ya, Denis memang sudah ditandai sebagai junior dan senior pendendam. Bukan melapor ke guru BK ia langsung melapor ke pamannya sendiri, kebetulan seorang polisi. Tidak lama, pasti ayahnya akan turun tangan. Mengingat Denis anak tunggal dan dimanjakan.
Sayangnya, kecantikan dan kekuasaannya dalam hal apa pun tak menghasilkan followers i********:-nya bertambah banyak. Caranya berusaha demi mendapat centang biru, yaitu membeli followers. Hingga perjuangannya berhasil di awal kelas sebelas ini.
"Dia cuma punya satu kelemahan!"
Dayana melewati kumpulan seniornya itu. Sebelum ia masuk ke dalam bilik kamar mandi, salah satu senior menarik tangannya. Dengan gerakan menghindar dari lawan, selama enam tahun dipelajari, membuat tangan mulus Dasya terpelintir.
"ANJING!"
Keenam temannya tersentak kaget, sedangkan Dayana segera melepas pelintirannya.
"Ada apa, Kak?"
Dasya menatapnya penuh emosi. "Bisa gak, sih! Sopan dikit sama senior!"
Senyum meremehkan tersungging. "Kalo ada perlu tinggal panggil aja, gak usah narik-narik segala," balas Dayana santai.
"Udah, Sya, dia Dayana anak pinter. Masa lo lupa?" bisik Davina, tetapi Dayana masih mampu mendengar.
Pelototan Dasya seketika mengendur. "O-oh, sorry! Ok, itu salah gua." Tangannya menarik cepat Davina untuk pergi dari sana.
Menatap kepergian seniornya ke luar, tanpa membuang waktu Dayana segera masuk ke bilik kamar mandi. Duduk termenung menatap coretan dari tangan nakal para siswi. Aneh. Dayana masih memikirkan tukang seblak di depan sana. Padahal dalam hidupnya, ia tak pernah membuang waktu untuk memikirkan hal sepele seperti itu.
Sampai, tingkat mempertahankan sok tidak peduli detik itu runtuh. "Gua ajak, Desi aja, ya?"
Waktu pelajaran terakhir berjalan lancar. Sebagai siswi pintar Dayana menjadi orang pertama menyelesaikan dua puluh soal Akuntansi Keuangan yang diberikan, dilanjut Daniel Ganteng. Selain ganteng ia juga terkenal memiliki otak encer. Ditambah humoris, sempat mengejar Denis, tetapi mendapat jawaban sebuah penolakan yang memilukan.
Dena yang sudah selesai, terpaksa menahan jawabannya untuk Denis. Teman sebangku yang hobi nyontek. "Kalo lu ngasih jawabannya sekalang ke depan, tanpa nunggu gua. Liat nyokap sama bokap gua!"
Menjadi hal biasa Dena mendapat ancaman dari temannya itu. Mengangguk setuju adalah jawaban pasrah, lagian dia sudah nyaman berteman dengan Denis. Kenapa? Karena temannya itu mendukung penuh, Daniel berpacaran dengan Dena. Sayang, Dena harus bersaing dengan Desi.
"Kalo, lu berdua suka sama gua. Sorry, hati gua belum membuka lowongan pengganti baru," terang Daniel.
"Halah, gak usah sok jual mahal, lu! Udah ditolak Denis aja, sombong!" sosor Desi dengan wajah malasnya.
Dena yang mendengar menatap sebal Desi. "He, terserah Ayang Daniel. Ngapain lu komen! Lu pacarnya? Sepupunya? Pembantunya?" oceh Dena.
Sudah biasa Daniel mendengar pertengkaran sengit itu. Menurutnya, Dena memang beloon sejak dini, sedangkan Desi biasa saja. Tidak ada yang istimewa, mungkin bisa dibilang cermin terbaliknya Dayana. Karena sama-sama penyuka n****+ juga dunia bela diri. Terkecuali otak pintar, Desi seperti Denis. Kang nyontek maksa.
"Sebagai teman dari zaman orok, lo gak ada niatan ngasih contekan apa?"
"Sebagai teman yang peduli sama masa depan lo, gue harus kasian karena nyontek mulu gak bakal membuat otak lu tiba-tiba pinter, Des."
"Masa depan? Gua juga gak peduli gimana masa depan gua, Na." Secepat kilat, Desi merebut lembar jawaban Dayana tanpa persetujuan.
Kebiasaan tersebut selalu lolos dari pengawasan para guru. Karena mau Denis ataupun Desi, meskipun nyontek mereka tetap memilih dan memilah jawabannya terlebih dahulu. Jadi, tidak semua jawabannya sama. Kebiasaan lain juga selalu didapati, di mana Danu tanpa henti tetap berjuang mendekati Denis.
Datang lalu pergi lagi karena yang dicari hilang tak ditemukan. "Ayang gua mana?"
Dikri yang duduk tepat di belakang bangku Denis dan Dena menjadi incaran, sebagai pemegang jawaban.
"Mau make, make up cenah."
Danu yang tahu kebiasaan Dikri selalu menggunakan Bahasa Sunda di setiap ucapannya mendengkus. Padahal ia sudah berlari dari kelasnya XI Akuntansi X dengan susah payah. Mengingat masih banyaknya penggemar menggila, akan ketampanan yang dimilikinya. Kadang pula, jadwal bermain basket membuat perjuangan mendapatkan Denis semakin menyulitkan.
"Jual mahal banget!" hina Danu.