Sebelum melangkah untuk berperang selalu ada godaan. Termasuk berani mengibarkan bendera siap berdagang.
-Kang Dani Seblak-
Hengkang dari manusia tak diharapkan segera Denis lakukan. Sopir pribadinya sudah menunggu tak jauh dari kerumunan, secepat kilat Dena mengikuti. Danu hanya mampu mendengkus sebal, sampai cubitan manja dapat ia rasakan dari beberapa cewek genit di sekitarnya.
"Danu ... ngapain ngejar Si Denis mulu, sih?"
"Gantengnya nanti ilang, loh. Sama kakak aja, yuk?" ajak salah satu seniornya.
Danu mendelik sebal mendengar godaan para setan. "Bacot!"
Pasang mata yang menyaksikan perlahan mundur, mungkin mereka memang harus pergi menjauh. Toh, Danu takkan bisa luluh dalam satu hari. Jauh dari kerumunan penghuni SMK Sayang, Dani sudah duduk manis di dalam angkot. Tepatnya di jok paling depan. Keanehan datang satu persatu.
Mengapa angkot yang membawanya tidak menunggu penumpang dari SMK? Pertanyaan tersebut dijawab langsung oleh si sopir.
"Mereka nunggu di halte atau pinggir jalan, bukan berarti mau naik angkot, Kang. Lagi nunggu jemputan dan semuanya pada punya sopir pribadi," jelas si sopir.
"Bisa dibilang itu teh, SMK elite dong? Kebanyakan anak orkay?" tebak Dani.
Sopir angkot terkekeh, "Haha. Bukan orkay aja, liat wajah mereka semua kebanyakan pada blasteran, tapi gak semua hafal bahasa luar. Kayak orang Bandung biasa aja, Sunda sama Indo gaul gitu."
Jadi, apakah manusia blasteran dengan latar belakang yang terhormat itu akan membeli seblak murah dengan bumbu ciri khas orang Garut? Jangan-jangan mereka semua malah mengusir Dani agar tidak berdagang dan mengotori halaman depan SMK Sayang? Ketakutan itu mulai bermunculan, tetapi setelah mendengar pernyataan bahwa wajah Dani yang mempesona mungkin akan menyelamatkan.
"Tadi saya kira ada kecelakaan, eh ... nyatanya lagi dikerumuni sama cewek, ya? Bisa jadi penglaris, tuh!"
Penglaris? Kegamangan dan ketakutan segera sirna dalam sekejap. Sebuah panggilan telepon memberitahukan, bahwa motor cicilannya akan segera diantarkan. Dani semakin semangat untuk berdagang. Besok, ia akan mempersiapkan segalanya, dari peralatan, bahan dagangan sampai banner yang harus terpasang.
"Hallo? Ini isi banner-nya apa aja, Kang?"
Dani terdiam berpikir keras. "Terserah, Kang, saya nurut aja."
Di seberang sana, terdengar mengeluh panjang lalu memberikan saran, "Kang Dani Seblak. Gimana?"
"Boleh, iya itu aja. Nanti saya kirim foto seblaknya, ya," balasnya dan panggilan berakhir.
Waktunya merebahkan kembali tubuh, sebelum kumandang azan magrib terdengar. Beruntungnya kontrakan yang Dani tinggali, dekat dengan sebuah masjid, hanya cukup berjalan kaki tidak sampai semenit pun sudah sampai. Membersihkan ruangan dengan kamar mandi di dalam, sebuah kasur lipat dan dua bantal.
Bayarannya memang mahal, tetapi menyediakan tempat tidur gratis dapat meringankan pengeluaran. Mengingat awal berdagang ada banyak daftar barang yang harus dibeli, sedangkan modal tidak memadai. Uang yang Dahlan berikan menjadi penyelamat. Tuhan selalu memberikan pertolongan, lewat tangan siapa pun. Karena rezeki takkan pernah tertukar.
"Kang Dani Seblak," gumam Dani seraya mengeluarkan baju dari dalam ranselnya.
Tidak lama kumandang azan magrib terdengar sangat merdu, memberitahukan kepada umat muslim untuk segera bergerak cepat. Meninggalkan sejenak semua pekerjaan berhubungan dengan dunia. Harus menyisihkan waktu beribadah, bukan hanya dunia yang harus diraih. Karena di masa yang akan mendatang akhirat adalah alam keabadian.
"Penghuni baru, Kang?"
Dani mengangguk. "Iya, Kang, ngontrak juga di Kang Didin?" tanyanya berbasa-basi.
Lelaki yang jauh lebih tua darinya menjawab, "Iya, saya ngontrak di kamar belakang."
Seperti biasa, tak banyak manusia melaksanakan ibadahnya berjemaah di dalam masjid. Kemungkinan masih sibuk bekerja atau bisa saja berada di perjalanan pulang. Sebagai warga baru di komplek Dandanan, Dani segera memperkenalkan diri dan menceritakan tempat berdagangnya esok hari.
"Wah, SMK Sayang mah emang orkay semua, Kang, tapi gak semuanya pada jajan mahal-mahal, kok," jelas salah satu penghuni kontrakan di samping kamar Dani.
"Iya, Kang, kalo orkay dari orok biasanya soal jajan gak ngabisin uang. Paling penting bisa ngenyangin perut," timpal lelaki yang kerap dipanggil Hj. Dodi.
Jemaah yang baru melaksanakan salat sunah duduk di antara mereka bertiga. "Sepupu saya juga dagang di sana, liat ada tukang es kelapa?"
Dani mengingat lelaki yang menyapanya di masjid. "Iya, ada, Kang."
"Nah, dia mah udah lama di sana. Banyak kok yang dagang, siswa di sana juga kebanyakan pada ramah, gak kayak omongan orang luar. Masalahnya cuma susah nyari kembalian, baru istirahat pertama pada ngasih uang merah sama biru," jelasnya diakhiri tawa.
"Harus punya receh atuh, ya?"
"Jangan receh banget, pada suka komen takut ilang katanya."
Percakapan yang membuat Dani semangat kerja. Seharusnya dimulai esok harinya lagi, ia memutuskan bersiap besok saja. Mengingat membeli bahan dan wewadahan sangat gampang didapatkan. Malam pertama tidur dengan perasaan was-was, tetapi tidak sabar siap berdagang.
"Kang! Ih ... Kang Dani!"
"Pengin seblak level lima, biar hati aku tetap berbunga-bunga, azek!"
Gerombolan cewek dengan ciri khas rok sepan pendek selutut, baju putih ketat hampir menampakkan lekuk d**a yang membusung. Tidak lupa bibir bergincu merah merona, seketika memberikan jalan juga membisu dalam diam.
Karena cewek cantik penguasa SMK Sayang sudah datang. Kini kuasanya ditambah warung kecil bernamakan Kang Dani Seblak. Meskipun ia baru kelas sebelas, tetapi seniornya memilih mundur. Bisa diartikan juga bahwa Danu Bromosto akan menjadi incaran selanjutnya.
"Akang Sayang ...." Denis berkata genit dan manja.
Dani yang mendengarnya gemetar panas dingin. Rasanya ia berhadapan langsung dengan Kuntilanak cantik.
"Pen seblak!" Tanpa ragu Denis melingkarkan kedua tangannya di leher Dani.
"J—jangan kayak gini atuh, malu sama temennya, tuh." Dani tergagap, mencoba melepas rangkulan tangan Denis di lehernya.
Bukannya melonggar, Dani dapat merasakan Denis mencekik lehernya semakin keras.
"A—ASTAGFIRULLAH!"
Hanya mimpi. Dani merasakan tubuhnya banjir keringat dingin. Ia mengusap wajah dengan kedua tangannya kasar. Menatap jelas layar ponsel baru menunjuk pukul tiga dini hari. Mengapa ia bermimpi buruk? Bahkan sangat buruk! Dani pun kembali tiduran menatap langit-langit kamar yang putih bersih.
Mari kita tidur, lupakan mimpi buruk yang takkan terulang dalam dunia nyata. Dani memejamkan matanya. Esok ia akan dipanggil oleh pelanggan pertama sebagai Kang Dani Seblak. Sesungging senyum menghiasi bibir kemerahannya. Ya, besok akan dimulai sesuai harapan.
Suara alarm terdengar nyaring, bertepatan kumandang azan subuh. Sudah menjadi kebiasaan mandi pagi lalu menyambar sarung, bersiap pergi ke masjid. Tentu saja didapati jemaah tiga orang adalah hal biasa di kota, tetapi tidak di masjid yang sering Dani isi bersama bapaknya di kampung. Paling sedikit hanya sepuluh orang.
"Kalo ada bantuan, terus pihak desa ngasih tau di masjid bagiin sembakonya. Di sanalah titik keanehan terjadi."
"Tiba-tiba banyak jemaah ya, Pak Haji?" tebak Dani.
Pak Haji menggeleng, lalu berbisik, "Banyak bapak-bapak yang ngantri mau dapet sembako."
Keduanya tertawa terpingkal-pingkal, seorang tetua di masjid yang selalu menjadi imam menyapa Dani. Mempertanyakan statusnya dan baru menginjak usia muda 21 tahun.
"Sendiri aja?"
"Iya, Tad, keluarga semuanya di Garut."
Mengingat waktu terus berjalan, memaksa Dani harus pamit untuk bersiap dengan motor barunya. Mencari bahan dagangan, pergi sesuai arahan yaitu menuju pasar. Kebiasaan Dani yang diturunkan dari emaknya adalah menawar barang yang diinginkan.
"Aduh ... buat Akang ganteng mah sok aja, tapi jangan bilang sama siapa-siapa loh," bisik pedagang bumbu masak.
"Siap, jadi rahasia itu mah." Dani melanjutkan acara belanja ke beberapa kios, membeli kerupuk untuk bahan seblak, tidak lupa daun jeruk yang wajib digunakan.
"Akang ganteng, besok ke sini lagi, ya!" seru penjual timun yang kebetulan seorang janda muda, tadi ia sengaja menambah timunnya agar Dani menjadi pelanggan setianya.
"Siap, Teh!"
Tatapan mata para remaja tanggung yang terpaksa berdagang, mengikuti kemauan kedua orang tuanya seketika salah tingkah. Segera merapikan kerudung yang basah oleh keringat, baju yang kotor karena sayuran. Bahkan ada yang sampai memakai kembali gincunya demi mendapat perhatian dari Dani.
"Dia teh saha? Kok ganteng pisan kitu, tapi mau belanja ke pasar kumuh gini," bisik salah satu remaja yang menjajakan jengkol mentah.
"Katanya, sih, orang baru. Mau dagang seblak," balas temannya yang mendengar ribuan pertanyaan dari salah satu penjual, lalu dengan santai Dani menjawab.
"Ohh, idaman atuh. Udah ganteng, mau jualan lagi."
Dani yang berhasil keluar dari dalam pasar, dengan leluasa dapat menghirup udara segar. Seorang pedagang kopi keliling menawarkan dagangannya.
"Kopi kapucino, Kang," pesan Dani seraya duduk di bangku kayu yang hampir ambruk dimakan rayap.
Tukang kopi segera meracik dengan cepat. Karena penasaran dengan wajah Dani yang sangat sempurna, ia bertanya, "Akang teh artis?"
Hampir tersedak, Dani menyimpan kopi yang baru ia teguk. "Artis apaan atuh, saya mah warga Indonesia biasa. Gak punya gaji tetap."
"Bright Vachirawit KW, Ma!"
Dani menoleh, mendapati gadis remaja dengan ponsel besar di tangannya. Ditemani seorang wanita yang memiliki tubuh idaman para kaum hawa.