L 20. Selesai

2816 Words
Kayaknya kita harus break dulu. Aku rasa kita butuh waktu." ... "Lo mau pulang, By? Kok tiba-tiba?" "Nggak tiba-tiba kok," Baby tersenyum. Milani mengangguk saja meski agak bingung. Baby sudah kembali fokus dengan pekerjaan. Milani pandangi sahabatnya itu lama sampai akhirnya Paris memanggil. "Kamu liatin apa?" Milani menyenggol lengan adiknya yang sedang meneguk air itu. Pandangan Paris jelas tertuju pada Baby yang sedang berbicara dengan panitia lain. Mungkin membahas masalah persiapan Final FoA. Bagaimanapun harinya sudah semakin dekat. "Kakak ngapain di sini?" Paris balik bertanya. Milani menghela napas. "Bosan di asrama sendirian. Lagi nggak ada kegiatan juga." "Makanya punya pacar.." Milani menyipitkan matanya. "Ntar kalau kakak punya pacar kamu yang kesepian.." Paris geleng-geleng. "Kamu juga mending cari pacar.." kata Milani. "Pacar beneran," sambungnya. Ia seolah mengingatkan Paris untuk tidak punya pikiran macam-macam. Paris kembali meneguk air minumnya. "Paris, kakak serius ngomong sama kamu. Sebelum terlambat. Kamu tau, Baby sama Haras itu pacaran udah lama. Udah mau empat tahun. Jadi mending kamu ubah pikiran kamu. Kakak yakin masih banyak cewek cantik di luar sana yang bisa kamu dapetin." Nada suara Milani terdengar sangat serius. Paris pun bukan pertama kali mendengar semua ini. Bisa dibilang sudah berkali-kali Milani mengatakannya sejak perempuan itu tau perasaan sang adik pada sahabatnya. "Pacaran lama pun nggak menjamin hubungan nggak akan goyah." "Kamu ngomong apa barusan?" Paris menggeleng. "Lagian sejak kapan kakak lihat aku macarin perempuan karena kecantikannya?" Milani menghela napas berat. "Paris.. kakak mohon sama kamu.." Paris tersenyum. Ia kemudian bangkit saat ada yang memanggilnya. Milani menatap punggung adiknya itu. Bagaimana caranya ia memberitahu Paris? ... [Baby Pov] "Kayaknya kita harus break dulu.." Kalimat itu terus terbayang di kepalaku. Aku melirik sekilas ponsel di atas kasur. Sejak tadi malam memang ada cukup banyak pesan yang masuk. Iya, dari Haras. Tapi aku mengabaikannya. Aku rasa kami memang butuh waktu untuk istirahat. Bukan kami, tapi Haras. Malam itu setelah Cindy menelpon, aku menjadi tidak tenang entah karena apa. Perasaanku jadi tidak enak. Bodohnya aku mengikuti instingku. Harusnya aku tidak ke sana malam itu. Seolah mendapat bisikan, aku pergi ke restoran tempat aku dan Haras biasa makan. Dan betapa mengejutkannya ternyata mereka memang di sana. Aku melihat mereka berciuman. BERCIUMAN! Malam itu aku benar-benar tidak bisa menahan diri. Pikiranku seketika kacau dan aku langsung pergi dari sana. Sebagian orang pasti akan mencaciku. Mengataiku. Harusnya aku ke sana dan melabrak mereka. Tapi percayalah padaku, itu tidak semudah seperti yang dibayangkan. Aku bahkan kehilangan kekuatan untuk melangkah ke arah mereka. Malam itu aku menjadi pengecut, meninggalkan Haras bersama Cindy. Harusnya aku menjemput Haras, membawanya pergi karena dia milikku. Tapi, kenapa harus aku yang menjemputnya? Kenapa bukan Haras yang datang padaku? Kecewa? Iya, sangat. Rasanya seperti dihantam batu besar. Ditambah dengan Haras yang memilih merahasiakan hal itu dariku. Aku menunggunya. Menunggu Haras bicara. Menunggu Haras menjelaskan. Aku yakin aku akan percaya jika ia menjelaskan padaku. Aku yakin aku tidak akan salah paham. Dan lagi-lagi, rasanya seperti dihantam batu besar untuk kedua kalinya di saat Haras tak kunjung menceritakan hal itu padaku. Dan aku tidak bisa mengendalikan perasaan dan pikiranku. Haras masih menyukai Cindy. Atau mungkin bahkan mencintai Cindy. Orang bilang mulut bisa berbohong, tapi tidak dengan mata. Karena kita tidak pernah sadar bagaimana cara kita memandang seseorang. Aku menarik napas dalam. Saat ini lupakan dulu soal Haras. Ada hal lain yang membuat aku tak bisa tenang. Aku mengabaikan pesan yang baru masuk. Mungkin Haras atau siapapun. Aku selesai menyimpan keperluan ke dalam tas. Memastikan tidak ada yang lupa, aku segera meninggalkan asrama. Rumah. Aku harus cepat sampai di rumah. Mama, Papa... ... Aku sampai di rumah. Tidak ada siapa-siapa selain Bibik yang menyambut. Beliau sedang merawat bunga-bunga di taman belakang. Biasanya Bibik masak jam segini. Tapi.. "Nggak ada yang mau makan, Non, jadi bibik nggak masak. Palingan bibik cuma goreng telor kalau bibik lapar.." Ada apa sebenarnya? Apa Papa juga tidak di rumah? "Papa emang ke mana, Bik?" "Ada, Non. Tapi Tuan nggak makan di rumah. Kalau pulangnya malam pasti Tuan udah makan di luar.." Aku mengangguk. Membiarkan bibik kembali pada pekerjaannya. Aku masuk ke kamar, kemudian menghubungi mama. "Hallo," akhirnya mama menjawab panggilanku. "Hallo, Ma.." "Iya sayang.." Kenapa suara mama seperti tidak ada masalah? "Mama di mana?" Tanyaku langsung. "Mama? Mama lagi di rumah. Kan tadi mama udah bilang.." Mama... astaga. Entah kenapa mataku terasa panas. "Ma," aku menarik napas. "Mama kenapa bohong? Baby lagi di rumah sekarang," aku menjeda. "Dan mama nggak di rumah.." Mama seketika terdiam. Lama. "Sayang..." "Mama di mana sebenarnya?" Terdengar helaan. "Mama di rumah tante Tisa." ... "Diminum By. Udah lama tante nggak ketemu Baby.." Tante Tisa tersenyum padaku. Aku mengangguk, membalas dengan senyuman tipis. Tak lama terdengar suara anak perempuan dari arah depan. "Mama..." anak perempuan memakai seragam SMA itu menyalami tante Tisa, kemudian mama. Ia tersenyum padaku. "Isya masih ingat kak Baby?" tanya tante Tisa pada anak perempuannya itu. Dia mengangguk. "Kak Baby masih ingat aku?" Ia bertanya padaku. Aku tersenyum. "Raysa kan?" Ia tersenyum lebar. "Kakak apa kabar?" "Iya, kakak baik. Isya apa kabar?" "Baik juga. Udah lama Isya nggak ketemu kakak.." "Kakak di asrama, jarang keluar juga.." Raysa manggut-manggut. "Sibuk ya kalau udah kuliah.." ia nyengir. Aku hanya membalas dengan senyuman. Kemudian Raysa permisi ke kamarnya. Tante Tisa juga berlalu entah ke mana. Sepertinya ia sengaja memberi aku dan mama privasi. "Baby sama siapa? Sendiri?" Mama memulai obrolan. Aku mengangguk. Kenapa rasanya jadi asing begini? "Ma," aku memberanikan diri menatap mata mama. "Kenapa mama tinggal di rumah tante Tisa?" Mama tidak langsung menjawab, ia meneguk teh nya sebentar. "Baby udah ketemu papa?" Aku langsung menggeleng. Tiba-tiba mama menarik napas dalam seolah akan menyampaikan sesuatu yang berat. "Mama rasa harus menyampaikan ini ke kamu sekarang. Mama nggak mau Baby dengar dari orang lain.." mama memberi jeda. Aku mengerutkan kening. Maksud mama apa? "Mama sama Papa akan berpisah." Teng! Rasanya seperti lonceng besar berbunyi tepat di atas kepalaku. Telingaku berdengung seketika. Aku menatap mama tanpa bisa berkata-kata. Butuh usaha untukku bisa bersuara. "A-apa maksud mama?" Aku masih berharap aku salah mengartikan kata-kata mama. Aku berharap aku salah dengar. "Mama sama papa akan bercerai," ucap mama menatapku dengan wajah sedih. Aku ingin menangis. Aku berharap aku menangis saat ini. Tapi air mataku tidak mau keluar. "Mama bohong kan?" "By.." mama meraih tanganku. Tapi aku dengan jahat menarik tanganku sebelum mama menyentuhnya. Aku bernapas dengan terburu-buru. Debaran jantungku sudah menggila. Aku coba tertawa. "Mama pasti becanda. Jangan becanda dong, ma. Duh, kan Baby nggak lagi ulang tahun. Mama sama papa becanda aja.." lelucon ini terdengar garing bahkan olehku sendiri. Aku hanya berharap ini semua tidak benar. Ya Tuhan, aku berharap ini hanya mimpi. Aku mohon. "Sayang, maafin mama.." ucap mama lirih, menarikku secara paksa ke dunia nyata. Aku tidak mimpi. Ini nyata. Aku membeku. Tak punya kekuatan untuk bergerak bahkan berkedip. "Maafin mama sayang.. tapi Baby jangan khawatir. Nggak akan ada yang berubah. Baby masih anak mama sama papa. Baby—" "Ma," aku menatap mama lurus. Lidahku terasa kelu dan tenggorokanku terasa sangat kering. Sumpah, ini benar-benar menyakitkan. "Maafin Baby.." aku segera bangkit, kemudian pergi. Aku mendengar langkah kaki mama mengejarku dan memanggilku, tapi aku abaikan. Saat ini, aku hanya ingin pergi. Pergi jauh. Itu saja. ... Sepanjang perjalanan dari rumah tante Tisa ke asrama, aku tidak berhenti menangis. Air mataku mengalir di sepanjang perjalanan. Supir taksi sampai bingung dan khawatir. Ponsel aku matikan karena mama terus menelpon. Terakhir aku lihat papa yang menelpon. Mungkin mama sudah menghubungi papa. Kenapa? Itulah pertanyaan yang menari-nari di kepalaku. Kenapa mama dan papa ingin bercerai? Aku tidak pernah melihat mereka bertengkar. Kalaupun ada tidak pernah sampai menjadi masalah besar. Apa yang membuat mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang sangat aman dan harmonis ini? Apa selama ini yang mereka suguhkan padaku bukanlah apa yang sebenarnya terjadi? Apa mereka sebenarnya merahasiakan banyak hal dariku? Astaga. Aku tidak bisa berhenti berasumsi. "Sudah sampai non.." Aku membayar taksi dan segera turun. Lama aku terdiam memandangi pagar tinggi di depanku. Tadi awalnya aku memang ingin kembali ke asrama. Tapi di tengah jalan aku berubah pikiran dan memutuskan untuk kembali ke rumah. Kini rumah ini terasa sangat berbeda. Ini adalah rumah tempat aku tumbuh selama lebih dari 20 tahun. Kenapa tempat ini terasa asing? "Non, dari mana aja? Tadi tuan sama nyonya nanyain. Nyonya nyuruh nelpon kalau—" aku mengabaikan bibik dan terus saja melangkah menuju kamar. Sampai di kamar aku langsung berbaring di kasur. Kemudian air mataku kembali mengalir tanpa bisa aku cegah. Aku memejamkan mata. Dengan bodohnya masih berharap ini mimpi. "By, Baby!!" Panggilan itu terdengar dari luar disertai ketukan beberapa kali. Pintu kamar terbuka. Mama dan papa muncul bersamaan dengan wajah cemas. "Sayang, kenapa hapenya mati? Mama udah nelpon berkali-kali.." "Baby, papa khawatir.." Aku menatap mereka bergantian. Apa mereka bisa bersikap biasa begini setelah apa yang terjadi? Air mataku kembali mengalir. "Mama sama Papa kenapa sih? Kenapa mama sama papa kayak gini?!" Tangisku pecah. Aku rasa beban sejak siang tadi akhirnya tumpah. "Baby, sayang.." mama langsung memelukku. Aku menangis tersedu-sedu. Kenapa? Kenapa? ... Pertama kali membuka mata yang aku lihat adalah cahaya yang berasal dari lampu tidur. Apa aku tertidur tadi? Aku memutar pandangan. Tidak ada siapa-siapa di kamar ini. Aku bangkit, menyalakan lampu kamar. Aku segera mencuci muka. Apa mama dan papa sudah pergi lagi? Aku memutuskan keluar kamar. Di bawah aku bertemu dengan bibik yang sedang memasak. Sepertinya sudah hampir selesai. "Mama mana, bik?" "Ada non, di kamar.." Aku mengangguk. Aku segera ke kamar mama, tapi saat melewati ruang kerja papa, samar-samar aku mendengar orang yang tengah bicara. "Kita udah bahas ini. Aku yang akan terima hak asuh Baby.." itu suara mama. "Aku nggak pernah bilang setuju. Kenapa baby harus sama kamu? Baby harus sama aku!" Papa membalas. "Kenapa kamu egois? Baby harus sama aku. Aku yang udah ngurus Baby dari kecil. Aku mamanya." "Egois? Sebenarnya siapa yang egois? Kamu atau aku?!" Hening. "Kenapa kamu diam? Kamu nggak bisa jawab?!" "Mau sampai kapan kamu kayak gini sama aku? Mau sampai kapan kamu nyalahin aku?" Aku mendengar suara mama bergetar. "Terus apa ini salah aku?" "Please jangan kayak gini. Aku tuh capek! Apa cuma kamu yang kehilangan? Apa aku nggak kehilangan juga?!" Sebenarnya mereka sedang membahas apa? "TAPI KAMU MERAHASIAKANNYA DARI AKU?! Kamu nggak kasih tau aku kalau kamu hamil sampai kamu keguguran! Kamu nggak kasih tau aku, Rin." Aku tertegun. Mama keguguran? Apa mama pernah hamil? Kapan? "Kamu tau berapa lama aku nunggu untuk anak itu? Kamu tau berapa lama aku nunggu anak kita?!" Suara papa terdengar berat. Aku mendengarkan tanpa bisa bergerak. "Tapi apa yang kamu lakuin? Kamu hamil dan kamu nggak kasih tau aku. Terus kamu keguguran dan kamu masih merahasiakannya dari aku. Kamu anggap aku apa?" "Maafin aku. Aku, aku takut kamu kecewa sama aku.. aku.." "AKU KECEWA! Aku kecewa karena kamu pilih merahasiakannya dari aku. Apa kamu pikir aku sepicik itu? Apa kamu pikir aku akan ninggalin kamu kalau kamu keguguran? Astaga Ririn! Kita menikah udah puluhan tahun. Dan menurut kamu aku akan ninggalin kamu karena itu?! Aku benar-benar kecewa sama kamu." Mama sepertinya menangis. "Maafin aku. Maafin aku.." "Pokoknya Baby sama aku. Aku yang akan menjaga Baby." "Kamu nggak bisa lakuin ini sama aku. Aku mamanya. Baby harus sama aku." "Kamu bukan mama Baby. Jangan lupa.." APA?! Aku reflek membuka pintu. Otomatis membuat mama dan papa terkejut. Keduanya melotot menatapku. "Baby.." "By.." "Apa maksud papa Baby bukan anak mama?" Papa gelagapan. Mama dan papa saling pandang. Aku bisa melihat dengan jelas ekspresi ketakutan di wajah mereka. "Sayang kamu salah dengar, itu—" "Please ma, pa, Baby bukan anak kecil," aku memohon. Sehari ini aku benar-benar lelah. Sangat lelah. Air mata mama mengalir. "Pa, apa maksud papa tadi?" Ulangku. "Apa maksud papa kalau mama bukan mama Baby?" "Sayang.." Papa meraih tanganku. "Pa, ma, please." Aku menatap mereka dengan mata basah. "By, Baby itu anak mama. Bukan anak orang lain. Sampai kapanpun Baby anak mama sama papa.." ucap mama. Aku menggigit bibir. Kenapa kata-kata mama terdengar jelas seperti sebuah kebohongan? "Baby mau dengar dari mama sama papa. Baby nggak mau dengar dari orang lain," aku menatap mama dan papa bergantian. Apa ada yang lebih buruk dari mama dan papa yang akan berpisah? Papa menatapku dalam. Kenapa sorot mata orang yang paling aku cintai ini terlihat seperti penuh luka? "Baby.." "Mas.." mama menyentuh lengan papa seolah menahan papa bicara. Papa menarik napas dalam. "Baby.. Baby bukan anak kandung mama sama papa.." ucap papa akhirnya. Deg! Hening. Senyap. Aku tidak bisa mendengar apa-apa. Ternyata memang ada yang lebih buruk dari perpisahan mama dan papa. Kekuatanku hilang sepenuhnya. Aku nyaris tidak bisa menggerakkan tubuhku. Apa duniaku sudah runtuh sekarang? Apa ini saatnya untuk kehilangan semuanya? Mama, Papa, Haras... ... Namaku Sabreena Baby Khatsia. Nama panggilanku Baby. Mama bilang dia sangat suka nama panggilan itu. Itu seolah mengingatkannya bahwa aku akan selalu menjadi gadis kecilnya. Dan papa... adalah pria terbaik yang pernah hadir di dalam hidupku. Cinta pertama yang selalu menjadi pusat duniaku. Dulu papa selalu bilang, apapun yang terjadi, ia akan selalu bangga padaku. Tidak perduli apapun yang terjadi, aku akan selalu jadi anak kebanggaan papa. Dulu aku rasa duniaku sangat sempurna. Dan orang bilang hidupku berjalan sangat mulus. Tapi untuk hari ini saja, izinkan aku menangis. Sebentar saja. "Sayang..." mama menggenggam tanganku. Aku tersenyum pada mama. "Baby nggak apa-apa, kok." Aku membalas genggaman tangan mama. "Baby cuma mau sendiri aja, sebentar.." "Mama papa sayang sama Baby.." kata Papa. Aku tersenyum pada Papa. "Iya Baby tau. Baby juga sayang sama mama sama papa.." aku membuang napas pelan. "Tapi ini terlalu tiba-tiba. Baby nggak tau harus gimana. Kasih Baby waktu buat mikir.." Papa menarikku ke dalam pelukannya. Pelukan ini masih sama hangatnya. Tapi kenapa rasanya berbeda? "Baby mau papa antar?" Aku menggeleng. Menarik napas dalam, aku meninggalkan papa dan mama yang terdiam di depan pintu rumah. Jujur saja, aku tidak tau mau ke mana sekarang. ... "Ya ampun By, kemana aja lo dua hari ini? Gue nelpon nomor lo nggak aktif.." Milani langsung protes begitu kami bertemu di kelas. "Gue lupa ngecas. Soalnya suka lupa diri kalau udah di rumah.. " aku lempar cengiran pada Milani. Ia mencebikkan bibir. "Untung gue nggak nelpon polisi laporin orang hilang.." Aku terkekeh. "By.." "Hm.." Milani menjeda lama. Aku pandangi dia penuh tanya. "Lo kenapa sama Haras?" "Hah?" Milani menatapku serius. "Lo lagi ada masalah sama Haras?" Belum aku menjawab, dosen yang mengajar sudah masuk ke dalam kelas. Untunglah. Aku belum siap menceritakan apapun pada Milani. ... Sudah dua hari aku tidak bertemu Haras. Bisa dibilang aku menghindarinya. Terakhir ada 5 panggilan tak terjawab dari Haras. Ada beberapa pesan juga. Saat aku menyalakan ponsel tadi pagi, ada banyak pesan lain dari Haras. Tapi aku sama sekali tidak membalas. Kini kami malah bertemu di kampus. Di saat yang sangat tidak tepat karena sejujurnya aku belum siap bertemu Haras, untuk banyak alasan. Tapi, kami tetap harus bicara kan? Lama kami berdua hening. Taman yang tadinya ramai kini sudah hampir sepi. Hanya ada beberapa orang saja berada di tempat yang cukup jauh dari kami. Jujur saja, kami tidak pernah pacaran di taman kampus. Kalaupun duduk di taman pasti selalu bersama teman-teman. Tapi hari ini aku merasa membutuhkan udara bebas di taman. "Aku nelpon dan sms kamu berkali-kali," Haras akhirnya buka suara. Aku menatap rumput hijau di bawah kaki. "Hm," aku hanya bergumam. "By.." suara Haras terdengar berat. "Apa terjadi sesuatu di rumah?" Deg! Dari mana Haras tau? Apa papa menghubungi Haras? "Papa kamu nelpon aku.." Yap, Papa pasti nelpon Haras. Aku membuang napas. "Nggak, kok. Nggak ada apa-apa." Dan akhirnya aku memilih berbohong. Mungkin ini yang mama, papa dan Haras rasakan saat memutuskan untuk merahasiakan sesuatu dariku. Di saat mereka memutuskan untuk berbohong. Karena kadang sesuatu itu lebih baik untuk tidak dikatakan. Menjaga sesuatu agar tetap menjadi rahasia, untuk menjaga orang yang kita sayang. Aku belum siap memberitahu Haras tentang diriku. Bahwa aku tidak seperti yang ia tau. "Ohh.." Haras mengangguk kecil. Ia menunduk, menatap lurus ke tautan jari-jarinya. Kami sama-sama diam. "Har," aku membuka suara. "Aku mau minta maaf sama kamu.." "Untuk?" Aku menarik napas dalam. "Waktu aku bilang kamu harus kenalin perasaan kamu, kayaknya itu juga berlaku untuk aku. Aku rasa aku juga harus intropeksi diri." "Maksud kamu?" Aku menelan ludah. "Perasaan aku ke kamu, mungkin hanya rasa nyaman karena kita udah lama bersama." Haras terdiam. "Hm," dia bergumam pelan. Tak jauh di depan kami ada anak-anak sedang berkumpul. Entah fakultas apa. Mereka terlihat sedang bergembira. Main gitar sambil bernyanyi. Dulu saat SMA, saat Darina masih ada, kami berempat juga sering seperti itu. Baik saat jam istirahat sebelum les ataupun saat kami berkumpul berempat untuk mengerjakan tugas. Rasanya baru kemarin itu terjadi. "By," panggilan Haras menarikku dari lamunan. Kami kemudian saling pandang. "Kita putus aja.." sambung Haras. Aku masih menatap mata Haras. "Iya, kita putus aja," jawabku. *** "Jangan merasa hidup kamu lebih buruk dari orang lain. Dan jangan merasa hidup orang lain lebih baik dari kamu. Karena satu huruf A saja bisa memiliki banyak makna." — unknown

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD