"Ihh ... lepasin tangan gue, Buluk!" Ini adalah usaha dan teriakan Natasya yang sudah kesekian kalinya. Bukannya di lepas, Aditya semakin kencang mencengkeram tangan Natasya. Bahkan cara jalan Aditya boleh dibilang mirip orang kesurupan.
Bruak!
Suara pintu dibanting, Aditya melepaskan cengkeraman tangannya, sedikit mendorong tubuh Natasya masuk ke dalam sebuah ruangan yang boleh dibilang mewah, bahkan sangat mewah untuk ukuran seorang Natasya yang hanya menempati sebuah kontrakan kecil di kota Metropolitan. Karena saking emosinya, Aditya membanting pintu ruangan itu, nggak peduli dengan semua karyawan yang menatapnya dengan tatapan rasa ingin taunya. Intinya, Aditya sangat amat marah.
"Kasar banget sih, tangan gue sakit, tau!" Natasya mengusap-usap pergelangan tangannya yang emang terasa sakit.
Aditya menghela nafas, menatap tajam ke arah Natasya. "Berhenti pakai kata 'lo-gue' jika bicara sama gue, ngerti!" hardik Aditya.
Natasya mengernyit, menarik salah satu ujung bibirnya ke atas. "Nggak salah? situ ngomongnya aja pakai 'gue!" balas Natasya nggak mau kalah.
"Terserah! Aq Bossnya!" Waduh, ternyata Pak Boss bisa ngeles juga. Itu yang ada di pikiran Natasya saat ini.
Bukan Natasya kalau nggak berhasil bikin Aditya kesal. "Enak aja! Aku nggak mau punya Boss buluk!" seru Natasya. Dan tau, ekspresi Aditya nggak banget. Antara nggak terima dan pengen ngeremes muka Natasya yang emang nggemesin banget kek marmut.
Aditya maju, kembali narik tangan Natasya, sedikit membungkuk, mendekatkan wajah gantengnya dekat dengan wajah cantik Natasya, dan sumpah ... itu berhasil membuat wajah Natasya merona. "Nih! lihat baik-baik! kalau perlu, pakai kaca mata minus kamu, aku buluk dari mananya! bahkan hampir semua model aku tergila-gila sama aku, ngerti!" bentak Aditya.
Aditya kembali berdiri tegak, kali ini mencengkeram kedua lengan Natasya. "Dan satu lagi, berhenti panggil 'buluk' atau nasib kamu akan lebih mengenaskan!" ancam Aditya.
Ancaman Aditya sama sekali nggak membuat nyali Natasya menciut. "Coba kembalikan ingatan kamu ke masa SMP." Natasya menunjukkan ekspresi jijiknya. "Ihh ... pasti semua orang bakalan bilang 'kalau kamu buluk'!" Ucapan Natasya makin membuat Aditya meradang.
“Ingatan itu yang buat aku pengen banget ngancurin kamu …” lirih Aditya, Meskipun ucapan itu terdengar lirih, tapi cukup membuat Natasya bergidik ngeri, apa ini yang dinamakan dendam lama bersemi kembali.
“Enak aja! udah meres, mau ngancurin pula! Kamu pikir aku apa!” tantang Natasya balik. Intinya, ekspresi sama ancaman Aditya nggak mempan di Natasya, padahal dalam hati Natasya cukup ngeri juga, tapi sebisa mungkin dia lawan.
“Bisa sopan, nggak! aku ini Boss kamu! hormati aku!” bentak Aditya.
“Hormat? Maksud kamu kek gini?” Natasya emang bener-bener, dia malah beneran hormat ke Aditya layaknya hormat ke Pak Komandan. “Udah boleh tegak belum?” tanya Natasya.
Aditya geleng kepala. “Makanya nggak bisa sukses, orang dari dulu oon-nya nggak bisa hilang!” ejek Aditya.
Natasya langsung menurunkan tangannya, refleks dia mengayunkan tas selempangnya kea rah muka Aditya, untung berhasil di tangkis sama Aditya. “Enak aja! aku kek gini karena aku lagi cari agensi yang bener-bener nerima aku karena bakat aku, bukan karena pengecrotan semata!” seru Natasya.
Aditya melotot, kok ada … cewek songong modelan Natasya. Mana ngomongnya fulgar banget, berasa ditantang sama Natasya. Aditya maju, meraih pinggang ramping Natasya, dan ini bener-bener membuat Natasya kaget bukan main. Aditya membungkuk, mendekatkan wajah tampannya dekat dengan wajah cantik Natasya. “Gimana, kalau agensi aku juga sama—“
Natasya langsung mendorong kuat tubuh kekar Aditya. “Dasar buluk! Sama kek yang lainnya. Kucing mana yang nggak doyan ikan asin!” kesal Natasya.
Emosi Aditya kembali memuncak ketika denger panggilan ‘buluk’. “Berhenti sebut ‘buluk’, dan satu lagi … aku kucing yang doyannya burger, bukan ikan asin yang bau!”
Bukan cuman Aditya, Natasya juga selalu darah tinggi kalau ngomong sama Aditya. Padahal sudah bertahun-tahun mereka nggak ketemu. “Ihh …! Dasar ngeselin! itu namanya perumpamaan. Bos kok bodo!”
Aditya melongo, nih cewek makin kurang ajar sama dia. Baru kali ini, ada karyawannya yang berani ngatain dia ‘bodo’. “Ka—kamu, lama-lama aku cipok!” ancam Aditya.
Wajah Natasya kembali merona, ingatannya langsung melesat ke jaman dia masih SMP. Karena kesal, Aditya pernah ngambil cipokan pertamanya. Dan itu yang buat Natasya membenci Aditya, udah ngambil cipokan, nggak tanggung jawab, dianggurin gitu aja. Bahkan tuh orang langsung ngilang ditelan bumi. “b******k!” Natsya berjalan menuju pintu, pen banget keluar dari ruangan itu secepat mungkin, nggak pengen lihat wajah dajal-nya Aditya.
“Inget, besok berangkat, kalau nggak—“
“Satu milyar! Aku nggak pikun kaya kamu!” sahut Natasya.
Bruak!
Demi apa coba, cuman Natasya yang berani membanting pintu ruangan Pak Boss. Aditya geleng kepala, dalam hati dia berpikir ‘harusnya dia yang marah sama Natasya’. “Huh! lihat aja besok, kerja rodi dimulai …” Aditya menyunggingkan senyumnya, sepertinya dia baru puas kalau ngelihat Natasya tersiksa.
***
“Huh! dasar apes! Sial!” Baru saja keluar dari sebuah lift, Natasya sudah ngomel nggak jelas. Dia mana peduli, jika ada orang yang merhatiin tingkahnya.
“Nat!” seorang gadis cantik berlari menghampiri Natasya, ketika dia melihat Natasya keluar dari pintu lift.
Natasya menghela nafas, menatap gadis cantik yang ternyata sahabat sekaligus manager abal-abalnya. “Gagal maning, son …” Ini Natasya emang suka ngelucu, gimana Tiara nggak ketawa dengan ucapan Natasya.
“Hahaha … seenggaknya lo masih bisa ngelawak,” ucap Tiara. Emang dua sahabat ini sebelas-dua belas, nggak ada bedanya, sama-sama songong dan kocak.
“Gile! muka masam kek gini, lo masih ngira gue ngelawak?! Lihat muka gue, gue esmosi Jem!” kesal Natasya.
Tiara nyengir, emang dasar mulut Natasya. Suka panggil nama orang asal, masa iya … cantik-cantik kek Tiara dia panggil ‘Paijem’. “Hih! Kebiasaan lo. Gue Tiara!” protes Tiara.
“Iya! ayo cabut!” ajak Natasya. Menarik tangan Tiara untuk segera pergi dari tempat menjengkelkan itu.
Tiara tetap saja mematung, keknya dia masih penasaran. “Eh, bentar …”
Natasya menoleh. “Kenapa, lo?”
“Gue cuman herman, kok bisa … lo nggak keterima lagi …” lirih Tiara.
Natsya melepas tangan Tiara, menghela nafas sebentar, takut emosinya langsung meledak. “Lo tau … kenapa gue sampai di tolak jadi model, itu karena Buluk yang punya perusahaan ini, dia nggak terima gue lebih sukses dari dia, makanya gue cuman diterima jadi sekertarisnya dia!” ucap Natasya berapi-api.
Tiara melongo. “Buluk …?”
“Iya! si Aditya buluk!” seru Natasya, dan itu berhasil membuat semua orang menatap horor kearah Natasya.
Tiara nyengir, nggak enak banget dapat tatapan horor kek gitu, kalau Natasya mana peduli. “Eh, maaf … ini Aditya temen kita,” ucap Tiara untuk menghindari tatapan maut mereka. Dan benar, mereka kembali fokus sama aktivitas mereka.
Tiara menarik tangan Natasya, membawa Natasya menjauh dari tempat yang menurutnya cukup rame. “Sini kasih tau gue,” ucap Tiara. Melepas tangan Natasya setelah mereka sampai ke tempat yang menurutnya cukup sepi.
“Apaan, sih! tinggal ngomong aja, pakai acara mojok segala!” kesal Natasya.
“Lo nggak tau, gimana tatapan horor para karyawan tadi?!” Tiara cukup kesal juga dengan sikap Natasya.
“Bodo! Ihh …” Natasya menjambak kesal rambutnya, udah mirip banget orang frustasi.
Tiara nyengir, mengusap pelan punggung Natasya. “Sabar …” lirih Tiara.
Natasya menepis tangan Tiara, balik badan, natap Tiara dengan tatapan membunuhnya. “Sabar? Lo pikir … kesabaran gue selebar b****g lo!” Tiara melongo, langsung megang bokongnya. “Perasaan nggak lebar,” ucap Tiara dengan polosnya.
“Tiara! Gue serius!” kesal Natasya.
“Sama! gue juga serius. Lagian, kenapa lo selalu panggil Aditya ‘buluk’, udah tau dia gantengnya kek gitu, mata lo emang rabun. Mungkin ini yang dinamakan dendam kesumat.” Apa-apaan ini, malah Tiara terdengar belain Aditya.
Natasya makin emosi. “Kamu itu, emang dia buluk! Lo nggak nyadar dulu dia itemnya kek gimana!” bantah Natasya.
Tiara nyengir. “Emang item sih, namanya juga di kampung. Emang dia masih item?” tanya Tiara balik.
Natasya nyengir. “Enggak, sih … sekarang glowing. Eh, tapi tunggu bentar. Gimana kalau dia suntik putih!”
Tiara yang cukup kesal, main jambak rambut Natasya. “Jangan mengadi-ndadi Ibu Ratu, Aditya bukan tipe cowok lembek yang suka perawatan ekstrim kek gitu!”
“Ihh …! Lepasin rambut gue. Sakit, tau!” protes Natasya, megangin rambut dia yang dijambak oleh Tiara.
Tiara melepas jambakannya. “Terus ngapain lo nggak tolak aja pekerjaan itu!” usul Tiara.
Natasya berdecak. “Ckckk … sini gue kasih tempe.” Natasya merangkul pundak Tiara.
“Dendengin ya … Tiara ku yang cakep. Nggak perlu lo saranin, udah gue lakuin. Tapi lo tau sendiri gimana liciknya si ‘buluk’, kalau gue berhenti sebelum satu tahun, gue di denda satu milyar. Satu milyar! Satu milyar, Tiara! Itu duit gue musti dapetin dari mana? jual sawah Emak aja nggak cukup!” seru Natasya frustasi.
“Satu milyar …?”
Natasya mengangguk. “Hooh!”
“Itu duit apa daun?” Tiara langsung lemes, bayangin seberapa banyak duit satu milyar.
“Jangan tanya gue yang kismin ini …” lirih Natasya.
“Kecuali …”
Natasya maju, mendekatkan wajahnya dengan wajah Tiara. “Kecuali apa?”
“Kecuali kalau lo jadi super model,” ucap Tiara.
Natasya langsung mentonyor kepala Tiara. “Nggak perlu lo kasih tau aja, gue tau. Pea!” kesal Natasya.
Tiara mengusap kepalanya yang lumayan sakit akibat ulah Natasya. “Bentar … gue ada cara jitu biar lo cepet sukses!” Tiara langsung menarik tangan Natasya.
“Apaan?” tanya Natasya penasaran.
“Pokoknya ikut gue. Lo ‘kan anti pengecrotan, kita pakai cara lain!” Tiara terus menyeret lengan Natasya untuk keluar dari gedung agensi milik Aditya.
“Jangan aneh-aneh lo!”
“Ikut aja!”