“Ra, tunggu bentar. Ini kita mo kemana? perasaan dari tadi kita muter-muter di tempat yang sama.” Gimana Natasya nggak protes, orang dari tadi dia diajak muterin sebuah bangunan kuno yang letaknya di pinggiran kota Jakarta. Bahkan mereka berdua sudah menghabiskan waktu selama dua jam untuk sampai di tempat yang Tiara maksud.
“Hustt … diam napa! ini demi kebaikan dan masa depan lo yang cerah, pehem!” Bukannya menjawab, Tiara meletakkan jari telujukknya tepat di mulutnya, ngasih kode ke Natasya untuk nurut dan diam.
Dan herannya lagi, Natsya kek orang terhipnotis, manggut-manggut plus nurut aja kata-kata Tiara. Natasya membentuk huruf ‘O’ dengan tangannya, menandakan dia setuju dengan tindakan konyol Tiara. “Oke! demi karir gue, dan bayar satu milyar ke si Buluk!” ucap Natasya dengan semangat empat limanya.
Tiara balik badan, menatap bangga bestie-nya, mengacungkan dua jempolnya kearah Natasya. “Bagus! Itu baru Bestie gue!” ucap Tiara bangga.
“Lo emang bestie sekaligus manager terbaik! Gue janji, kalau gue jadi super model, gaji lo yang masih gue utang bakalan gue bayar lunas plus bonusnya,” ucap Natasya dengan mimik sedihnya.
Tiara merasa terharu, langsung memeluk Natasya. “Ahh … gue makin respek sama lo, Nat. Mudah-mudahan lo bisa langsung ‘boom’ setelah perjuangan kita ini …” lirih Tiara. Natasya membalas pelukkan Tiara, dia hanya bisa manggut-manggut, dengan wajah meweknya.
“Eh, bentar!” seru Tiara. Tiba-tiba mendorong tubuh Natasya, untung saja sigap, jadi Natasya nggak sampai terjengkang karena ulah Tiara.
“Gile, lo! nggak tau moment haru aja. Emang kenapa!” kesal Natasya.
“Lah! tadi udah berapa putaran? Gara-gara lo gue sampai lupa!” ucap Tiara dengan wajah kecewanya.
“Mana gue tempe … orang sini ngikut situ,” ucap Natasya dengan wajah tak berdosanya.
“Hih! Rasanya pen gue cekek lo!” kesal Tiara.
“Jangan, dong! nanti utang gue ke lo nggak bakal lunas!” protes Natasya.
Kalau menyangkut masalah hutang, Tiara langsung diam nggak berkutik. Dan demi hutang itu juga, Tiara rela capek bersama Natasya. Terpaksa dia harus ngulang lagi dari awal, tujuh kali putaran menurut si pemilik rumah yang katanya sakti banget.
Natasya benernya pengen banget ngumpat ke Tiara, gimana dia nggak kesal, udah di suruh ngulang muterin tuh rumah kuno, sekarang malah di suruh jalan mundur untuk sampai ke depan pintu. Emang keknya Tiara udah nggak waras lagi, itu menurut pemikiran si Natasya.
Natasya melotot kearah Tiara. “Awas aja kalau sampai cara ini nggak berhasil, gue jadiin lo lemper!” ancam Natasya.
Tiara nyengir, membentuk jarinya menjadi huruf ‘V’ menunjukkannya ke Natasya. “Tenang … ini demi karir lo, dan utang lo ke si ‘Buluk’.” Dengan sangat amat terpaksa, Tiara ikut-ikutan manggil Aditya si ‘Buluk’ biar Natasya lebih semangat.
“Ayo, teruskan!” ucap Natasya penuh semangat, intinya dia pengen lepas dari jajahan Aditya yang menurutnya udah mirip banget kompeni.
Tiara kembali nyengir. “Ayo kita masuk!” ajak Tiara, narik tangan Natasya untuk masuk ke dalam rumah kuno yang emang sudah berada di depan mereka. Natasya mengangguk, nurut aja ketika Tiara mengajaknya masuk ke dalam rumah.
“Masuk!” Suara berat terpaksa menghentikan langkah kaki keduanya.
Tiara menarik lengan Natasya. “Ayo!” ajak Tiara.
“Hemm …” Hanya ini jawaban Natasya, pasrah … ngikut aja sama Tiara.
Tiara dan Natasya memasuki sebuah ruangan, dan sumpah demi apapun, Natasya terkejut saat menyadari kemana mereka sebenarnya. Ternyata, Tiara mengajaknya ke seorang dukun.
“Duduk!” perintah si pria yang Natasya yakin banget itu dukunnya.
“Ayo duduk …” ajak Tiara, dengan suara sedikit berbisik. Meskipun terpaksa, Natasya nurut. Duduk besimpuh di depan sebuah meja kecil yang isinya sejenis peralatan perdukunan.
Natasya melotot, matanya tertuju kesebuah laptop yang terletak di depannya. “Ra …” Natasya menarik-narik baju Tiara.
“Kamu heran, kenapa Mbah punya laptop?” ujar si dukun.
“Wuih! Mbah memang hebat! kok, tau aja pemikiran temen saya!” sahut Tiara.
Natasya nyengir, mau heran tapi si Tiara emang kek gitu. Si mbah dukun menunjukkan rasa bangganya, langsung duduk tegak, sedikit membusungkan dadanya, menepuk bangga dadanya. “Apa yang nggak Mbah tau, kamu muterin rumah ini sebanyak tiga belas kali aja Mbah tau.” Tiara melotot, kembali takjub dengan jawaban si dukun.
“Wah … hebat!” puji Tiara. Menarik-narik lengan Natasya. “Lihat, Nat! kita emang nggak salah tempat!”
“Terus … gue musti bilang ‘wow’ gitu!” kesal Natasya.
Langsung mendapatkan tabokan maut dari Tiara. Natasya melotot kearah Tiara, mengusap bekas tabokan Tiara yang emang sakit banget. “Ihh … sakit, Jem!”
“Ehem!”
Suara deheman si dukun menghentikan perdebatan keduanya. Tiara kembali fokus ke dukun, sedikit menundukkan kepalanya sopan. “Eh, maaf Mbah,” ucap Tiara. Sedangkan Natasya, dia terlihat ogah-ogahan.
“Mau dilanjut apa nggak!” ucap si dukun.
“Mau, Mbah. Mau banget!” seru Tiara.
“Itu fungsinya laptop buat apa? buat VC sama jin!” celetuk Natasya tiba-tiba.
Si dukun terlihat gedeg sama Natasya yang keknya meremehkan dirinya. “Dukun juga nggak boleh gaptek, ngerti! Gini-gini … Mbah terkenal di sosmed. Pengikut Mbah ribuan!” ujar si dukun sombong.
Natsya nyengir, dalam hati dia berkata, “Nih dukun apa konten creator?”
Tiara kembali narik tangan Natasya. “Ihh … udah lo diem!” kesal Tiara.
“Tap—!”
“Gue yang modal di sini!” Tiara langsung memotong ucapan Natasya. “Maaf ya Mbah … ini temen saya emang suka ngomong asal.”
“Hemm … kali ini Mbah maafin. Katakan tujuan kamu datang ke sini,” ucap si dukun.
“Emm … gini Mbah. Saya pengin karir temen saya ini melonjak, seenggaknya bisa terkenal meskipun dikit,” ucap Tiara.
Natsya melotot, dia yakin banget … tuh dukun makin ngelonjak setelah denger ucapan Tiara yang cukup bikin kuping dia terasa pedas. “Awas, lo Ra …” lirih Natasya, tapi dicuekin sama Tiara.
“Oh … gampang itu!” Si dukun mengambil sebuah botol kecil yang berisi sebuah cairan warna sedikit kekuningan. Menyerahkan botol itu ke Tiara. “Ini … tinggal pakai minyak ini, di jamin karir temen kamu bakalan melejit,” ucap si dukun bangga. Melirik kearah Natasya yang meskipun mulutnya sedikit pedas, tapi cantik dan imut.
Tiara menerima botol mungil pemberian si dukun. “Ini cara makainya gimana, Mbah?” tanya Tiara.
“Teteskan sedikit aja ke Bosnya, dijamin si Bos bakalan nurutin permintaan temen kamu,” jawab si dukun.
“Caranya …” lirih Tiara.
“Ya pinter-pinter temen kamu, masa musti Mbah ajarin. Tapi, kalau mau lebih manjur bisa juga temen kamu Mbah mandiin—“
“Enak aja!” protes Natasya.
“Udah, Nat! itu kalau lo mau! kalau nggak ya udah!” Tiara berusaha nenangin Natasya yang emosi tingkat dewa.
“Ihh … ayo pulang! ngapain di tempat ginian! Lama-lama lo yang kena c***l!” kesal Natasya.
Si dukun sampai nelan air liurnya, serem juga sama tuh cewek cakep yang ternyata galak juga. “Ini minyaknya mau diambil nggak?” tanya si dukun.
“Iya saya jadi ambil,” ucap Tiara.
“Ra!” seru Natasya.
“Diem, lo Nat!” bentak Tiara. Natasya kembali diam, toh dia nggak rugi selama mereka berdua baik-baik saja.
“Maharnya!” ucap si dukun.
“Berapa, Mbah?” tanya Tiara.
“Dua juta kalau cuman satu botol,” ucap si dukun.
“Dua juta!” seru Natasya kaget.
Dan bodohnya lagi, Tiara langsung mengeluarkan sejumlah uang yang emang sudah dia siapkan. Padahal tuh uang simpanan Tiara dari sisa gaji yang dia kumpulin selama ini.
Natasya berusaha mencegahnya. “Ra! Jangan!”
Tiara menggeleng. “Nggak papa, ini demi lo …” lirih Tiara. Menyerahkan tuh uang ke si dukun.
Si dukun langsung menerima tuh uang, takut Tiara berubah pikiran. “Ini Mbah terima tanpa paksaan ya …”
“Iya, Mbah. Mudah-mudahan temen saya bisa sukses,” ucap Tiara.
Natasya yang emang terlanjur kesal, berdiri, narik lengan Tiara. “Ayo, pulang!” ajak Natasya.
Tiara terlihat masih ogah-ogahan, tersenyum ramah ke si dukun. “Maaf, ya Mbah. Tolong jangan santet temen saya ini ya … dia emang kek gini,” ucap Tiara songong.
“Nggak papa, ya udah … bawa pulang aja, jangan sampai jin peliaraan Mbah marah.” Dalam hati si dukun masa bodo, yang penting dia dapat cuan.
Natasya yang emang udah kesel bukan main, langsung menarik tangan Tiara, bahkan saking keselnya dia nggak mengucapkan sepatah kata ke si dukun, jangankan pamitan … tuh anak main ngacir aja dari tempat sialan itu.
***
Keesokan harinya …
Tin! Tin! Tin …!
Saking keselnya dengan suara klakson yang nyaring banget, Natasya yang emang sudah rapi dengan pakain kantornya langsung membuka pintu rumah kontrakannya. Mau nyemprot tuh pengedara mobil yang nggak punya etika sama sekali.
Natasya berjalan mendekati sebuah mobil sport yang berhenti tepat di depan rumah kontrakannya. Menggedor-gedor jendela kaca mobil bagian depan.
“Hei, kamu! buka nih kaca!” teriak Natasya.
Kaca jendela dibuka, menampilkan siapa si pemilik mobil mewah, hampir saja Natasya terjengkang karena saking kagetnya. “Buluk!” seru Natasya.
Aditya pasang wajah muramnya, ini masih sangat pagi, tapi kenapa moodnya harus seburuk ini. “Baru aja mandi di bilang ‘Buluk’! panggil gue ‘Pak’! P-A-K, ngerti!” seru Aditya yang tak kalah kesalnya.
Natasya nyengir, serem juga kalau Aditya sewot. “Pak …? Kamsudnya … ‘Pak Buluk’!” Natasya pasang wajah tak berdosanya, Aditya terlihat makin meradang.
“Natasya …! Satu kali panggil ‘Buluk’ dua juta!” seru Aditya.
Natasya melotot, enak aja main denda-dendaan terus, emang dia pabrik duit. “Buluk! Jangan seenak udel kamu, aku bukan pabrik duit, ngerti!”
Bukannya menjawab, Aditya menengadahkan satu tangannya kearah Natasya yang masih berdiri di samping mobilnya. “Sini! dua juta. Kes!”
Natasya yang kesal, menabok telapak tangan Aditya yang masih menengadah. “Enak aja! makin lama makin ngelunjak!” kesal Natasya.
Aditya terpaksa narik tangannya, daripada nanti remuk akibat ulah Natasya. “Lo emang kemarin kemana aja? baca tuh surat perjanjian sampai selesai, jangan baca duitnya doang!”
Natasya mengernyit, menatap curiga kearah Aditya yang emang ganteng banget, tapi kalau yang lihat orang normal bukan Natasya. “Jangan-jangan …”
Aditya langsung mengangguk. “Emang! Sini gue jelasin lagi, di sana tertulis jika lo musti bayar denda sebesar nominal dua juta kalau sampai lo nyebut kata-kata ‘Buluk’. Intinya … satu kata, dua juta.” Aditya tersenyum puas.
Natasya meradang, pengen banget ngeremes muka Aditya. “Hih! Ka—kamu!”
“Coba panggil apa?” goda Aditya.
Natasya melengos, Aditya keluar dari dalam mobilnya, narik lengan Natasya, otomatis posisi mereka jadi berhadapan. Aditya sedikit membungkuk. “Coba panggil apa?” Aditya mengulangi kata-katanya lagi.
Natasya menghela nafas. “Huh! P—Pak …” ucap Natasya ragu.
Aditya menggeleng. “Panggil yang bener, inget! salah sebut—“
“Dua juta!” sahut Natsya.
“Pinter! Ayo panggil lagi!” pinta Aditya.
“Baik, Pak Aditya Kurnia Wijaya. Puas!” kesal Natasya.
Aditya tersenyum puas. “Puaslah … gitu dong! BTW jangan panjang-panjang, punya gue udah panjang.” Ampun deh, ternyata Aditya bisa absurd juga.
“Ihh … paan sih! emang situ panjang ‘kan!” sahut Natasya yang emang nggak ngerti arah pembicaraan Aditya.
Aditya melongo, Natasya ternyata masih oon juga. “Gimana sih! tau pengecrotan, nggak tau yang panjang!” kesal Aditya.
Natasya melotot, baru ngeh yang dimaksud Aditya. “Hah! kamu ternyata nggak beda jauh sama kucing garong yang lainnya! Lihat aja entar!” ancam Natsya, langsung terbesit pikiran jahat di otaknya, inget kata-kata Tiara semalam. “Lo kasih aja minyak ini ke Aditya, biar dia bisa tunduk sama lo.” Itu ucapan Tiara sebelum dia pergi dari kontrakan Natasya.
Demi dendamnya ke si ‘buluk’ apapun akan Natasya coba, termasuk minyak aneh dari dukun aneh yang harganya cukup fantastis untuk seorang Natasya yang kismin. Natasya diam-diam ngambil tuh minyak yang dia simpan di dalam tasnya, tanpa pikir dua kali menuangkannya ke wajah ganteng Aditya yang memang berhadapan langsung dengannya, Aditya melotot.
Natasya tersenyum, dan sumpah itu senyum tergenit yang pernah Natsya keluarkan seumur hidupnya. Pelan tapi pasti, Natasya mulai menghitung mundur. “Tiga … dua … satu …”