Verlin berjalan di koridor kampus menuju ruang kelasnya. Verlin gadis yang ramah dan banyak di kenal. Sepanjang koridor tak ayal banyak mahasiwa yang menyapa. Mereka saling melempar senyum dan tak jarang melambaikan tangan satu sama lain.
“Sayang,... baru datang ?” tegur Vino dari samping sambil merangkul bahu Verlin
“Iya. Kamu sudah selesai kelas ?”
“Iya, sudah. Kamu cuma satu mata kuliah kan ?” tanya Vino
“Iya. Setelah itu selesai, mau jalan-jalan ?” Sahutku
“Tentu sayang. Sudah lama kita tidak pergi bersama. Aku merasa cukup stres dengan revisi skripsi.“ jawab Vino lelah. Vino memang sedang mengerjakan skripsi sebagai tugas akhir perkuliahan, dia satu tingkat di atas ku.
“Baiklah. Akan kemana kita ?”
“Terserah kamu cantik. Akan ku turuti semua keinginanmu.” senyum terukir manis di bibirnya
“Akan kupikirkan dulu kalau begitu.” godaku
“Oke. Aku tunggu di kantin.”
“Ya. Selesai kelas aku akan menyusul. Aku masuk dulu ya!“ pamitku, karena aku sudah sampai depan kelas. Vino juga beranjak pergi ketika aku sudah memasuki kelas.
“Duh, manis amat sih pagi-pagi. Jadi ngiri deh gue sama pasangan ter-hits ini.” tegur Dinda sahabatku
“Apa sih Din ? makanya punya pacar dong, Lo. Nyari cowok, jomblo mulu Lo pertahanin.” Candaku
“Tenang, nanti akan ada pangeran berkuda putih menghampiri pada saatnya. Ini bukan jomblo sembarang jomblo. Ini single yang bermartabat, menunggu sampai saatnya tepat.” jawab Dinda yakin
“Din Din.. ngayal aja terus. Tuh cowok di luar jutaan yang ngejar Lo tapi nggak ada yang Lo toleh. Apa perlu mereka bawa delman buat meraih hati lo ?”
“Mereka sih tampang main-main, Ver. Gue mau yang kayak Vino. Memperlakukan lo dengan hormat dan tentunya serius.”
“Awas aja ya lo nikung gue. Gue mutilasi Lo.” sahutku galak
“Ampun Nyai. Enggak ada sejarahnya Vino ngelirik gue dibanding lo. Kalah saing gue.” aku hanya menggelengkan kepala menanggapi candaan Dinda.
V
ino memang selalu bersikap lembut padaku, kami juga menjalani hubungan dengan serius. Orang tuaku mengenal Vino, aku juga cukup akrab dengan Mama Vino. Kami cukup lama menjalin hubungan, dan cukup menjadi perhatian seisi kampus.
***
“Vino, lulus kuliah apa rencana kamu selanjutnya ?” tanyaku sambil bersandar pada bahu Vino. Saat ini kami duduk di pinggir danau tempat biasa kami menghabiskan waktu
“Papa memintaku meneruskan usahanya, Ver. Mungkin aku akan ke Singapura.”
“Kenapa harus yang di Singapura ? Kenapa bukan yang di sini saja ?” tanyaku sambil menegakkan badan
“Tenang saja sayang, aku akan tetap setia. Kita akan tetap baik-baik saja.” ucap Vino meyakinkanku
“Bukan aku tidak percaya. Tapi, rasanya sulit jika kita berjauhan.”
“Tidak ada yang sulit jika kita saling percaya dan hati kita masih memiliki satu sama lain.”
“Tapi sayang...”
“Sudah, cukup percaya saja pada ku. Sekarang kita nikmati waktu kita. Lagi pula itu masih belum pasti. Papa hanya menawarkan dan belum ada keputusan dari kami.”
“Hemmb..”
“Jangan cemberut. Kamu semakin terlihat menggemaskan.”
“Benarkah ? Apa aku sudah tidak cantik lagi ?”
“Kamu salah sayang. Justru kamu terlihat semakin cantik setiap hari.”
Sampai menjelang sore, akhirnya Vino mengantarku pulang. Sebelum masuk, ku lihat ada mobil Kak Rendi terparkir rapi di depan. Ku tebak mungkin dia baru pulang kerja lalu kemari atau akan menginap bersama dengan Kak Rosa dan keponakan cantikku Sharla.
Vino tidak mampir karena harus menemani Mamanya untuk mengunjungi Tantenya yang baru pulang dari Amerika. Selepas Vino melajukan mobilnya menjauh, aku bergegas memasuki rumah. Pintu depan terbuka lebar, tampak Sepupuku sedang main bersama Kak Rendi.
“Assalamualaikum... ” Ucapku sambil berjalan menghampiri mereka
“Wa’alaikum salam... ” Sahut Kak Rendi dan Sharla bersamaan sambil menoleh melihatku
“Aunty...” pekik Sharla girang berlari menyambutku
“Hay, keponakan cantik.” sambutku sambil menggendong Sharla dan mencium pipi gembulnya. Aku menghampiri Kak Rendy dan mencium punggung tangannya
“Kapan datang Kak ?” tanyaku
“Mungkin baru satu jam yang lalu. Kamu dari mana saja ?”
“Selesai kuliah, aku pergi sama Vino tadi ke taman. Kak Rosa mana ?” tanyaku sambil mencari Kakak iparku
“Sedang di dapur menyiapkan makan malam sama Mama.”
“Oh begitu. Kalian akan menginap bukan ?”
“Iya Aunty. Aku rinduuu sekali sama Aunty, Opa dan Oma.” jawab Sharla riang
“Baiklah...baiklah. Sekarang Aunty mandi dulu, nanti kita main lagi. Sharla mau di sini atau mau ikut Aunty ?” tanyaku
“Ayo Aunty, aku ikut ke kamar Aunty saja. Papa tidak asyik, aku bosan. Aku mau main boneka Aunty saja di kamar.“ Jawabnya sambil beranjak menarik tanganku
Aku berjalan menuju kamarku di lantai dua dengan Sharla di gendonganku, setelah menyapa Mama dan Kak Rosa di dapur. Mereka memang duet mertua dan menantu ideal, mama hobi memasak sementara Kak Rosa memang sangat suka memasak. Dia juga punya restoran yang di kelola sendiri sambil mengurus anak dan suaminya. Aku berharap punya mertua yang bisa seperti hubungan Mama dan Kak Rosa.
***
“Tapi Pa, apa Verlyn bisa menerima semuanya ? Dia terlihat bahagia dengan pacarnya, hubungan mereka baik-baik saja.” Ucap Kak Rendi terdengar di telingaku
“Mama rasa tak apa,Verlyn sudah mengenal anak Asti dari kecil.” jawab Mama
“Papa juga berfikir sama dengan Mama. Mereka sudah dekat sejak kecil. Tak akan sulit untuk menjalin komunikasi.“ sahut Papa
“Tapi tolong jangan membuat Verlyn merasa menderita dengan keadaan ini Ma, Pa. Rendi masih ra... “ Ucapan Kak Rendi masih belum usai, aku juga menerka dan belum tau apa yang terjadi sehingga menyebut namaku, hubunganku dengan Vino dan Tante Asti. Ya, siapa Tante Asti ? Aku seperti pernah mendengar nama itu.
“Opaaaa... Sharla rinduu... ” teriak Sharla sambil berlari menghampiri Papa membuat mereka semua melihat ke arahku. Wajah mereka tampak terkejut melihatku. Aku menjadi semakin penasaran sebenarnya apa yang mereka bicarakan sebelum aku datang.
“Hay cucu cantik Opa. Opa juga sangat rindu.” sambut Papa mengangkat Sharla kepangkuan
“Sharla habis main di kamar Aunty, jadi nggak tau kalau Opa sudah pulang.”
“Iya sayang, tadi Opa cari Sharla tapi Oma bilang Sharla sedang main bersama Aunty. Apa Sharla senang ?” tanya Papa gemas
“Sangat senang Opa. Sharla juga sangat rindu Aunty.” jawab Sharla
“Papa baru pulang dari kantor ?” tanyaku seraya mencium punggung tangan Papa
“Tidak, nak. Papa tadi sudah pulang tapi pergi lagi. Jadi tidak tau kalau kakakmu dan keluarga kecilnya sudah sampai disini.” jawab Papa
“Memang papa darimana ?”
“Hanya bertemu teman lama sebentar.”
“Tumben Mama tidak ikut. Biasanya selalu pergi bersama ?” ucapku penasaran
“Mama menunggu cucu cantik Mama datang dong . Iya kan cantik ? ” ujar Mama menatap Sharla, membuat Sharla mengangguk lucu
“Nanti Sharla mau tidur sama Aunty. Ya Aunty, bolehkan Ma ?” tanya Sharla melihat aku dan Kak Rosa bergantian
“Aunty sangat senang, asal Mama dan Papa memberi ijin.” jawabku seraya tersenyum dan duduk di samping Mama
“Bagaimana ya ? Boleh tidak kira-kira Ma ?” ujar Kak Rendi seolah berfikir. Sharla menunggu dengan bingung jawaban kedua orangtuanya
“Apa Sharla Yakin ?” tanya Kak Rosa, Sharla hanya mengangguk
“Apa cucu Opa tidak akan menangis nanti malam ?” tambah Papa
“Tidak Opa. Sharla kan sudah besar. Sudah tidak menangis lagi.” jawab Sharla
“Asal Sharla jadi anak yang manis dan tidak merepotkan Aunty, akan Mama ijinkan. Bukan begitu Pa ?” Sahut Kak Rosa sambil melirik suaminya yang duduk tepat di sebelahnya di sofa panjang. Sementara Papa duduk di sofa single memangku Sharla, aku dan Mama duduk bersebelahan di seberang Kak Rendi dan Kak Rosa.
“Oke kalau begitu, Papa kasih ijin. Tapi Sharla harus janji tidak menangis nanti tengah malam ya !” pinta Kak Rendi
“Aunty tolong malam ini jaga Sharla, Papa dan Mama Sharla akan membuat adik untuk Sharla dulu.“ canda Kak Rendi yang membuat kami terkekeh dan dihadiahi cubitan oleh Kak Rosa
“Apa Sharla akan punya adik seperti Sisy, Ma ?” tanya Sharla polos
“Apa Sharla senang jika akan punya adik ?” tanyaku gemas
“Iya Aunty. Nanti ada teman main di rumah.” jawab Sharla
“Apa Aunty tidak cukup menjadi teman main Sharla ?” tanyaku
“Beda Aunty. Adik Sisy lebih kecil jadi bisa nurut diajak main. Kalau Aunty kan sudah besar, jadi aku yang nurut Aunty.”
“Lalu kenapa memang kalau Sharla nurut sama Aunty dan Adik Sisy nurut sama Sisy.”
“Kalau Sharla bisa seperti Sisy berarti Sharla sudah besar Aunty. Sharla harus bisa jadi contoh yang baik untuk adik. Nanti adik Sharla pasti nurut sama Sharla kalau Sharla baik. Aunty baik makanya aku nurut sama Aunty. Aunty juga cantik seperti Mamaku dan Oma.” terang Sharla dewasa
“Cucu Opa memang pintar.” gemas Papa sambil mencium pipi gembil Sharla
“Baiklah, agar Sharla cepat punya adik maka sekarang kita butuh makan, karena Oma sudah lapar.” sahut Mama yang dari tadi hanya menyaksikan
“Apa setelah makan, adik Sharla akan datang ?” tanya Sharla berbinar
“Coba tanya Papa ?” perintah Mama, membuat Sharla menoleh ke arah Kak Rendi. Kak Rendi gelagapan tak bisa menjawab. Yang kemudian diambil alih oleh Papa.
“Cucu Papa yang pintar, kita belum tau kapan adik Sharla akan datang. Kita cukup berdoa saja sama Allah. Nanti sebelum tidur, Sharla sama Aunty berdoa agar Allah memberikan Adik untuk Sharla. Betul kan Aunty ?” tanya Papa menatapku
“Benar sayang. Nanti kita berdoa sama-sama. Sekarang Aunty sudah sangat lapar sampai mau pingsan, jadi bisa kita makan sekarang ?” ucapku memelas
“Ayo Aunty, nanti kalau Aunty pingsan tidak bisa bantu Sharla berdoa.” sambar Sharla seraya berlari menuju meja makan. Kami mengikuti di belakang seraya terkekeh
“Sharla, jangan lari-lari. Nanti jatuh, pelan-pelan saja.” tegur Kak Rosa
Kami makan dengan diiringi celoteh dari Sharla. Sharla sudah belajar makan sendiri di usianya yang baru beranjak 3 tahun. Bicaranya sudah lancar dan berjalan juga sudah lancar, perkembangannya memang cepat. Dia pintar sekali dan antusias dengan banyak hal. Sharla hiburan tersendiri untuk kami.
“Apa besok kamu ada kuliah, Ver ?” tegur Papa
“Tidak ada Pa. Kenapa ?”
“Bagus kalau begitu. Papa besok ada meeting jadi tidak bisa menemani Mama. Kamu bisa menemani Mama mengunjungi sahabat Mama semasa SMA ?”
“Bisa kok Pa. Sahabat Mama yang mana ?” tanyaku menatap Mama
“Kamu masih ingat Tante Verlin ? Tetangga kita dulu di Bandung ?” ucap Mama
“Yang mana ya Ma. Agak lupa.” sahutku
“Itu yang anaknya teman sekolah Kakak, yang suka main denganmu.” tambah Kak Rendi
“Aku lupa Kak, maaf mungkin aku terlalu pelupa.”
“Tidak masalah, Ver. Saat itu kamu masih sangat kecil. Wajar kalau kamu lupa.” jawab Papa bijak
“Apa kamu sedikitpun tidak ingat dengan Kafian atau Tante Asti, Ver ?” Mama masih berusaha mengingatkanku
“Aku sedikit ingat dengan nama Kak Kafian tapi sungguh sudah lupa wajahnya, Ma.” jawabku jujur
“Tapi kamu masih ingatkan, kalau punya teman kecil ?” tanya Kak Rendi lagi
“Masih Kak. Dulu Kak Kafian baik padaku, tidak sepertimu yang selalu tak mau aku ikuti. ” selorohku sambil menjulurkan lidah
“Iya, kamu selalu mengikuti kami bermain. Kafian juga selalu mengajakmu. Kakak sampai heran, yang kakak kandungmu itu aku atau Kafian.”
“Kakak tetap yang terbaik. Aku sayang kakak.” ucapku merayu
“Kalian ini selalu saja seperti itu. Sudah besok kita ke rumah Tante Asti agar kamu bisa bertemu Tante Asti. Semoga saja Kafian juga ada di rumah.” ujar Mama
Aku termenung, Kafian di rumah ? Apa Kafian sudah ada disini lagi ? terakhir aku bertemu Kafian saat masih TK. Aku tak tau kenapa yang pasti terakhir bertemu, Kafian pamit pergi bersama Mamanya.
Saat itu Papa Kafian meninggal karena sakit, dan Mama Kafian harus meneruskan bisnis Papanya sebagai tulang punggung keluarga. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi bertemu atau mendengar kabar dari Kafian atau Mamanya. Mama juga tidak memberitahuku apapun, aku kira kami memang sudah tidak saling berkomunikasi. Aku cukup terkejut Mama masih bersahabat baik dan menjalin komunikasi dengan Kafian dan Mamanya.
Kafian.. ah biasa ku panggil Kak Kaf dulu. Apa dia masih ingat padaku ? apa dia masih menganggap aku adik yang selalu dia jaga ? Lalu apa hubungannya Kafian, Tante Asti dan hal yang dibicarakan Papa, Mama dan Kak Rendi tadi di ruang keluarga. Semoga semuanya baik-baik saja.