Bab 7. Masakkan Sesuatu Untukku!

1030 Words
Saat ini, Ivy merasa takut jika harus mengetuk pintu kamar Jacob. Ia takut di saat ia mengetuk nanti, suaminya itu akan membukakan pintu itu dengan wajah dingin. "Apa sebaiknya ...." Ivy melirik pada kursi kayu yang terdapat di ruang tamu. Meskipun tidak terdapat busa alas duduk di atasnya, kursi itu tampak nyaman untuk menjadi tempat tidurnya. Yang ia butuhkan hanyalah satu selimut untuk menghangatkan tubuhnya. Karena angin musim dingin masih bertiup di luar sana, seakan ingin membuat dinding rumah ini yang terbuat dari kayu ikut membeku. Dan karena ia masih takut pada Jack, juga masih memiliki trauma atas perlakuan Bastian dulu—, Ivy pun mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu kamar. Lalu memutar langkahnya ke arah kursi kayu. Setibanya di depan kursi panjang itu, ia langsung menjatuhkan b****g rampingnya ke atas kayu keras yang sudah hampir membeku. Rasa dingin menjalar dari bokongnya setelah bokongnya menempel di sana. Perlahan menyebar ke semua bagian tubuhnya. "Tidak terlalu buruk, brrr ...," gumamnya pelan, lalu dengan cepat membuka tas pakaian yang ia bawa. Untunglah ia sempat memasukkan dua selimut tipis ke dalam tas pakaiannya saat ia berkemas di apartemennya tadi. Jika tidak, bisa dipastikan ia akan mati membeku malam ini. Satu dari kedua selimut itu ia pergunakan sebagai alas kursi kayu, sedangkan yang satu lagi— Rencananya akan ia pergunakan untuk membalut tubuhnya. Sementara ransel berisi uang Simpanannya, ia letakkan di ujung kursi kayu. Sebagai bantal untuk menopang kepalanya. "Aku pikir tidak perlu mengganti baju." Ivy melirik pakaian yang ia kenakan di tubuhnya, celana jeans, sebuah hodie, dan sebuah kaos tipis sebagai dalamannya. Cukup tebal untuk menahan udara dingin, dan ditambah dengan selimut tipis yang ia bawa— Voila!! Ia pasti bisa tidur dengan nyenyak malam ini. "Baiklah, Ivy. Ini cukup, lagipula ini lebih baik daripada kau mendapatkan pukulan," Monolognya pada dirinya sendiri. Beberapa saat kemudian, di dalam kamar, Jacob baru saja membersihkan tubuhnya. Ia sedikit bingung ketika ia tidak melihat Ivy berada di dalam kamar. Baiklah, ia agak marah tadi hingga ia meninggalkan Ivy begitu saja. Tapi ia pikir Ivy akan mengikutinya, dan ... "Apa ini? Ke mana wanita itu?" sungutnya sebal, lalu melangkahkan kakinya keluar kamar hanya dengan mengenakan bahtrope berbahan handuk di tubuhnya. Sambil terus mengeringkan rambutnya yang masih basah dengan sebuah handuk kecil. Tiba di ruang tamu, ia menemukan Ivy telah melingkar di atas kursi kayu panjang. Sekujur tubuh Ivy terbungkus dengan selimut tipis. Dan topi hodie, menutupi kepala Ivy. Sebegitu kerasnya istrinya itu mencoba melawan udara dingin. "Cih, mengapa dia tidur di sini?" Jacob berdecak sebal, padahal ia baru saja ingin menggoda Ivy. Ingin membuat wanita cantik itu merapikan kamarnya, juga membereskan seisi rumah. Dan naasnya, ia terpaksa harus mengurungkan niatnya itu hingga besok pagi. "Masih banyak waktu, Jacob. Masih banyak waktu," gumamnya sambil memperhatikan wajah Ivy yang telah terlelap dalam tidurnya. Kedua pipi Ivy tampak memerah, bahkan cuping hidung Ivy juga. Sepertinya udara saat ini memang terlalu dingin untuk wanita cantik ini. Tapi Jacob sama sekali tidak peduli. "Tidurlah di sana! Aku pikir kursi itu pantas untukmu!" dengusnya. Setelahnya, ia menggedikkan bahunya. Kemudian kembali ke dalam kamar, membiarkan Ivy tetap berada di luar sebagai hukuman karena telah mempermalukan dirinya di kedai pizza beberapa saat yang lalu. *** Keesokan pagi ... "Brrr ...." Ivy menggigil dalam tidurnya, dan semakin menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. Tanpa menyadari bahwa Jacob kini sedang menatapnya dari seberang meja. "Wanita ini tidur dengan sangat nyenyak? Apa dia pikir aku sengaja menikahinya hanya agar dia bisa tidur senyenyak ini?" sungut Jacob geram. Karena sudah tidak tahan lagi, dan perutnya juga sudah bergemuruh minta diisi— ia akhirnya beranjak dari kursi yang telah ia duduki sejak tadi. Melangkahkan kakinya ke arah Ivy. Sampai di depan istrinya itu, Jacob pun membungkukkan tubuhnya dengan tangan terulur ke depan. Ia, meraih selimut yang membalut tubuh Ivy. Kemudian menarik selimut itu dengan keras, membuat Ivy jatuh dari kursi ke lantai. Tepat di samping kakinya. Wanita cantik itu mengaduh sesaat, sedikit mengucapkan kata-kata umpatan yang sedikit familier baginya. "Hei, ayolah! Tolong biarkan aku tidur sebentar lagi." Jacob mengerutkan keningnya, ia seperti mengenal suara itu. Tapi ... di mana ia pernah mendengarnya sebelumnya, pikirnya. "Ivy Miller, cepat masakkan sesuatu untukku!" titahnya, demi menyadarkan Ivy yang masih asik mengusap b****g rampingnya. b****g yang baru saja mendarat di lantai dengan sangat keras. Tidak hanya itu, Jacob bahkan melemparkan selimut yang telah ia ambil sebelumnya ke wajah Ivy. Membuat kepala wanita cantik itu tertutupi oleh gumpalan selimut. Namun hanya beberapa saat, tak lama kemudian kepala itu muncul di antara gumpalan selimut kala Ivy menarik kasar selimut itu dari atas kepalanya. "Hei, kau?!" Ivy sontak membeku, karena ketika ia menengadah— Ia menemukan Jack sedang melotot padanya. Membuatnya tersadar, bahwa pernikahan yang telah ia lakukan bersama pria ini kemarin bukan hanya mimpi belaka. 'Mati aku.' Dengan susah payah ia mencoba menelan salivanya, tanpa mengalihkan pandangannya dari Jack. Dan setelah ia mampu menguasai dirinya, ia pun mencoba tersenyum pada pria itu, dengan seraut senyum yang sangat kaku. "Pa-pagi!" sapanya, sambil mengangkat tangan kanannya. Namun Jacob melengos, seperti yang ia lakukan semalam kala Ivy dan dirinya berada di kedai pizza. "Bangunlah, Ivy! Masakkan sesuatu untukku, jika tidak ... aku akan memasakmu sebagai menu sarapanku!" Sembari mengerucutkan bibirnya, Ivy mengangkat tubuhnya untuk berdiri tegak. Lalu tergesa-gesa pergi ke dapur. Di dapur, Ivy melongok melihat isi kulkas. Dan meski kulkas yang Jack miliki tidak terlalu besar, tapi berbagai macam bahan makanan terdapat di dalam kulkas tersebut. Bahkan bahan-bahan itu merupakan bahan pilihan. Ia mengetahuinya berkat tinggal bersama Bastian selama hampir 1 tahun. 'Bukankah dia hanya seorang pemilik peternakan kuda?' Ivy melirik ke arah Jacob yang tengah duduk di salah satu kursi kayu yang mengelilingi meja makan. Walau tampilan rumah peternakan milik Jacob sangat sederhana, namun Ivy tahu jika satu set meja makan dan kursinya yang tengah Jacob duduki sekarang, seharusnya bukanlah set ruang makan yang bisa dibeli dengan harga murah. 'Setidaknya harga satu set meja makan itu dan juga kursinya berkisar antara 1300 dolar sampai 1500 dolar,' taksirnya. 'Apakah dia sengaja menjual satu ekor kuda hanya demi membeli meja ini?' Namun Ivy hanya berani mengucapkan kata-kata itu di dalam hatinya, tidak ingin sampai ucapannya itu terdengar oleh Jacob jika ia ingin melalui hidupnya dengan tenang bersama pria itu. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD