Kembali ke hari Jumat dimana Demi baru saja “berselisih” dengan Fadli di depan gudang sekolah, pada saat pulang menuju rumah, Demi dilanda rasa khawatir, cemas, dan takut yang berlebih. Selama berada di dalam angkutan umum, dia terus memeriksa apakah di sana ada Fadli atau seseorang yang mungkin diminta oleh Fadli untuk menguntitnya. Namun tidak ada yang aneh, semua tampak seperti penumpang biasa yang tidak mengenalnya. Ketika Demi turun dari angkutan umum dan berjalan menuju rumah, setiap bebarapa menit sekali dia juga menoleh ke belakang, takut-takut ada orang yang membuntutinya. Tapi lagi-laginya semuanya tampak aman. Demi pun berjalan cepat menuju rumah. Setibanya di rumah, sehabis melepas sepatu dan menaruh tas di meja belajar, Demi tidak langsung berganti baju lalu makan seperti yang biasa ia lakukan, melainkan memeriksa seluruh kamarnya.
Demi mencari benda mencurigakan yang mungkin ada di dalam kamarnya. Seluruh sudut kamar dia periksa dengan seksama, tapi ia tidak menemukan barang mencurigakan apapun di sana. Di kolong kasur, di bawah meja belajar, di sekitar meja rias, juga di atas lemari baju, tak ada apapun. Demi takut jika Fadli menaruh sesuatu di dalam kamarnya untuk mengintainya. Sebab beberapa bulan lalu, Fadli dan Karisa pernah datang ke rumahnya untuk belajar kelompok.
Demi lalu duduk di atas ranjangnya, ia berusaha untuk menenangkan diri setelah tidak menemukan benda mencurigakan apapun. “Semoga dugaanku tidak benar. Fadli pasti hanya mencoba untuk menakut-takuti ku dengan cara seperti itu. Ya, dia pasti hanya asal bicara. Tidak mungkin dia melakukan tindakan seperti itu.” Ucapnya, memberi sugesti untuk diri sendiri di saat-saat seperti ini sangatlah penting. Dia pun memutuskan untuk langsung mandi agar tubuhnya terasa segar. Namun ketika dia memasuki kamar mandi, kata-kata Fadli kembali terngiang di kepalanya. “Aku bahkan tahu kau pakai baju apa di hari-hari itu.” Kalimat itu tidak bisa dia lupakan. Lupanya rasa takut itu belum benar-benar hilang, Demi kembali memeriksa seluruh sudut kamar mandinya dengan teliti, takut-takut ada benda asing di sana. Tapi lagi-lagi dia tak menemukan apapun. Namun ucapan Fadli tadi berhasil membuat Demi tidak bisa tinggal di rumah dengan tenang seperti biasanya. Ia lalu mulai mempertimbangkan untuk melaporkan hal tersebut kepada wali kelasnya, Julie.
Lain Demi, lain pula Tia. Begitu tiba di rumah, Tia langsung melempar sepatu, kaos kaki, dan tasnya di sembarang tempat. Asisten Rumah Tangganya yang tidak mengerti mengapa anak majikannya bertindak demikian hanya bisa mengangkat barang-barang tersebut dan menaruhnya di tempat yang semestinya. “Mami kemana, Mbok????” tanyanya judes. Tia dan keluarnya bukan orang asli Bandung, sebelumnya mereka tinggal di Jakarta, tapi tiga tahun lalu Papi Tia yang dipindahtugaskan oleh perusahaannya untuk bekerja di cabang Bandung Barat. Akhirnya mereka sekeluarga jadi ikut pindah ke sana karena papinya tidak ingin berpisah dengan sang istri serta anak sematawayangnya. Itulah mengapa sikap Tia sangat berbeda bila dibandingkan dengan murid-murid yang asli orang Bandung atau Bandung Barat. Karakter Tia benar-benar seperti gadis ibu kota yang biasa dilihat di sinetron-sinetron. Dia sama sekali tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan baru karena lahir dan tumbuh di satu jenis lingkungan.
Sang ART mengikuti langkah kaki anak majikannya itu, "Nyonya ada di kamar, Non." Jawabnya memberitahu. Tanpa mengucapkan terima kasih, Tia langsung berjalan menuju kamar maminya. Sementara itu, sang ART menuju ke dapur untuk membuat camilan sore. Ya, salah satu kebiasaan Tia begitu pulang sekolah adalah menyantap kudapan.
Pun dengan maminya, Tia tidak ragu untuk bersikap tidak sopan, dia terbiasa bersikap semaunya sejak dulu. Tia membuka pintu kamar maminya lalu membantingnya, "Mamii!!!" Teriaknya heboh. Rasa kesal dan marah tidak bisa dia kendalikan.
Mami Tia yang saat itu sedang asyik bermain ponsel, segera menoleh pada anak sematawayangnya. Dia meletakkan ponsel di atas meja rias yang penuh dengan skincare dan aksesoris pribadi, lalu bertanya, "Loh...loh...ada apa sayang?" Ucapnya.
Tia berjalan mendekati maminya, “Mami tahu siapa orang yang sudah menaruh bangkai tikus di tas Tia?” Ucapnya dengan nada kesal.
“Siapa, Nak?” Tanyanya penasaran.
“Dia cuma anak culun yang naksir Tia dari kelas sepuluh! Dan apa mami tahu tindakan apa yang dilakukan sama guru wali kelas Tia?”
“Gurumu pasti menghukumnya, kan?” Tebaknya dengan penuh rasa percaya diri.
Tia menggeleng sambil cemberut, “Enggak, Mami! Guru baru itu justru mau agar Tia minta maaf duluan ke Arifin si anak culun. Alasannya karena Arifin melakukan teror itu untuk balas dendam akan tindakan Tia. Padahal kan Tia cuma kasih pelajaran aja sama si culun supaya tahu diri dan gak mengganggu Tia. Apa yang Tia lakukan gak salah kan, Mi? Tia kan hanya melindungi diri sendiri. Tapi guru itu kekeuh minta Tia untuk minta maaf duluan, setelah itu baru si Arifin yang minta maaf ke Tia. Dan yang mami harus tahu, kita berdua harus sama-sama membuat surat pernyataan! Dalam kasus teror ini kan murni karena kesalahan si culun itu, kenapa juga harus Tia yang minta maaf dan bikin surat pernyataan???” Ceritanya panjang lebar. Tia benar-benar menceritakan semuanya pada sang mami. Dia sedang mencari pembelaan atas perbuatannya, dan pihak yang paling tepat untuk itu karena memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar tentulah kedua orangtuanya.
Mendengar cerita itu, Mami Tia langsung naik pitam. Ia merasa jika putrinya sudah diremehkan oleh guru baru yang belum dia kenal dan tidak jelas kredibilitasnya, begitu menurutnya. Selama ini semua dewan guru selalu memperlakukan Tia dengan baik sebagai ucapan terima kasih atas donasi yang diberikan oleh orangtua Tia untuk SMA Cendikiawan III. Lalu tiba-tiba muncul seorang guru baru yang tidak mengikuti “budaya” itu, pastilah Mami Tia dibuat naik darah dengan fakta tersebut. Ia merasa jika semua guru di sana bisa mendapat gaji yang layak itu karena berkat donasinya. Setiap bulan orangtua Tia selalu menyumbang belasan juta rupiah, serta donasi tahunan yang jumlahnya begitu fantastis.
“Kurang ajar sekali guru baru itu. Siapa namanya? Biar Mami urus besok di sekolah.” Ucapnya dengan nada tinggi.
“Namanya Bu Julie, Mi. Dia baru beberapa bulan ini mengajar di sekolahku. Aku dengar, dia juga alumni dari SMA Cendikiawan III.” Tia memegang erat lengan Maminya, merengek seperti anak kecil seraya berkata, “Mi, pokoknya Mami harus urus masalahnya sampai selesai ya! Aku gak mau minta maaf sama si culun Arifin karena hanya dia yang salah dalam kasus ini.”
Wanita yang sudah memiliki banyak garis keriput di wajahnya itu mengusap-usap lengan putrinya, “Kau tidak perlu khawatir sayang, Mami akan pastikan si anak culun itu mendapat hukuman yang setimpal. Dan guru baru itu, Mami tidak akan biarkan guru tak berkompeten seperti dia ada di SMA Cendikiawan, Mami tidak ingin uang Mami digunakan untuk membayar guru yang tidak tahu diri.” Ujarnya.
Tia tersenyum puas, saat Maminya sudah turun tangan maka dia tidak perlu khawatir, semuanya pasti akan terselesaikan dengan baik sesuai dengan rencananya.
*******
Desiree yang sedang membaca-baca riwayat hidup korban tiba-tiba kepikiran untuk menghubungi Baron siang itu. Dia baru saja memeriksa korban kecelakaan kerja yang jatuh dari ketinggian puluhan meter. Adalah seorang pria berusia tiga puluh lima tahun yang bekerja sebagai kuli untuk proyek apartemen mewah. Saat sedang bekerja, kakinya terpeleset hingga jatuh dari atap apartemen. Naasnya, korban tidak mengenakan alat pelindung diri yang sesuai dengan SOP. Tidak ada system perlindungan bahaya jatuh atau fall protection system yang mampu menyelamatkan pekerja ketika mereka jatuh dari ketinggian. Akibatnya, korban langsung meninggal di tempat dengan kondisi yang mengenaskan. Kejadian tersebut mengingatkan Desiree atas kasus kematian Karisa. Kepala menjadi bagian dengen efek terparah dari kecelakaan tersebut, juga tulang tangan, kaki, dan rusuk yang patah. Posisi mendarat si pria itu pun sama seperti Karisa.
“Hallo, selamat siang Bapak Baron yang terhormat?” Sapa Desiree.
Baron tersenyum kecil mendengarnya, “Siang Ibu Desiree, apa saan ini kau sedang makan di samping jenazah?”
Desiree tertawa, “Dan kau pasti masih makan roti atau nasi onigiri di dalam mobil sambil melakukan pengintaian.”
“Biasanya memang seperti itu, tapi hari ini aku memutuskan untuk sepenuhnya istirahat di rumah. Ngomong-ngomong, ada apa? Kau tidak mungkin menghubungiku hanya untuk berbicara basa-basi seperti ini kan? Aku tahu betul dirimu seperti apa.”
“Hahhahaha, hari minggu memang seharusnya istirahat di rumah. Selama ini kau selalu bekerja tanpa henti. Semoga kau bisa terus berbuat baik pada dirimu sendiri, tahu kapan harus tancap gas, dan sadar kapan harus injak rem. Um…ya, ada yang ingin aku bicarakan, aku pikir info ini bisa membantumu memecahkan misteri kematian Karisa. Kau masih menyidiki secara mandiri kasus gadis SMA itu, bukan?” Volume suara Desiree lebih pelan dari sebelumnya, saat mengatakan itu dia juga sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, takut-takut ada orang lain yang mendengar ucapannya. Ya, saat ini Desiree sedang berada di lorong rumah sakit, atau tepatnya di depan ruang autopsi.
Tentu saja Baron terkejut, bagaimana Desiree bisa tahu kalau saat ini dia sedang melakukan penyidikan mandiri atas kasus Karisa sementara dia tidak pernah bercerita pada siapapun. Ada perasaan was-was dalam diri Baron. Jika Desiree saja begitu mudah mengetahui misi rahasianya, tidak menutup kemungkinan bila pihak-pihak yang lain juga sebentar lagi akan tahu, atau mungkin mereka sebenarnya sudah tahu tapi hanya diam-diam saja dan membiarkan Baron bertindak seperti orang bodoh. Baron tidak takut diberi sanksi jika misi “illegal” nya ini ketahuan oleh pimpinannya, Bambang. Yang dia takutkan adalah adanya campur tangan dari pihak-pihak yang tidak ingin kasus Karisa terselesaikan dengan baik sehingga berpengaruh pada proses penyidikan dan penyelidikan tim Baron. Ragu-ragu Baron bertanya, “Bagaimana kau bisa tahu?”
Desiree tersenyum kecil, lega karena ternyata feelingnya benar, “Menurutmu, bagaimana aku bisa tahu?” Desiree membalikkan pertanyaan, membuat Baron jadi lebih khawatir.
“Apa kau tahu dari seseorang yang mengintaiku? Atau justru kau yang memata-mataiku?” Baron tidak tahu apa yang dia ucapkan, hanya itu yang terlintas di kepalanya.
Sontak Desiree tertawa, “Aku sudah cukup sibuk berhadapan dengan mayat-mayat, tidak ada waktu untuk mengintai atau menyadapmu. Lalu, kau kan tahu kalau seringkali musuhmu menjadi musuhku juga. Orang yang mengintaimu tidak akan memberi informasi apapun kepadaku karena menganggap aku ini musuhnya juga. Kalau aku berkata ini semua berkat feeling, apa kau percaya?”
Jantung Baron yang awalnya berdetak kencang kini mulai memperlambat detakkannya, walau masih belum dalam batas normal, “Dalam penyidikan dan penyelidikan tak jarang aku juga menggunakan feeling, tapi ya, feeling tidak selalu bisa diandalkan. Jadi, darimana kau tahu?” Tanyanya cepat, Baron tidak ingin bertele-tele untuk urusan seperti ini.
Desiree pun berkata bahwa saat pertama kali mendengar cerita dari Taka tentang surat perintah penutupan kasus Karisa, dia yakin bahwa Baron tidak hanya tinggal diam. Ya, Desiree lebih dulu tahu tentang fakta penutupan kasus itu dibanding Baron. Benar saja, dua hari kemudian Taka kembali bercerita bahwa Baron menentang Bambang di ruangannya. Sebagai seseorang yang sudah bekerja sama dengan Baron selama bertahun-tahun lamanya dan sebagai orang yang mengautopsi jenazah Karisa, Desiree tahu betul terdapat kejanggalan dalam kasus itu. Dan Baron akan melakukan apapun—bagaimanapun caranya—agar kasus terselesaikan dengan sebagaimana mestinya. Ditambah cerita dari Taka tentang Baron yang sedang jarang datang ke kantor. Itu semakin meyakinkan dirinya bahwa Baron sedang menyusun sebuah rencana. Baron yang awalnya menggebu-gebu tidak terima jika penyidikan kasus itu dihentikan, mendadak jadi begitu tenang seolah ikut melupakan kasus Karisa. “Bukankah itu tampak aneh? Setidaknya bagiku yang sudah terlalu mengenalmu.” Ujarnya di akhir cerita. Namun Desiree buru-buru melanjutkan kalimatnya, “Tapi kau tidak perlu khawatir, sebab menurutku, orang-orang di Polres Bandung Barat tidak ada yang sepeka dan secerdas diriku. Dan sejauh ini, kau berhasil membatasi diri dengan mereka. Bentengmu begitu kokoh, Baron, kau tahu itu.”
Entah mengapa kalimat-kalimat terakhir Desiree berhasil membuatnya sedikit tenang. Meski tidak yakin jika tidak ada orang lain selain Desiree yang tahu tentang misi rahasianya, tapi apa yang dikatakan Desiree adalah benar. Feeling dan logika Desiree selalu bekerja dengan baik jika berhubungan dengan dirinya. Itulah mengapa selama ini mereka selalu merasa klop dalam bekerja sama. Banyak kesamaan dalam cara kerja, pola pikir, dan karakteristik mereka berdua. “Semoga yang kau pikirkan benar. Dan ya, kurasa aku tidak bisa berbohong denganmu. Saat ini aku sedang melakukan penyidikan rahasia atas kasus kematian Karisa bersama dengan dua anggota tim lainnya.”
“Wow, kau punya anggota tim juga???” Ucapnya tak percaya. Namun Desiree segera menutup mulutnya sendiri sambil lagi-lagi menengok ke kanan dan ke kiri. Sejauh ini aman, tidak ada orang yang melewati lorong itu.
“Ya, mereka adalah wali kelas Karisa dan satu orang reporter yang tidak terikat dengan perusahaan media manapun. Sejauh ini kita sudah menemukan beberapa fakta baru yang sebelumnya tidak ditemukan oleh pihak kepolisian.”
“Aku jadi penasaran, siapa orang-orang special itu? Aku yakin sekali kau tidak akan merekrut sembarang orang untuk bergabung ke misi rahasiamu. Mereka pastinya punya kemampuan yang membuatmu terkagum-kagum, bukan?”
“Desiree, rupanya kau benar-benar tahu cara kerja dan pola pikirku. Tapi, kenapa pembahasan kita jadi melenceng begini?”
Benar, Desiree jadi melupakan tujuan utamanya menghubungi Baron. Tak ingin terus-terusan membuang waktu, Desiree langsung menceritakan tentang hasil autopsi dari korban kecelakaan kerja yang ada sedikit kemiripan dengan kondisi mayat Karisa. Desiree berkata bahwa dia yakin betul bahwa jatuhnya Karisa dari atap sekolah bukan karena sengaja loncat atau menjatuhkan diri, melainkan karena ketidaksengajaan. Karena shock, akibatnya otot-otot akan menjadi kaku, lutut dan siku pun akan terkunci sehingga korban tidak bisa “mendarat” dengan baik. Jika beruntung, saat berada di udara, korban bisa melemaskan tubuh kemudian menekuk sedikit lututnya agar bisa mendarat dengan baik, atau setidaknya tubuh dapat lebih siap menghadapi segala benturan. Dan yang terjadi pada Karisa adalah dia begitu shock, tidak menyangka bahwa dirinya akan jatuh dari atap sekolah. Jelas itu bukan tanda-tanda bahwa dia bunuh diri. Lantas sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apa yang sedang Karisa lakukan di atap sekolah? Siapa yang sedang bersamanya malam itu? Apa atau siapa yang menyebabkan Karisa terjatuh dari ketinggian puluhan meter? Tiga hal itu yang belum diketahui oleh mereka.
Baron yang sejak tadi mendengarkan analisis Desiree dengan cermat mengangguk-ngangguk sendiri. Penjelasan yang Desiree berikan tentulah sudah berdasarkan pada logika dan ilmu di bidangnya, serta tiga pertanyaan terakhir yang dia ucapkan adalah pertanyaan yang juga sedang Baron cari jawabannya. Dia sungguh senang mendapat tambahan informasi dari Desiree, setidaknya kini fakta bahwa Karisa tidak bunuh diri sudah jelas dan pasti, tidak abu-abu atau masih diragukan lagi seperti sebelum-sebelumnya. Baron tentu harus menyampaikan hal itu pada Julie dan Adrian. Lalu tiba-tiba terlintas dalam benak Baron untuk mengajak Desiree bergabung dalam misi rahasianya. Dia yakin bahwa kemampuan Desiree akan sangat membantunya dalam menyidiki kasus kematian Karisa. Namun di luar dugaan Baron, Desiree justru menolak ajakan tersebut dengan cepat dan pasti. Dia berkata bahwa dia tidak pernah berniat untuk “mengorbankan” profesinya. Ya, jika misi rahasia tersebut ketahuan orang Kapolres, Baron dan Desiree yang berada di bawah naungan Polri tentu akan mendapat sanksi yang tidak main-main. Tapi Desiree berjanji bahwa dia akan berusaha untuk membantu Baron semampunya, hanya saja dia tidak ingin terikat dengan tim “illegal” itu.
Baron pun tidak marah apalagi kecewa. Dia menghargai keputusan Desiree karena memang tidak seharusnya Desiree menerima tawaran seperti itu. Baron juga tidak ingin memaksa orang lain untuk mengorbankan sesuatu. Berbeda dengan Julie dan Adrian yang memang secara sukarela bergabung dalam tim tersebut. Dan sebenarnya tanpa diminta pun, Desiree sudah pasti akan membantu Baron. Dia juga selalu ingin memperjuangkan keadilan, hanya saja cara yang dipilih berbeda dengan cara yang Baron tempuh. Ya, mereka sudah sama-sama dewasa untuk saling menghargai keputusan masing-masing. Baik Baron maupun Desiree, keduanya paham konsekuensi apa yang akan mereka terima ketika mereka memutuskan untuk melakukan suatu hal. Itulah mengapa Desiree tidak report-repot menasihati Baron terkait sanksi yang mungkin akan ia terima. Sama seperti yang Julie pikirkan. Baron justru lebih paham betul atas segala resiko dan konsekuensi yang ada. “Terima kasih banyak atas informasi dan dukungan yang kau berikan untukku.” Ujar Baron sebelum telphone mereka berakhir.
“Kau tidak perlu mengucapkan terima kasih sekarang, aku bahkan belum membantu apa-apa.” Balas Desiree. Hubungan mereka berdua benar-benar murni sebagai rekan kerja. Baron dan Desiree sama-sama bersyukur karena dipertemukan dengan seseorang “sejalan” dalam urusan pekerjaan. Sejauh ini, pimpinan tidak pernah keberatan jika Baron selalu menyerahkan mayat dalam kasus-kasusnya untuk di autopsi oleh Desiree, atau Desiree yang lebih mengutamakan tindakan autopsi untuk jenazah dari kasus-kasus yang sedang ditangani oleh Baron.
*****
Tia sudah bersiap dengan Maminya untuk berangkat ke sekolah. Dia membayangkan hari ini akan menjadi Senin yang cerah karena dia akan menyaksikan Arifin dihukum oleh kepala sekolah, dan Julie mendapatkan balasan karena tidak berpihak padanya. Tia sendiri tidak tahu apa yang akan Maminya lalukan terhadap wali kelasnya. Begitu tiba di parkiran sekolah, keduanya langsung turun dari mobil dengan langkah tegak dan penuh percaya diri. Kedatangan mereka pun berhasil menarik perhatian dari seluruh murid.
Tia menggandeng tangan sang Mami, berjalan menuju ruang kepala sekolah untuk bertemu dengan Adiwiyata. Mami Tia sudah menghubungi Adiwiyata sebelumnya, berkata bahwa dia akan datang ke sekolah karena Adiwiyata tidak cakap dalam mengurus bawahannya. Sontak perkataan itu membuat sang kepala sekolah sedikit ketar-ketir, mendapat teguran dari donatur nomor 1 di sekolah bukanlah hal yang bisa disepelekan.
Adiwiyata pun sudah mempersiapkan diri untuk bertemu dengannya, seperti biasa, dia sudah ada di ruangannya sejak pukul setengah enam pagi. Begitu Tia dan Maminya datang, dia langsung menyambutnya dengan hangat dan layak. Tentu dia harus bersikap baik di depan orang yang berkontribusi dalam pembiayaan operasional sekolah. Dengan nada marah-marah dan ekpresi wajah tidak santai, Mami Tia menceritakan kronologi masalahnya. Sementara Tia hanya duduk di samping sang Mami sambil tersenyum puas.
Kini giliran Adiwiyata yang berbicara, “Ibu tenang saja, terkait siswa yang bernama Arifin, saya pastikan jika dia akan menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Saya akan memanggil orangtua Arifin, serta menskors anak itu selama satu minggu. Dia juga akan kami minta untuk membuat surat pernyataan yang tentunya akan menguntungkan Tia. Dan untuk wali kelas Tia yang bernama Julie, saya akan menegurnya agar lebih hati-hati dalam menangani murid-muridnya.” Ujar Adiwiyata.
“Apa guru baru itu hanya ditegut saja? Saya rasa tidak bisa seperti itu. Dia harus paham akan budaya dan kultur di sekolah ini. Bukankah para guru bisa makan dan hidup enak berkat para murid dan orangtuanya???” Masih dengan nada tinggi.
“Kalau begitu apa yang Ibu inginkan?” Tanya sang kepala sekolah.
“Saya ingin guru baru itu meminta maaf kepada saya dan anak secara secara resmi di depan ratusan murid. Agar dewan guru yang lainnya juga tidak lupa kepada siapa mereka harus berpihak. Apa anda bisa memenuhi keinginan saya?” Tanyanya dengan wajah serius. Adiwiyata kemudian diam, ada banyak hal yang sedang dia pertimbangkan sebelum menjawab pertanyaan itu.