TIGA PULUH DELAPAN

1666 Words
Pada jam istirahat sekolah, Julie dan Mei memilih untuk bertemu dan bicara di halaman belakang sekolah. Terdapat sebuah halaman kosong di sana, hanya ada beberapa kursi yang tidak terpakai serta meja-meja kelas yang sudah rusak. Bisanya halaman itu digunakan oleh para murid yang ingin melanggar peraturan sekolah seperti merokok atau enggan mengikuti jam pelajaran alias bolos. Julie sudah tiba duluan di sana, dia bahkan rela tidak makan siang karena sudah tidak sabar ingin bicara dengan Mei. Sementara Mei, datang tujuh menit setelahnya.   Julie langsung bangkit dari duduknya begitu melihat Mei datang. Guru bahasa Indonesia itu datang dengan kepala menunduk dan wajah gugup serta tidak nyaman. Julie tersenyum, senang karena akhirnya Mei mau bicara empat mata dengannya. “Aku tidak punya banyak waktu.” Ucap Mei bahkan sebelum Julie mengatakan apapun.   Julie mengangguk cepat, “Ya, aku janji ini tidak akan lama. Kalau begitu, agar tidak membuang-buang waktumu, langsung saja ya. Aku ingin bertanya tentang Olimpiade Geografi yang diikuti oleh Karisa, waktu itu kau mendapat tugas untuk mendampingi Karisa, sementara Pak Wira bertugas sebagai pembina Karisa, bukan?” Tanya Julie, Mei mengangguk.   Julie melanjutkan, “Aku dengar, saat itu tidak hanya Karisa yang mengikuti seleksi untuk Olimpiade, ada juga Demi, teman dekatnya Karisa. Tapi beberapa gosip menyebar di sekolah ini, salah satunya adalah bahwa sebenarnya Demi yang lebih siap untuk mengikuti perlombaan itu, lantas mengapa justru Karisa yang terpilih?” Julie sadar dia harus aktif mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang agak menjurus karena Mei tidak akan banyak bicara.   Mei yang sejak tadi hanya menunduk dan menghindari tatapan mata Julie, setelah mendengar pertanyaan kedua itu, dia langsung mengangkat kepala dan menoleh ke arah Julie, namun dia belum menjawab apapun. “Apa kau tahu alasannya?” Tanya Julie sekali lagi karena Mei tak kunjung menjawab.   Di luar dugaan, bukannya menjawab pertanyaan Julie, Mei justru mengajukan pertanyaan untuk pertama kalinya, “Mengapa kau sangat tertarik dengan kasus Karisa?” Ucapnya sambil menatap mata Julie. Kesempatan itu tidak Julie sia-siakan, mengingat Mei seringkali menghindari kontak mata dengan orang lain, Julie berusaha untuk mendengar apa yang ada di pikiran Mei. Saat itulah ia mendengar, “Apa kau punya kepentingan tertentu? Sebenarnya apa yang kau inginkan? Tolong jangan libatkan aku dalam masalah ini, tolong.” Begitu isi pikiran Mei.   Julie menyerngir, aneh sekali, mengapa Mei terlihat begitu ketakutan? Apa dia tahu fakta-fakta dari kematian Karisa? Atau justru, dia berkaitan dengan peristiwa itu? Pikiran-pikiran seperti itu melintas di kepala Julie. “Aku hanya ingin kasus Karisa terselesaikan dengan baik. Aku yakin sekali jika Karisa tidak bunuh diri. Pasti ada seseorang atau sesuatu yang menyebabkan dia terjatuh dari atap sekolah. Kau juga percaya jika Karisa tidak bunuh diri, bukan? Dan fakta bahwa pihak kepolisian serta pihak sekolah sepakat untuk menutup kasus ini, bukankah kau merasa itu aneh?” Ungkap Julie. Ia seperti sedang “menggiring” Mei agar masuk dalam pola pikirnya.   Ekspresi wajah Mei semakin terlihat cemas dan tegang, “Tapi mengapa? Mengapa kau ingin menyelesaikan kasus ini? Apa untungnya buatmu? Bukankah kau belum lama mengenal Karisa? Apa kau tidak takut?” Mei mengajukan pertanyaan tanpa henti, ia seperti sedang meluapkan perasaannya. Dan untuk pertanyaan yang terakhir, agaknya ia sedikit keceplosan.   “Takut?” Julie mengulangi pertanyaan Mei, keningnya berkerut, ia berusaha menatap mata Mei walau sulit sekali rasanya, “Mengapa aku harus takut? Siapa orang yang harus aku takuti? Apa orang itu berhubungan dengan kematian Karisa?” Julie dengan cepat menebak-nebak maksud dari perkataan Mei.   Mei semakin membuang muka, saat Julie berada di sebelah kirinya, dia justru cenderung menghadap ke sebelah kanan, “Intinya aku tidak tahu mengapa Karisa yang dipilih untuk Olimpiade itu dan bukan Demi. Aku baru bergabung menjadi pendamping setelah pihak sekolah memutuskan siapa siswi yang menjadi perwakilan sekolah.” Jawab Mei. Meski tidak yakin Mei sudah memberikan jawaban yang sejujur-jujurnya, namun Julie tetap menghargai jawaban itu. Ia tetap mengendalikan sikap agar tidak membuat Mei merasa tidak nyaman. Sebab ketika Mei merasa terintimidasi dengan pertanyaan-pertanyaannya, Julie khawatir tidak tidak akan mendapat informasi apapun lagi untuk ke depannya.   Julie menggangguk, sebagai tanda bahwa dia menerima jawaban Mei, “Kalau begitu, apa kau selalu mendampingi Karisa saat dia belajar dan berlatih dengan Pak Wira? Karisa selalu mendapat pelajaran tambahan setelah jam pulang sekolah, kan? Aku dengar, beberapa kali Karisa bahkan harus pulang hingga larut malam.”   “Ya, di samping harus mempersiapkan diri untuk Olimpiade geografi, Karisa juga harus tetap mengikuti kegiatan belajar mengajar karena saat itu dia masih kelas sepuluh. Dia tidak boleh ketinggalan banyak pelajaran apalagi kala itu sekolah baru saja mengubah jenis kurikulum sesuai dengan arahan dari Kementerian Pendidikan. Oleh karena itu, di saat murid-murid yang lain bisa pulang ke rumah tepat pukul tiga sore, Karisa harus lanjut belajar dan berlatih soal-soal Geografi dengan Pak Wira hingga pukul delapan malam. Ada saat-saat dibutuhkan waktu ekstra karena banyaknya materi yang harus dipelajari. Aku sendiri tak selalu bisa mendampingi Karisa setiap hari karena aku juga memiliki kesibukan lain. Beberapa kali aku harus ikut workshop, mencari materi tambahan untuk mengajar ke perpustakaan kota, melatih murid-murid yang ikut perlombaan baca puisi, atau rapat dengan dewan guru yang lain.” Sebagai guru bahasa Indonesia, Mei juga ditugaskan untuk melatih para murid yang mengikuti perlombaan sastra, seperti membaca puisi atau pertunjukkan drama.   “Jadi ada saat dimana Karisa hanya belajar dan berlatih berdua dengan Pak Wira, tapi ada juga saat dimana kau turut serta di sana. Apa kau melihat hal yang tidak wajar selama Pak Wira membimbing Karisa selama proses persiapan Olimpiade itu? Maksudku, apa Pak Wira terlalu menekan Karisa untuk terus belajar tanpa henti? Aku dengar sekolah menaruh harapan yang begitu besar pada Karisa agar dia bisa menang dalam ajang perlombaan bergengsi itu.”   “Pak Wira? Sepertinya tidak ada yang aneh dengan caranya melatih Karisa. Dia bahkan memberi waktu untuk Karisa beristirahat selama lima belas menit setelah belajar satu jam. Tapi ya, selama proses persiapan itu, Pak Wira selalu mengatakan pada Karisa bahwa dia harus menang dalam Olimpiade. Ada satu ucapan Pak Wira pada Karisa yang masih aku ingat sampai sekarang…”   “Dia bicara apa?” Tanya Julie penasaran.   “Dia berkata bahwa dirinya sudah mengorbankan banyak waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing Karisa dalam persiapan Olimpiade itu, jadi Karisa tidak boleh kalah. Kalau sampai kau kalah, kau telah mengecewakan semua orang yang mendukungmu. Bukan hanya orang-orang yang ada di sekolah ini, tapi juga ibumu. Kalau sampai kau kalah, maka kau akan membuat ibumu kecewa. Kau tidak mau itu terjadi, bukan? Begitu ucapnya.” Mei menirukan ucapan Pak Wira pada Karisa. Saat itu dia tidak sengaja mendengarnya, ketika dia ingin masuk ke ruang kelas tempat mereka berlatih, Mei mendengar Wira sedang berbicara seperti itu pada Karisa di dalam kelas.   Mata Julie terbelalak mendengar cerita Mei, akhirnya rekan kerjanya itu mau sedikit lebih banyak bercerita tentang hal yang tidak dia ketahui sebelumnya. Perkataan Wira pada Karisa tentu seperti sebuah perintah yang dapat menekan kondisi mental Karisa. Hal itu jelas beda dengan apa yang disampaikan oleh Wira sebelumnya. Kala itu Wira berkata pada Julie bawa Karisa merasa tertekan karena orang-orang menaruh harapan padanya, padahal orang yang paling menuntut Karisa untuk menang adalah dia. Apalagi Wira membawa-bawa ibunda Karisa, orang yang paling dia sayangi. Tentu itu seperti menyinggung titik lemah Karisa. Karisa rela melakukan apapun demi ibunya, tidak terkecuali jika dia harus belajar mati-matian agar tidak mengecewakan sang ibu. Wira seperti tahu titik lemah Karisa. Julie tidak perlu bertanya pada Mei mengapa Wira sangat menuntut Karisa untuk menang, pasti karena kala itu dia menginginkan jabatan wakil kepala sekolah. Dia pikir, dengan Karisa menang dalam Olimpiade, itu menandakan bahwa dia sudah menjalankan tugasnya dengan sangat baik, sehingga kepala sekolah akan mengangkatnya menjadi wakil kepala sekolah, sebab saat itu posisi tersebut sedang kosong. Selain itu, sebagai pembimbing, Wira juga pasti akan mendapat insentif atau bonus dari pihak sekolah atas kemenangan Karisa. Hal-hal tersebut sudah cukup kuat untuk dijadikan alasan mengapa Wira bisa berkata seperti itu pada Karisa.   Meski belum mendapat jawaban terkait apa atau siapa yang menyebabkan Karisa tewas, tapi setidaknya sekarang Julie tahu salah satu alasan mengapa Karisa begitu tertekan selama pelaksanaan Olimpiade. Karisa pasti tidak bisa berkonsentrasi karena adanya tuntutan-tuntutan tersebut. “Itu berarti, yang membuat Karisa teriak histeris pada hari terakhir pelaksanaan Olimpiade adalah karena dia stress dan takut tidak memenangkan perlombaan itu? Dan salah satu penyebabnya adalah ucapan Pak Wira tadi?”   “Bagaimana kau tahu kalau Karisa berteriak histeris saat hari terakhir Olimpiade?” Tanya Mei, dia sepertinya terkejut karena Julie tahu fakta yang berusaha untuk disembunyikan Itu.   Tapi Julie tentu tidak akan memberitahu Mei jika dia tahu dari April. “Aku tahu dari seorang kenalan yang hadir di sana saat itu.” Ucapnya bohong, namun kali ini Julie cukup pintar menutupi kebohongannya. Final Olimpiade tersebut memang dilaksanakan di sebuah gedung yang dihadiri oleh beberapa tamu undangan khususnya tokoh-tokoh penting di bidang pendidikan. Dan tidak mencurigakan jika Julie mengenal salah satu di antaranya karena mereka berada dalam satu bidang. Julie tidak akan membiarkan keselamatan April terganggu karena sudah memberinya informasi. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk melindungi siapapun yang mau bekerja sama dengannya dalam menyelesaikan kasus kematian Karisa. Orang-orang seperti April secara tidak langsung juga berperan penting, dan Julie harap Mei bisa jadi seperti April yang juga membantunya dalam pemberian informasi.   Tiba-tiba saja Mei melihat jam di tangan kanannya, ia lalu berkata, “Maaf, aku harus pergi sekarang. Aku harus menyiapkan materi sebelum jam pelajaran selanjutnya.” Ujar Mei. Julie ikut melihat jam tangannya, benar, sepuluh menit lagi bel masuk akan berbunyi, jam istirahat pun akan berakhir. Julie mengangguk, “Baiklah, kalau begitu terima kasih banyak atas waktu dan informasi yang kau berikan. Informasi sedikit apapun akan sangat membantuku untuk menyelidiki kasus kematian Karisa. Sekali lagi, terima kasih banyak, Mei.” Ujar Julie tulus, ia sungguh ingin Mei merasakan ketulusan dari ucapannya itu.   Mei hanya mengangguk, lagi-lagi menghindari kontak mata dengan Julie. Ia lalu pergi meninggalkan Julie yang masih terdiam di halaman belakang. Satu kepingan puzzle lagi sudah ditemukan. Tugasnya masih begitu banyak hingga dia bisa membuat kepingan-kepingan puzzle itu terpasang secara utuh. “Kau pasti bisa, Julie.” Ucapnya pada diri sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD