Sembilan

4038 Words
Julie dengan cemas menunggu interogasi selesai, dia khawatir jika murid-muridnya merasa terintimidasi dengan pertanyaan yang diajukan oleh penyidik, bagaimanapun juga mereka adalah remaja yang mentalnya masih kurang stabil. Dia pun bergegas ke ruang BK untuk menemui Baron, “Bagaimana?” Tanyanya. Baron mengisyaratkan pada Taka untuk kembali ke mobil lebih dulu sementara dia bicara dengan Julie, “Kita bicara di dalam saja.” Ujarnya. Sebelum memberitahu Julie, Baron sempat terdiam sejenak, dia berpikir tindakannya itu benar atau tidak. Julie mendesah tampak tidak percaya, “Kau sungguh masih meragukanku?” tanyanya dengan sedikit kesal. Insting seorang penyidik memang seperti itu, mereka tidak mudah percaya dengan seseorang sebab serigala berbulu domba jauh lebih berbahaya daripada serigala itu sendiri. “Aku hanya tetap waspada. Setiap orang berpotensi untuk menjadi tersangka.” Jawabnya. Julie memutar kedua bola mata, “Kalau begitu silahkan tanyakan hal yang ingin kau ketahui dariku.” Julie benar-benar ingin kasus Karisa cepat selesai, bahkan jika itu memang benar kasus pembunuhan, dia ingin pelakunya segera tertangkap. “Sebenarnya ini berhubungan dengan ketiga anak tadi. Aku ingin bertanya tentang sikap Tia, Fadli, dan Demi selama di sekolah, serta hubungan yang terlihat antara Karisa dengan mereka bertiga.” “Maksudmu, pembunuhnya adalah satu di antara mereka?” Tanyanya sedikit ragu. Baron tidak mengangguk atau menggeleng, “Hanya dugaan sementara, aku masih membutuhkan banyak petunjuk dan bukti untuk menetapkan tersangka.” “Pelakunya bukan Tia.” Ujar Julie. “Bagaimana kau tahu? Maksudku, mengapa kau begitu yakin?” “Jawabanku mungkin akan terdengar seperti lelucon bagimu, tapi aku bisa membaca pikiran seseorang hanya dengan menatap matanya lekat-lekat. Aku mendapat kemampuan ajaib itu setelah kecelakaan yang aku alami beberapa tahun lalu. Ya, itu terjadi begitu saja. Semacam mukjizat? Entahlah.” Jelasnya santai. Selama ini dia menutupi kemampuannya pada semua orang, tapi hari itu dia bercerita pada Baron karena itu adalah satu-satunya cara agar Baron tidak curiga padanya. Perihal Baron mau percaya tentang kemampuannya atau tidak, dia tidak peduli. Julie memajukan tubuh, menatap Baron lekat-lekat dan berkata, “Apakah dia benar-benar memiliki kemampuan itu? Atau wanita ini sedang berusaha untuk membodohiku?” Ucap Julie, “Itu yang sedang kau pikirkan, bukan?” lanjutnya. Baron memundurkan tubuhnya, menjauh dari Julie. Itu benar. Kalimat yang Julie ucapkan adalah hal yang saat itu sedang ia pikirkan. Tepat seratus persen. Julie tersenyum mengejek, “Tidak, itu tidak kebetulan. Aku benar-benar bisa menebak isi pikiranmu.” Itu jawaban atas pertanyaan yang tidak Baron ucapkan. Tidak ingin memusingkan yang lain, Baron meminta Julie untuk kembali pada topik awal. “Tia mungkin bukan teman dekat Karisa, hubungannya dengan Karisa bahkan kurang baik karena keduanya pernah terlibat dalam pertengkaran saat kelas sepuluh. Tapi itu hanya masalah anak remaja, mereka berdua menyukai laki-laki yang sama. Namanya adalah Rian, tapi anak itu sudah pindah sekolah saat kenaikan kelas sebelas. Aku tahu hal itu dari beberapa siswi yang dekat dengan Tia. Perilaku buruk Tia adalah suka bergosip, tapi untuk melakukan tindakan pembunuhan? Itu tidak mungkin. Tia bahkan memiliki phobia takut melihat darah. Sebelum keluar kelas, mata kami sempat bertatapan, ‘Bu, aku sangat takut, aku tidak tahu apa-apa tentang kematian Karisa.’ Begitu yang ada di pikirannya. Dia mungkin merasa bersalah karena selama ini sering menggosipi Karisa dengan teman-temannya, sebelum kau menetapkan kasus ini sebagai kasus pembunuhan, dia sempat berpikir kalau Karisa bunuh diri karena depresi akibat bully yang dia lakukan. Dan ya, bagaimanapun juga aku akan menindaklanjuti kasus bully itu agar tidak terulang pada orang lain.” Baron mengangguk, “Aku mengerti, tapi menurutku kematian Karisa tidak berhubungan dengan perundungan.” “Ya, banyak murid bahkan tidak mengetahuinya, kemungkinan besar perundungan itu hanya sesekali dilakukan. Jika diperhatikan, Karisa juga tampak tidak peduli dengan keberadaan Tia. Dan dari pengamatanku selama mengajar, Karisa tidak memiliki ketakutan pada Tia. Dia menganggap seolah Tia tidak ada. Karisa beberapa kali mengacuhkan Tia ketika mereka sedang presentasi di kelas. Jadi aku sangat yakin kalau pelakunya bukan Tia.” “Bagaimana dengan Fadli dan Demi?” Tanya Baron, sejujurnya dia sedikit curiga pada mereka berdua. “Hanya mereka berdua yang cukup dekat dengan Karisa. Mereka selalu berada dalam satu kelompok belajar, tapi belakangan ini aku lebih sering melihat Demi pergi ke kantin dengan teman lainnya, serta seperti ada jarak antara Fadli dan Karisa. Lebih tepatnya Karisa yang berusaha untuk menghindari Fadli.” Baron lega, petunjuk yang dia dapatkan ternyata sama dengan informasi yang disampaikan oleh Julie, bahwa hubungan antara Karisa dengan mereka berdua tampak sedang merenggang. Julie kembali bicara, “Tapi aku belum sempat menatap mata mereka berdua, untuk membaca pikiran seseorang mataku dan matanya harus saling bertatapan selama dua puluh detik, jika kurang dari itu maka aku tidak akan mendapat informasi apapun.” Jelasnya. Meski tidak yakin bahwa Baron akan percaya, tapi Julie tetap saja menjelaskan tentang kemampuannya. “Jadi kau hanya perlu menatap mata Fadli dan Demi selama dua puluh detik untuk tahu apa yang ada di pikiran mereka, bukan?” “Ya…” jawabnya, Julie sedikit heran mengapa Baron seperti mempercayainya. “Kalau begitu lakukanlah, maka kita akan tahu apakah pembunuhnya adalah satu di antara mereka berdua. Buktikan padaku kalau kau tidak hanya sekedar membual.” Julie mengangguk setuju, “Dan jika berhasil, maka tolong libatkan aku dalam penyelesaian kasus kematian Karisa. Deal?” Ujarnya seraya mengulurkan tangan kanan. Baron menjabat tangan Julie, “Deal.” Ucapnya tegas. *** Dunia menjadi sangat mengerikan ketika semua orang menyimpan marah yang mereka balaskan melalui tindakan keji. Di zaman yang semakin modern ini banyak kasus pembunuhan yang dilakukan dengan berbagai cara, motifnya pun beragam. Mulai dari pembalasan dendam, sakit hati, iri hati, penguasaan harta, hingga alasan yang sulit dicerna oleh akal sehat seperti yang dilakukan oleh para psikopat. Satgas Kriminalitas tidak pernah sepi menerima laporan kasus kematian yang mengerikan setiap harinya. Seperti pagi ini, telah ditemukan seorang mayat wanita di kediamannya dengan mulut berbusa. Wanita itu pertama kali ditemukan oleh adik laki-lakinya yang baru saja pulang menginap dari rumah temannya. Mereka hanya tinggal berdua di Cipatat, sementara orangtuanya pergi dinas ke luar kota. Kasus itu kembali dilimpahkan pada Tim Baron, kini semakin banyak lagi kasus yang harus mereka selesaikan. Baron yang didampingi oleh Taka kemudian pergi menuju TKP. Sudah banyak kerumunan orang di sana. Para tetangga hingga pedagang keliling begitu penasaran ingin mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi. Petugas polisi yang berpatroli sudah lebih dulu tiba di sana, mengamankan TKP dengan garis kuning polisi. Hal itu bertujuan agat TKP tidak terkontaminasi oleh siapapun dan apapun. Baron memasuki rumah sederhana yang berada di komplek perumahan. Itu adalah salah satu komplek kelas menengah yang sebagian besar warganya bekerja sebagai wirausaha dan wiraswasta, tidak heran mengapa kini mereka malah sibuk berkumpul di TKP. Seorang petugas kepolisian memberi hormat pada Baron kemudian mengangkat garis kuning polisi, mempersilahkan Baron untuk masuk. Baron mengangguk kemudian berjalan memasuki TKP, disusul dengan Taka di belakangnya. Di halaman depan rumah terdapat sebuah sepeda motor yang sedang terparkir serta rak sepatu yang diisi dengan dua pasang sepatu wanita dan satu pasang sepatu pria. Setelah pintu utama, ruang pertama yang mereka masuki adalah ruang tamu kecil dengan tiga sofa. Ada sebuah foto keluarga di sana, seorang ayah, ibu, anak perempuan dan anak laki-laki. Fotonya sedikit usang, sepertinya itu foto lama yang diambil sepuluh tahun lalu. Segala sesuatu yang ada di ruang tamu terlihat begitu rapi, tidak ada tanda-tanda telah terjadi kekacauan hingga menyebabkan seorang wanita telah meninggal dunia. Baron kemudian berbelok menuju kamar tempat dimana mayat tersebut ditemukan. Kamar dengan luas 4x4 meter itu seolah menjadi saksi bisu bagaimana penghuninya bisa tewas. Wanita yang tak bernyawa itu terkapar di atas karpet. Mulutnya dipenuhi dengan busa, wajahnya sedikit kemerahan, serta tubuhnya begitu kaku. Ada secangkir teh di meja kamarnya. Meja yang juga menjadi tempat penyimpanan lampu tidur. Bila dilihat dari kondisi kamarnya, bisa disimpulkan bahwa wanita tersebut sangat menyukai kebersihan dan kerapihan. Tidak ada satu pun sampah di dalam kamar, semua barang-barang tersimpan pada tempatnya. Baron menghampiri mayat wanita itu, berjongkok dan memperhatikan busa yang keluar dari mulutnya dengan teliti. Siapapun pasti tahu kalau korban baru saja keracunan. Wanita berusia dua puluh dua tahun itu bertubuh langsing, tingginya kurang lebih 160cm. Taka lalu mengambil beberapa gambar korban dengan ponsel pribadinya, hal yang selalu dia lakukan untuk berjaga-jaga. Selesai memeriksa kondisi mayat, Baron mulai menyusuri TKP, mengamati semua benda yang ada di dalam kamar. Barang pertama yang dia periksa adalah cangkir berisi teh, warnanya sedikit lebih gelap dari teh biasa, aromanya pun begitu tajam dan menyengat. Taka bahkan sampai menutup hidung, khawatir dia akan ikut keracunan karena mencium aromanya. “Ini jelas kasus keracunan, kan?” Bisiknya pada Baron. Baron mengangguk sekali, lalu membungkus cangkir beserta isinya untuk kemudian diperiksa dan diteliti oleh ahlinya. Untuk mengetahui penyebab kematian korban, mereka harus tahu jenis racun apa yang ada dalam teh tersebut, berapa kadar racunnya, serta hal-hal lain yang hanya bisa dipahami oleh tim ahli. Dengan hati-hati Baron menyerahkan barang bukti utama itu pada Taka, dia ingin Taka sendiri yang membawanya ke laboratorium untuk diteliti, sementara Baron tetap fokus memeriksa jejak-jejak yang mungkin tertinggal di TKP. Sejauh ini Baron lebih sering menangani kasus keracunan karena bunuh diri, artinya korban sengaja mengkonsumsi racun untuk mengakhiri hidupnya. Namun masih terlalu dini baginya untuk menyimpulkan apakah ini kasus bunuh diri atau pembunuhan. Dia pun menggeledah TKP, seseorang yang bunuh diri biasanya meninggalkan pesan baik melalui surat yang dia tulis, postingan di media sosial, atau pesan singkat yang dia kirim melalui ponselnya. Tapi masalahnya, Baron tidak menemui hal-hal semacam itu, bahkan ponsel korban tidak ada di TKP. Di zaman sekarang, seorang wanita berusia dua puluh dua tahun sangat tidak mungkin jika tak memiliki ponsel. Jika Taka membutuhkan ponsel untuk menangkap gambar semua yang ada di TKP, berbeda dengan Baron. Dia memiliki satu kemampuan yang tidak diketahui orang lain, sejak remaja—tepatnya sejak dia duduk di bangku SMA—Baron bisa mengingat semua hal yang dia lihat meskipun dia hanya melihatnya selama beberapa detik. Mata Baron seperti sebuah kamera yang bisa merekam apapun yang dia lihat, hasil rekaman tersebut kemudian akan tersimpan di dalam otaknya dan menghilang dalam waktu dua puluh empat jam. Rekaman yang satu akan terganti dengan rekaman lainnya secara otomatis. Oleh karena itu sebelum ingatannya hilang, Baron selalu menuangkannya dalam bentuk tulisan atau gambar. Awalnya baron sendiri tidak percaya dengan kemampuan yang ia miliki. Ia bahkan sempat menyembunyikan kemampuannya dari orangtuanya. Awalnya Baron tidak sadar akan kemampuannya, tapi seiring berjalannya waktu dia menyadari kalau dirinya punya kemampuan yang tidak dimiliki oleh lain. Itu bermula ketika dia sedang duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar, Baron yang kala itu lebih gemar bermain daripada belajar, menyempatkan diri untuk membaca buku latihannya tiga puluh menit sebelum ujian Matematika dimulai. Dia hanya sekedar membaca dan melihat rentetan rumus matematika yang tidak dia sukai, Baron pun tidak yakin dengan tindakannya saat itu. Dia seperti hanya sedang melakukan hal yang sia-sia karena rumus Matematika tidak bisa dipelajari secepat kilat. Baron hampir pasrah dan berpikir kalau dia akan mendapat nilai 40 lagi dan mengikuti remedial seperti sebelum-sebelumnya. Namun dugaannya salah. Begitu kerta soal dibagikan, Baron terkejut karena soal-soal itu sama persis seperti soal yang ada di buku latihan. Dia pun masih mengingat jawaban yang benar dari soal tersebut. Dia menuliskan rumus dan jawabnnya dengan tepat, tak kurang dan tak beda satu angka pun. Hasilnya, dia pun mendapat nilai 100 dari sang guru. Bukan hanya dia saja yang heran, gurunya pun demikian. Namun sang guru tahu bahwa Baron tidak berbuat curang karena beliau benar-benar mengawasi semua muridnya dengan ketat selama ujian berlangsung. Dia hanya berpikir bahwa Baron mulai belajar dengan giat. Tidak ada yang perlu dicurigai dari bocah umur delapan tahun. Tapi Baron begitu mengenal dirinya sendiri, dia sadar jika ada yang tidak beres dalam dirinya. Jika dari dulu dia bisa mengingat semua rumus Matematika secepat kilat, dia tidak akan pernah mendapat nilai jauh di bawah standar. Dia berusaha untuk menganalisis dirinya sendiri, tanpa disadari dia sudah memiliki salah satu kemampuan seorang penyidik sejak kecil. Dia pun terus melakukan berbagai cara untuk menemukan jawaban atas pertanyaannya. Butuh waktu bertahun-tahun baginya untuk menyadari dan menerima kemampuan unik tersebut. Hingga pada saat dia kelas satu SMP, Baron menyadari bahwa dia istimewa. Dia dapat mengingat semua hal yang dia lihat walau hanya beberapa detik, dan dia dapat menjelaskan secara detail dari semua hal tersebut. Tapi sayangnya ingatan detail itu hanya akan tersimpan di memori otaknya selama dua puluh empat jam. Dia akan menyimpan segala informasi yang dia lihat walau informasi tersebut sama sekali tidak penting. Itulah mengapa Baron akan menyaring informasi dengan cara menuliskan detail-detail terkait hal penting, serta mengabaikan informasi yang tidak penting dan membiarkannya terlupakan dalam waktu dua puluh empat jam. Sejujurnya Baron tidak tahu darimana dia mendapat kemampuan itu, itu jelas bukan turunan karena anggota keluarganya tidak ada yang memiliki kemampuan tersebut. Atau karena faktor akibat dari terjadinya suatu peristiwa. Baron tidak pernah mengalami kecelakaan atau bencana apapun. Itu seperti kemampuan yang dikirim oleh Tuhan secara tiba-tiba saat dirinya tengah tidur di malam hari. Baron sudah tidak ingin memusingkan hal itu, saat ini dia sudah fokus dengan memanfaatkan kemampuan uniknya itu untuk menangani kasus kriminal dan menangkap penjahat. Tidak ada yang lebih penting bagi seorang penyidik selain kasus-kasus yang diselesaikan dengan tepat. Petugas lain yang berada di TKP kemudian membawa jasad wanita tersebut untuk diperiksa oleh Tim Forensik, sementara Baron masih menyusuri TKP untuk terus mencari segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai barang bukti. Salah satu hal terpenting dari penyelesaian kasus adalah ketelitian penyidik dalam menemukan petunjuk dan barang bukti. Ketika Baron sedang membuka lemari pakaian korban, dia mendengar suara ribut-ribut di luar sana. Penasaran, Baron pun menghampiri sumber suara. Terlihat seorang pria yang sedang berusaha masuk ke TKP namun dihadang oleh petugas. “Saya harus melihat Mayang!!! Saya harus tahu apa yang terjadi pada calon istri saya!!” Teriaknya, tidak peduli dengan orang-orang yang kini melihat ke arahnya. Perhatian semua orang teralihkan untuk pria berkulit sawo matang itu. Baron menghampiri pria tersebut, ia meminta petugas untuk membiarkan pria dengan tinggi 167cm itu masuk ke wilayah garis kuning. Tentu Baron tidak akan membawanya masuk ke dalam rumah, ia hanya aku berbincang sebentar untuk menanyakan beberapa hal penting. “Sebenarnya siapa Anda? Apa hubungan Anda dengan korban?” Itu bukan interogasi resmi, itu hanya pertanyaan spontan yang diajukan Baron. Baron tidak bisa melakukan sesi interogasi seperti itu. “Saya Iman, calon suami Mayang.” Nama wanita yang tewas hari itu adalah Mayang. Dia merupakan seorang karyawan bagian kasir di steam mobil yang tidak jauh dari rumahnya. Dan Iman juga bekerja di sana, ia bekerja sebagai kepala toko. Jika begitu, maka Baron akan menjadikan Iman sebagai salah satu saksi dalam kasus ini, ditambah dengan adik laki-laki Mayang, orang yang pertama kali menemukan jasad wanita malang itu. Baron kemudian meminta salah seorang petugas yang berada di kantor polisi untuk menyiapkan surat pemanggilan untuk Iman dan Juna. Dia ingin sesegera mungkin menyelesaikan kasus itu. Di ruang interogasi, Baron sudah berhadap-hadapan dengan Iman, pertanyaan yang dia ajakan adalah kapan terakhir kali Iman bertemu dengan Mayang. Iman berkata jika dia terakhir kali bertemu dengan Mayang pada hari Minggu malam, tepatnya di steam mobil. Sore itu Iman tidak bisa mengantar Mayang pulang karena dia masih punya banyak pekerjaan di toko. "Malam itu harusnya saya antar dia pulang, Pak, saya sungguh menyesal....." Ucapnya penuh rasa penyesalan. Desiree, sebagai salah satu tim forensik yang menangani kasus itu berkata pada Baron bahwa Mayang diperkirakan meninggal antara pukul 23.00-01.00 dini hari. Kemudian mayatnya ditemukan oleh sang adik--Juna--pada pukul 08.00 pagi. "Pukul berapa Mayang pulang dari tempat kerja?" Tanya Baron. Iman menjawab dengan mata sendunya, "Karena hari itu kondisi steam lagi ramai sekali, toko baru tutup pukul 9 malam." "Apa saat itu Mayang langsung pulang ke rumah?" Iman menggeleng, "Tidak, kami sempat makan malam bersama dulu, karena saya sedang sibuk sekali, jadi kita beli nasi goreng keliling dan makan di steam." "Berapa lama kalian makan bersama?" Iman sedikit terkejut dengan pertanyaan Baron yang begitu detail, itu membuatnya merasa seperti tersudutkan, "Saya tidak tahu persisnya, tapi malam itu kita makan dengan cepat dan terburu-buru, mungkin sekitar lima belas menit." "Jika tidak pulang dengan Anda, maka Mayang pulang naik apa malam itu?" "Dia naik angkutan umum, Pak. Ada angkutan umum yang rutenya melewati steam dan yang rumah Mayang." Ya, Baron tahu itu, dia sudah memeriksa rute dari tempat kerja Mayang menuju rumahnya. Memang ada angkutan umum kode 01 yang melintasi rute itu. Setelah mengajukan lima belas pertanyaan lainnya, Baron kini beralih pada Juna. Interogasi sesi kedua pun dimulai. "Jadi sudah empat tahun Anda hanya tinggal berdua dengan kakak Anda?" Lelaki remaja akhir berusia sembilan belas tahun itu mengangguk, "Iya pak, orangtua kami bekerja di Solo. Karena saat itu saya masih SMA, jadi saya dan kakak saya memutuskan untuk tetap tinggal di Cipatat karena saya tidak ingin pindah sekolah." "Anda berkata bahwa saat itu Anda baru saja pulang menginap dari rumah teman. Sudah berapa lama Anda tidak ada di rumah?" "Saya berangkat ke rumah teman saya hari Jumat sore, Pak. Setiap akhir pekan memang saya sering menginap dirumah teman dan kembali ke rumah pada Senin pagi." "Mengapa seperti itu?" "Saat ini saya kuliah sambil kerja, Pak. Setiap Senin sampai Jumat saya kuliah, Sabtu dan Minggu saya kerja di rumah teman saya. Teman saya punya bisnis kecil-kecilan di rumahnya." "Bisnis apa itu?" Itu adalah pertama kalinya Juna diinterogasi oleh seorang penyidik, dan dia tidak tahu jika akan sedetail itu. "Bisnis apa?" Tanya Baron sekali lagi, kali ini suaranya terdengar lebih tegas. "Anu, Pak...Hem...dia punya usaha katering. Saya bantu-bantu mencuci peralatan masak dan mengantar pesanan hingga ke lokasi." Baron mengangguk paham, "Apa selama ini korban pernah bercerita pada Anda bahwa dia memiliki musuh? Atau sedang bertengkar dengan seseorang?" Juna diam sejenak kemudian menggeleng. Baron menatap Juna, "Tidak ada?" "Saya tidak tahu, Pak. Hubungan kita tidak sedekat kakak adik pada umumnya. Kita jarang mengobrol dan hanya bertegur sapa sesekali." "Kenapa seperti itu?" "Karena memang seperti itu pak. Kakak saya tipe orang yang dingin dan pendiam. Dia sulit dekat dengan orang baru dan selalu memendam semuanya sendirian. Jadi saya tidak tahu banyak tentang perasaan kakak saya." Baron tahu ada banyak hubungan kakak adik yang seperti itu di dunia ini, jadi dia tidak terlalu mempermasalahkannya. Terlebih, Taka sudah menyelidiki Juna lebih dulu. Dia memastikan bahwa Juna benar sedang berada di rumah temannya sejak Jumat sore dan baru kembali ke rumah pada Senin pagi. Jadi seandainya ini adalah kasus bunuh diri, maka Juna bukanlah pelakunya. "Tapi Anda pasti tahu kan kalau kakak Anda sudah bertunangan dengan Iman dan mereka akan segera menikah?" "Menurut Anda Iman orang yang seperti apa? "Dia pria yang baik dan hebat, Pak. Dia berhasil mendapatkan hati kakak saya. Kakak saya tidak pernah dekat dengan pria manapun sebelumnya. Dia kurang bergaul, Pak. Dan semenjak bertemu dengan Iman, kakak saya sudah tidak semurung dulu. Tapi entah kenapa, semakin mendekati hari pernikahan dia justru kembali murung." "Apa Anda pernah melihat dia bertengkar dengan Iman?" "Tidak pak, hubungan mereka selalu baik-baik saja." Baron tahu, tidak banyak informasi pribadi tentang Mayang yang bisa dia dapatkan dari Juna. Mayang terlalu tertutup hingga sang adik pun tidak tahu tentang perasaan dan emosi yang sedang dia alami. Usai menginterogasi Juna, Baron segera menemui Desiree untuk mengetahui hasil dari tim forensik. Di sana sudah ada Taka yang juga baru tiba lima menit lalu, mereka berdua memang sudah janjian untuk bertemu di sana. Desiree melipat kedua tangan di depan dadanya, sama seperti para penyidik yang sedang disibukkan dengan beragam kasus kriminalitas, Desiree juga selalu menghabiskan waktu dengan para mayat yang tidak dia kenal. Menjadi dokter forensik di kepolisian adalah cita-citanya sejak kecil. Dia sungguh menikmati pekerjaan itu. Tak sekalipun Desiree mengeluh karena harus membedah mayat atau membersihkan jejak-jejak kekerasan yang dialami oleh korban. "Racun yang ada di gelas teh milik korban adalah Sianida." Ujar Desiree. "Senyawa kimia yang mengandung racun mematikan?" Tanya Taka cepat. Dia seperti sedang menjawab pertanyaan quiz, tidak ingin orang lain menjawabnya. Desiree tersenyum, "Waaaw, kau sudah semakin pintar." Pujinya. Namun Baron tetap fokus pada Desiree, ia ingin wanita itu melanjutkan penjelasannya. "Melihat isi teh dalam gelas yang masih hampir penuh, jelas bahwa korban hanya meminum sedikit, tidak lebih dari dua sendok makan. Sianida sangat berbahaya. Siapapun yang mengkonsumsinya, walau hanya sedikit, ia akan kesulitan untuk bernapas, kejang, tidak sadarkan diri, jantung berhenti berdetak, hingga yang paling parah adalah kematian. Itu semua tergantung dari seberapa banyak Sianida yang dikonsumsi serta kecepatan penantanan dari tim medis. Jika tidak mendapat penanganan apapun dan korban mengkonsumsi 2 sendok teh berisi racun Sianida, maka kematian adalah hasil akhirnya." Penasaran, Baron bertanya lebih detail pada Desiree bagaimana racun Sianida bekerja hingga bisa merenggut nyawa korbannya. Desiree mengambil beberapa dokumen yang sudah dia siapkan dan menyerahkannya pada Baron juga Taka. Dokumen itu berisi semua penjelasan tentang racun Sianida dengan tebal kurang lebih 200 halaman. Desiree berharap dokumen tersebut bisa membantu Baron dalam menyelesaikan kasus tersebut. "Pada Sianida mengandung senyawa kimia yang bernama ion sianida. Ion sianida dapat mengikat atom besi dalam sitokrom C oksidase yang ada di dalam sel mitokondria. Lalu apa yang ion sianida lakukan jika dia masuk ke dalam tubuh manusia?" Desiree bertanya pada Baron dan Taka walau dia tahu kedua pria itu tidak dapat menjawab dari sudut pandang kimia. Dia pun kembali melanjutkan penjelasannya, "Racun tersebut akan bertindak sebagai inhibitor enzim ireversibel atau mencegah sitokrom C oksidase yang ada di dalam sel mitokondria melakukan tugasnya, yakni mengangkut oksigen menjadi pembawa energi." Desiree berhenti sejenak, memberi kesempatan bagi mereka berdua, khusunya Taka, untuk mencerna penjelasannya. Desiree sudah berusaha menjelaskan sesederhana mungkin, hanya saja ada beberapa istilah yang tidak bisa dihilangkan. Taka menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dia hanya sedikit bingung dengan istilah-istilah kimia yang sulit untuk diingat. "Jika tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan oksigen, maka sel mitokondria tidak bisa menghasilkan pembawa energi. Sementara tubuh manusia memiliki jaringan seperti sel otot jantung dan sel saraf yang membutuhkan pembawa energi itu. Akan sangat-sangat berbahaya jika kedua sel tersebut tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Akibatnya, tubuh akan kehabisan energi. Dan, bila sejumlah besar sel kritis mati, maka manusia akan mati." Jelas Desiree panjang lebar. Baron mengusap-usap dagunya, dia sangat serius mendengar penjelasan Desiree agar dapat menarik kesimpulan yang tepat. "Jadi singkatnya, racun Sianida membuat tubuh manusia tidak bisa menggunakan oksigen, sementara oksigen adalah kebutuhan utama bagi tubuh. Di saat tubuh tidak mendapat asupan oksigen yang cukup dalam jangka waktu yang lama, maka beberapa fungsi organ akan berhenti, dan menyebabkan kematian?" Baron memastikan kesimpulannya pada Desiree. Desiree menjentikkan ibu jari dan jari telunjuknya, "Tepat sekali! Itulah yang terjadi pada korban bernama Mayang." Ucapnya sambil menoleh ke arah jenazah yang terbujur kaku di sampingnya. Bibir Taka membentuk lingkaran, seolah ia mengatakan "Ohhh" tanpa suara, dia akhirnya paham dengan penjelasan rumit yang Desiree berikan, itu karena Baron menjelaskan dengan sederhana. "Tapi kami sama sekali tidak menemukan jejak Sianida di rumah korban, satu-satunya petunjuk korban meninggal karena keracunan adalah cangkir yang berisi teh tersebut. Jika memang korban bunuh diri dengan sengaja meminum teh mengandung Sianida, bukankah seharusnya kita menemukan bungkus bekas racun tersebut? Atau jejak lain yang menunjukkan jika Sianida itu telah disimpan atau dimiliki oleh korban sebelumnya. Itu berarti...." Baron melanjutkan kalimat Taka dengan cepat. "Itu berarti korban bukan bunuh diri melainkan dibunuh. Tidak ada bungkus, wadah, atau jejak-jejak yang menunjukkan jika korban menyimpan racun tersebut sebelumnya. Tidak ada sedikitpun tumpahan Sianida di rumah korban. Pelaku pasti sudah menyiapkan semuanya dengan rapi dan terencana. Bungkus bekas racun Sianida pasti dibawa pergi oleh pelaku." Ujar Baron. "Kalian sudah memeriksa CCTV di daerah rumah korban?""Tidak ada CCTV di sekitar rumah korban. Bahkan mobil-mobil yang terparkir di sekitar rumah korban pun tidak memasang kamera Dashboard." "Itu berarti pelaku paham betul dengan lingkungan rumah korban." Ucap Desiree. Baron mengangguk setuju. "Dia jelas udah mempersiapkan segalanya dengan matang, ini adalah pembunuhan berencana." "Apa itu berarti pelaku adalah orang yang sering berinteraksi dengan korban? Atau pelaku tinggal di lingkungan yang sama?" Tanya Taka. Dia benar-benar penasaran. Ini adalah pertama kalinya Taka menangani kasus kematian akibat racun Sianida. Dia jadi ingin mempelajari tentang racun tersebut lebih dalam. Taka bertekad untuk membaca semua file yang Desiree berikan saat dia tiba di rumah nanti. Baron menatap Taka lekat-lekat selama beberapa detik, "Kita harus menemukan petunjuk lain sebelum menyimpulkan sesuatu. Meski fokus kita terbagi dengan kasus kematian Karisa, tapi saya harap Anda bisa menjadi partner kerja yang baik." Desiree tersenyum, masih dengan kedua tangan terlipat di depan d**a, "Uh, kalian pemuda yang benar-benar penuh dengan energi." Seperti tidak sabar ingin menyaksikan performa Baron dan Taka seperti dalam kasus sebelum-sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD